KKI Warsi, salah satu pengembang proyek karbon di Jambi, mengeluhkan proses pendaftaran di Sistem Registri Nasional Pengendalian Perubahan Iklim (SRN PPI) yang terhambat di tahap verifikasi dan validasi.

Emmy Primadona, Project Coordinator Kelompok Konservasi Indonesia (KKI) Warsi, mengatakan ia dan tim sudah melakukan pendaftaran di SRN PPI sejak awal tahun silam. Namun, hingga saat ini proses pendaftaran masih terhambat di tahap ketiga yakni proses validasi dan verifikasi data teknis.

“Kami sudah memenuhi semua data teknis yang diperlukan, tetapi sudah berbulan-bulan tidak ada kabar lagi,” katanya kepada Katadata.

Emmy mengatakan KKI Warsi mendaftarkan proyek konservasi hutan di Bujang Raba, Kabupaten Bungo, Jambi. Emmy mengatakan proyek karbon Bujang Raba merupakan salah satu komunitas masyarakat yang paling siap untuk mengikuti bursa karbon. Pasalnya, sejak 2018, Bujang Raba sudah mengikuti skema Reducing Emissions from Deforestation and Forest Degradation (REDD+).

Dalam skema ini, masyarakat berkomitmen melindungi hutan seluas 5.336 hektare yang mampu menyimpan 670.000 ton CO2 ekuivalen. Sebagai gantinya, masyarakat memperoleh dana senilai Rp 1 miliar dalam upaya tersebut. Pada 2020, masyarakat di Bujang Raba juga sudah menikmati hasil dari skema REDD+ tersebut.

Emmy bercerita, proyek REDD+ sempat dihentikan ketika pemerintah ingin menata skema Nilai Ekonomi Karbon (NEK). Kendati demikian, KKI Warsi tetap melanjutkan upaya konservasi meskipun belum ada skema imbal hasil yang jelas. Ketika wacana bursa karbon mulai mencuat, Warsi dan masyarakat sekitar pun mulai ancang-ancang untuk ikut ambil bagian.

“Sebetulnya kami terbuka saja untuk mengikuti ketentuan pemerintah lewat SRN PPI. Tapi begitu daftar kok malah terkendala begini,” keluhnya.

Dalam POJK No.14/2023 disebutkan seluruh unit karbon yang diperdagangkan di bursa harus terdaftar di SRN PPI. Ini merupakan sistem besutan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan yang dipakai untuk mencatat aksi adaptasi dan mitigasi perubahan iklim. Setelah melewati proses verifikasi dan validasi, pengembang proyek akan memperoleh Sertifikat Pengurangan Emisi Gas Rumah Kaca (SPE GRK) yang bisa diperdagangkan di bursa karbon.

Namun, hingga saat ini belum ada lembaga yang bisa melakukan verifikasi dan validasi skema Nilai Ekonomi Karbon (NEK) dalam proses pendaftaran di SRN PPI. Direktur Sistem dan Harmonisasi Akreditasi Badan Standardisasi Nasional (BSN) Sugeng Raharjo mengatakan saat ini empat perusahaan baru memiliki akreditasi untuk penghitungan GRK umum.

Keempat perusahaan tersebut yakni PT Mutuagung Lestari Tbk, PT Sucofindo, PT TUV Rheinland Indonesia, dan PT TUV Nord Indonesia. Namun, keempat lembaga tersebut masih memerlukan akreditasi GRK skema NEK agar bursa karbon bisa berjalan.

“Diharapkan akhir Agustus ini akan menetas lembaga pertama yang diakreditasi KAN untuk lingkup GRK skema NEK,” katanya lewat jawaban tertulis kepada Katadata, Selasa (29/8).

Reporter: Rezza Aji Pratama

SAFE Forum 2023 akan menghadirkan lebih dari 40 pembicara yang akan mengisi 15 lebih sesi dengan berbagai macam topik. Mengangkat tema "Let's Take Action", #KatadataSAFE2023 menjadi platform untuk memfasilitasi tindakan kolaboratif dari berbagai pemangku kepentingan yang disatukan oleh misi menjadikan Indonesia sebagai negara yang lebih hijau. Informasi selengkapnya di sini.