Pemerintah telah menyepakati pendanaan transisi energi melalui kemitraan Just Energy Transition Partnership (JETP). Salah satu target dalam dokumen JETP yaitu bauran energi baru terbarukan (EBT) 34% pada 2030.
Tak hanya itu, dalam dokumen JETP juga menargetkan emisi puncak gas rumah kaca (GRK) sebesar 290 MT CO2 pada 2030, dan mencapai Net Zero Emission (NZE) pada 2050.
Menanggapi hal tersebut, lembaga Institute for Essential Services Reform (IESR) mengatakan, untuk bisa meraih target-target tersebut setidaknya diperlukan dana sebesar US$ 130 miliar atau setara Rp 1,98 kuadriliun, sampai dengan US$ 150 miliar atau setara Rp 2,28 kuadriliun.
“Untuk mencapai target-target tersebut tentu tidaklah mudah. Salah satu strategi yang bisa dilakukan guna mencapai target itu yaitu dengan melakukan pensiun dini pembangkist listrik tenaga uap (PLTU) batu bara sebelum tahun 2030,“ kata Direktur Eksekutif IESR Fabby Tumiwa dalam siaran pers, Kamis (31/8).
Hal tersebut pasalnya tercermin dari IESR yang memperkirakan adanya penurunan kapasitas PLTU batu bara dapat mencapai 8,6 gigawatt (GW). Namun perlu dilakukan secara bertahap hingga tahun 2030. Ini tidak termasuk penurunan kapasitas PLTU off-grid, di luar wilayah usaha PLN.
“Hingga saat ini, minat IPG (International Partners Group) dan GFANZ (Glasgow Financial Alliance for Net Zero) untuk menyediakan pendanaan pensiun dini PLTU sangatlah rendah, padahal pengurangan PLTU diperlukan untuk meningkatkan penetrasi energi terbarukan,” ujar Fabby.
Fabby memperkirakan biaya pensiun dini tersebut mencapai US$ 4 miliar, di bawah nilai perkiraan yang diberikan oleh PLN sebelumnya. Dia menilai, IPG harus mau menyediakan pendanaan pensiun dini PLTU sebagai konsekuensi keterlibatan mereka dan mempertahankan kredibilitas JETP itu sendiri.
Pemerintah Raih Dana Rp 7,6 T untuk Pensiun Dini Dua PLTU
Pemerintah Indonesia menerima pinjaman lunak sebesar US$ 500 juta atau sekitar Rp 7,6 triliun dari dana investasi iklim atau Climate Investment Fund. Dana ini digunakan terutama untuk mempercepat pensiun dini proyek pembangkit listrik tenaga uap atau PLTU batu bara.
Kepala Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan Febrio N. Kacaribu mengatakan, pemerintah memperoleh dana ini melalui skema mekanisme transisi energi atau Energy Transition Mechanism (ETM).
"Dari jumlah dana yang disetujui, prioritas untuk jangka pendek akan difokuskan untuk mempercepat penghentian dini dua proyek pembangkit listrik tenaga uap atau PLTU batu bara sebesar 1,7 gigawatt," ujar Febrio
Dalam perkembangannya, dia menjelaskan, pendanaan akan ditingkatkan dengan tambahan mencapai US$ 4 miliar atau sekitar Rp 60 triliun dari Asian Development Bank atau ADB, Bank Dunia dan pendanaan lainnya, termasuk pemerintah Indonesia.
Sebagai informasi, PLN akan menghentikan operasional 6,7 gigawatt PLTU batu bara secara bertahap hingga 2040. Hal ini dilakukan dalam dua proses, yakni 3,2 GW PLTU akan setop beroperasi secara natural, dan 3,5 GW lewat skema pensiun dini.
Pembicaran terkait ETM ini sudah dimulai sejak akhir 2021 lewat kerja sama dengan ADB yang diluncurkan dalam acara COP26 di Glasgow. ETM diluncurkan dalam rangka mendukung target menuju emisi nol bersih alias net zero emission. Adapun ADB juga meluncurkan program kerja sama serupa dengan Filipina.
SAFE Forum 2023 akan menghadirkan lebih dari 40 pembicara yang akan mengisi 15 lebih sesi dengan berbagai macam topik. Mengangkat tema "Let's Take Action", #KatadataSAFE2023 menjadi platform untuk memfasilitasi tindakan kolaboratif dari berbagai pemangku kepentingan yang disatukan oleh misi menjadikan Indonesia sebagai negara yang lebih hijau. Informasi selengkapnya di sini.