Negara ASEAN Berburu Investasi Jumbo US$ 29 T Untuk Transisi Energi

ANTARA FOTO/Indrianto Eko Suwarso/aww.
Pengunjung melintas di Taman ASEAN saat peresmiannya di Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, Rabu (2/8/2023).
Penulis: Nadya Zahira
25/8/2023, 18.56 WIB

Pemerintah Indonesia mengajak negara-negara Asia Tenggara atau ASEAN bersinergi untuk membentuk pendanaan transisi energi. Tujuannya, agar ketahanan energi ramah lingkungan bisa terwujud di kawasan tersebut. Apalagi, dana yang dibutuhkan sangat besar.

Berdasarkan data International Renewable Energy Agency (IRENA), kebutuhan dana agar bauran energi baru terbarukan (EBT) di ASEAN mencapai 100% pada 2050 adalah mencapai US$ 29,4 triliun atau nyaris Rp 450 kuadriliun.

Kebutuhan investasi sebesar itu ditujukan untuk pengembangan pembangkit listrik EBT, penyediaan jaringan transmisi listrik, biofuel, dan pengembangan ekosistem kendaraan listrik.

Menanggapi hal tersebut, Peneliti dan Manajer Program Trend Asia, Andri Prasetyo mengatakan, dana tersebut tentunya sulit untuk dicapai mengingat pendanaan untuk transisi energi di ASEAN masih sangat sedikit hingga saat ini.

Dia menyebutkan, porsi dana hibah JETP di Afrika Selatan hanya 4% dari total komitmen pendanaan JETP senilai US$ 8,5 miliar atau setara Rp 127,33 triliun. Sedangkan Indonesia hanya mendapatkan dana hibah sebesar 0,8% dari total JETP Rp 310 triliun, dengan mendapatkan dana hibah sebesar US$ 130 juta atau setara Rp 1,99 triliun.

“Proyeksinya memang masih besar untuk mencapai angka US$ 29,4 triliun itu, dan perlu effort dari masing-masing pemerintah ASEAN agar bisa mencapai target uang transisi energi itu,” ujarnya saat ditemui Katadata.co.id di Jakarta, Jumat (25/8).

Oleh sebab itu, Andri mengatakan masing-masing pemerintah ASEAN perlu melakukan upaya agar bisa mengejar target dana transisi energi tersebut. Tidak hanya mengandalkan dana publik melainkan juga mengajak swasta untuk berinvestasi dalam energi terbarukan, melalui kerja sama pemerintah dan swasta atau Public-Private Partnerships.

“Jadi memang kita tidak bisa semata mengandalkan dana publik saja. Kaya misalnya pendanaan JETP yang 50% dari publik, dan 50% dari swasta,” ujarnya.

Namun demikian, menurut Adrian untuk bisa menarik swasta agar bisa berinvestasi di sektor energi terbarukan tentu tidak mudah dan pemerintah ASEAN harus menunjukkan kepada swasta bahwa program transisi energi ini menarik.

“Tapi saya lihat swasta sudah mulai minat, terlihat beberapa tahun terakhir ada peran ADB, Word Bank, yang mulai memasukan dana untuk mendorong transisi energi,” ujarnya.

Selanjutnya dia menyebutkan, upaya yang bisa dilakukan lainnya yaitu dengan memanfaatkan pendanaan internasional, seperti dana-dana perubahan iklim yang bisa digunakan untuk pengembangan potensi sumber daya energi bersih.

Strategi Menarik Investasi

Sebelumnya, Menteri ESDM Arifin Tasrif mengatakan untuk bisa mencapai target pendanaan tersebut, wilayah ASEAN harus menjadi wilayah yang kondusif bagi para investor untuk berinvestasi.

Hal itu diwujudkan melalui dukungan dalam kebijakan fiskal, seperti insentif pajak untuk mendorong investasi dalam energi terbarukan, proyek energi, dan teknologi hemat energi.

Pemerintah negara-negara ASEAN juga diimbau untuk memiliki kerangka kebijakan yang jelas, termasuk dalam penyusunan regulasi energi jangka panjang yang dapat membangun kepercayaan para investor. Tak kalah penting ialah prosedur investasi yang transparan melalui sistem daring.

“Transparansi prosedur investasi seperti termasuk dalam proses perizinan melalui sistem online dapat meningkatkan minat investor,“ ujar Arifin melalui keterangan resminya, Kamis (24/8).

Arifin menyadari pengembangan energi berkelanjutan di masa transisi energi tetap membutuhkan energi fosil. Untuk itu, penerapan teknologi carbon capture utilization and storage (CCUS) menjadi kunci penting, karena perkembangan industri sangat penting bagi negara ASEAN.

“Teknologi CCS/CCUS sangat penting untuk memitigasi emisi karbon dari industri yang mengalami tantangan dekarbonisasi, termasuk industri minyak dan gas,“ katanya.

Menurut dia, Indonesia termasuk negara yang memiliki kapasitas CO2 storage yang besar. Sejauh ini, kapasitasnya tercatat mencapai 12 miliar ton. Sebanyak 15 proyek CCS/CCUS sedang digarap dan sudah masuk tahap studi.

Dari sisi regulasi, pemerintah juga sudah mengantisipasi penerapan teknologi CCS/CCUS dengan penerbitan Peraturan Menteri ESDM Nomor 2 Tahun 2023 tentang Penyelenggaraan Penangkapan dan Penyimpanan Karbon, serta Penangkapan, Pemanfaatan dan Penyimpanan Karbon pada Kegiatan Usaha Hulu Migas.

Selain itu, pemerintah juga sedang menyusun beleid yang mengatur penerapan CCS/CCUS tidak hanya bisa dilakukan di sektor migas.

Reporter: Nadya Zahira