Ketua Bidang Industri Manufaktur Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo), Bobby Gafur Umar, mengatakan pengusaha siap dikenakan pajak karbon yang rencananya akan diimplementasikan tahun depan. Namun demikian, dia meminta pemerintah untuk mematangkan regulasinya terlebih dahulu.
"Jadi indonesia masih perlu beberapa tahap, baik itu dari peraturannya, perhitungannya, maupun standarisasi dari karbon kredit ini. Artinya regulasinya harus benar dulu, baru kami siap terapkan pajak karbon," ujar Bobby saat dihubungi Katadata, dikutip Rabu (18/10).
Menurut dia, regulasi dari pajak karbon saat ini masih perlu banyak yang harus dimatangkan, mulai dari harganya yang kerap kali berubah-ubah hingga waktu penetapannya. Untuk itu, dia mengatakan, pemerintah harus tegas mengambil sikap terkait hal tersebut.
"Dari waktunya saja selalu mundur-mundur, awalnya sempat ada rencana di bulan April penerapan pajak karbon, lalu mundur ke bulan juni, terus mundur lagi ke 2024 atau 2025," kata dia
Namun, dia mengakui, kebijakan bursa karbon tersebut sangat positif karena pemerintah menunjukan upayanya dalam mendorong transisi energi. Hal itu mengingat banyaknya permasalahan di Indonesia akibat polusi dan cuaca ekstrem sehingga diperlukan transisi energi.
"Jadi tidak bisa lagi sekarang orang membuat suatu manufaktur tanpa ada energi bersih dalam perencanaan atau peraturannya,' ujarnya.
Bobby mengatakan, bursa karbon di Indonesia bisa berjalan dengan baik jika regulasinya benar. Pasalnya Indonesia memiliki potensi untuk perdagangan karbon yang sangat besar.
"Jadi saat energi batu bara sudah tergantikan dengan energi hijau, banyak sekali yang akan punya karbon kredit yang akan diperdagangkan," kata dia.
Aturan Pajak Karbon tercantum dalam Undang-Undang Harmonisasi Perpajakan (UU HPP) bukan pajak atas setiap emisi karbon yang dikeluarkan oleh badan usaha.
Badan usaha memiliki dua pilihan bila usahanya mengeluarkan emisi karbon lebih besar dari standar yang telah ditetapkan dalam sektornya, yaitu melakukan pembayaran pajak karbon kepada negara atau mencari carbon converter di pasar karbon.
Indonesia berpotensi memimpin pasar karbon yang diperkirakan mampu menyerap 25 miliar ton karbon dengan sumber daya hutan tropis yang mencapai 125 juta hektare (Ha). Sumber daya tersebut merupakan yang terbesar ketiga di dunia.
Pajak Karbon Diterapkan 2024
Kepala Pusat Kebijakan Sektor Keuangan Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kementerian Keuangan Adi Budiarso mengatakan pelaksanaan pajak karbon baru akan berlaku pada 2024. Aturan penerapan pajak karbon saat ini sedang digodok oleh pemerintah.
Merujuk pada Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP), nantinya akan ada tiga peraturan untuk mengatur penerapan pajak karbon.
“Di dalam UU HPP itu rencana penerapan pajak karbon pada 2024. Kami sedang melihat perkembangan kesiapan dari industri yang berkomitmen untuk NDC (Nationally Determined Contribution), lalu untuk mekanisme perdagangan carbon cap and trade, dan dari sisi ekonomi,” ujar Adi saat ditemui di sela acara Indonesia Knowledge Forum (IKF), Jakarta, (10/10).
Di sisi lain, Adi mengatakan pajak karbon bertujuan untuk mendorong perubahan kebiasaan masyarakat agar bisa bertransisi ke energi bersih. Dengan begitu diharapkan Indonesia bisa meraih komitmen NDC dan mencapai target Net Zero Emission (NZE) pada 2060.
Sementara itu, Kepala Badan Standarisasi dan Kebijakan Jasa Industri Kementerian Perindustrian Doddy Rahadi mengatakan pemerintah berencana menaikkan harga pajak karbon dari yang sebelumnya hanya Rp 30.000 menjadi Rp 70.000 per kilogram. Namun, rencana tersebut masih dalam tahap pembahasan.
“Tapi, bagi perusahaan yang bisa mengurangi emisi karbon tidak dikenakan pajak. Pajak itu untuk perusahaan yang melebihi batas emisi karbon,” kata dia.