Pemerintah Sebut Pajak Karbon Akan Diimplementasikan Pada 2024

123rf.com/malp
Pemerintah akan menerapkan pajak karbon pada 2024 untuk mempercepat transisi energi menuju energi bersih.
Penulis: Nadya Zahira
10/10/2023, 20.51 WIB

Bursa karbon Indonesia secara resmi telah diluncurkan pada 26 September 2023. Namun, pelaksanaan pajak karbon baru akan berlaku pada 2024.

Kepala Pusat Kebijakan Sektor Keuangan Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kementerian Keuangan Adi Budiarso mengatakan aturan penerapan pajak karbon saat ini sedang digodok oleh pemerintah. Merujuk pada Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP), nantinya akan ada tiga peraturan untuk mengatur penerapan pajak karbon. 

“Di dalam UU HPP itu rencana penerapan pajak karbon pada 2024. Kami sedang melihat perkembangan kesiapan dari industri yang berkomitmen untuk NDC (Nationally Determined Contribution), lalu untuk mekanisme perdagangan carbon cap and trade, dan dari sisi ekonomi,” ujar Adi saat ditemui di sela acara Indonesia Knowledge Forum (IKF), Jakarta, (10/10). 

Di sisi lain, Adi mengatakan pajak karbon bertujuan untuk mendorong perubahan kebiasaan masyarakat agar bisa bertransisi ke energi bersih. Dengan begitu diharapkan Indonesia bisa meraih komitmen NDC dan mencapai target Net Zero Emission (NZE) pada 2060. 

Sementara itu, Kepala Badan Standarisasi dan Kebijakan Jasa Industri Kementerian Perindustrian Doddy Rahadi mengatakan pemerintah berencana menaikkan harga pajak karbon dari yang sebelumnya hanya Rp 30.000 menjadi Rp 70.000 per kilogram. Namun, rencana tersebut masih dalam tahap pembahasan. 

“Tapi, bagi perusahaan yang bisa mengurangi emisi karbon tidak dikenakan pajak. Pajak itu untuk perusahaan yang melebihi batas emisi karbon,” kata dia. 

Pajak Belum Diterapkan, Bursa Karbon Minim Peminat 

Direktur Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira mengatakan, jika perdagangan bursa karbon diluncurkan terlebih dahulu sedangkan pajaknya belum diterapkan, peminatnya akan sedikit. 

“Tidak ada insentif dan disinsentif bagi pelaku usaha, terutama yang bergerak di sektor migas, pertambangan, serta perkebunan besar yang ingin terlibat dalam perdagangan karbon sebagai pembeli karbon," ujar Bhima kepada Katadata.co.id, pada Jumat (22/9). 

Jika sudah ada pajak karbon, para pelaku usaha harus memilih untuk membayar pajak atas kelebihan emisi yang dihasilkan atau melakukan offsetting dengan bursa karbon.  

Untuk itu, Bhima meminta pemerintah untuk segera mempercepat dalam penerapan pajak bursa karbon. Selain itu, pajak karbon di Indonesia terlalu kecil. Bahkan, relatif lebih kecil dibandingkan rata-rata negara berkembang lainnya yang sudah memiliki instrumen pajak karbon. 

“Harusnya pajak karbon cepat diberlakukan dengan tarif yang lebih tinggi, sehingga bisa memperdalam likuiditas bursa karbon itu sendiri. Itu mungkin yang sekarang harus dilakukan,” kata dia.

Target nilai perdagangan karbon sebesar Rp 15 ribu triliun yang kerap kali dilontarkan oleh pemerintah dan OJK kemungkinan besar tidak bisa tercapai. “Kemungkinan harga perdagangan karbon akan jauh di bawah target itu, kalau belum ada pemberlakuan pajak karbon,” ujarnya.

Reporter: Nadya Zahira