OJK: Bank hingga Startup Pinjol Bisa Ikut Kurangi Karbon

ANTARA FOTO/Aditya Pradana Putra
Sejumlah peserta menyimak paparan Direktur Inovasi Keuangan Digital Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Tris Yulianta sosialisasi layanan sistem elektronik pencatatan inovasi keuangan digital di ruangan OJK 'Innovation Center for Digital Financial Technology' (Infinity), Jakarta, Selasa (29/10/2019).
Penulis: Nadya Zahira
26/9/2023, 10.02 WIB

Otoritas Jasa Keuangan atau OJK Institute menilai lembaga keuangan seperti bank hingga startup pembayaran maupun pinjaman online alias pinjol bisa berperan dalam mengurangi karbon di Indonesia.

OJK Institute merupakan bagian dari OJK yang berfokus pada pengembangan sumber daya manusia alias SDM di sektor ekonomi dan keuangan.

Kepala OJK Institute Agus Sugiarto mengatakan, sektor keuangan memiliki posisi unik dalam mendorong pengembangan pasar karbon di Indonesia. Selain itu, dapat memainkan peran transformatif dalam mengembangkan investasi dan memfasilitasi pembangunan infrastruktur ramah lingkungan.

Sementara OJK bisa berperan dalam mengatur mekanisme pembiayaan yang diperlukan. Dengan kolaborasi pelaku usaha sektor keuangan dan OJK ini, maka transisi ke energi baru terbarukan dapat dipercepat.

“Perubahan iklim bisa menjadi tantangan global yang signifikan. Oleh karena itu, diperlukan tindakan segera dan terkoordinasi untuk memitigasi dampak," ujar Agus dalam acara Save The Planet: The Role of Financial Sector to Support Carbon Reduction and Electric Vehicles Development, Jakarta, Senin (25/9).

Ketua Dewan Komisioner OJK Mahendra Siregar menambahkan, transisi ke energi baru terbarukan atau EBT harus dilakukan dengan hati-hati dan pada waktu yang tepat. Selain itu, memperhatikan aspek keamanan energi. 

“Sangat penting bahwa aspek keamanan energi diperhatikan dalam transisi energi. Tidak realistis untuk mengharapkan energi terbarukan menggantikan bahan bakar fosil dalam jangka pendek,“ ujarnya.

Ia mencatat beberapa negara menempuh langkah ekstrem dalam beralih ke energi baru terbarukan, namun akhirnya beralih komitmen.

Menurut Mahendra, energi baru terbarukan tidak mampu menggantikan energi fosil dalam jangka pendek karena beberapa aspek, seperti:

1. Kurangnya infrastruktur

2. Kebutuhan dana yang besar

Beberapa negara bahkan tidak memiliki pendanaan yang cukup. “Akibatnya, beberapa pembangkit listrik tenaga uap atau PLTU batu baru dibuka kembali di Eropa,” kata dia.

3. Kurangnya pendanaan untuk proyek hijau yang belum memberikan keuntungan

Di Inggris misalnya, merevisi kebijakan energi hijau karena penundaan pelarangan kendaraan berbahan bakar minyak

Ia berharap pemerintah meneliti secara cermat terkait kebijakan peralihan ke energi baru terbarukan. “Harus berfokus pada penelitian berbasis bukti,” kata Mahendra.

Reporter: Nadya Zahira