Total pembiayaan yang dikendalikan pemerintah untuk transisi energi mencapai rekor yaitu senilai US$ 25,9 miliar atau sekitar Rp 400 triliun pada 2023 (kurs Rp 15.469). Dana tersebut digunakan mulai dari pengembangan hidrogen ramah lingkungan hingga penambangan litium.
Hal ini terungkap dari sebuah laporan yang diterbitkan oleh pakar industri Global SWF (Sovereign Wealth Funds) pada Senin (1/1). Sovereign Wealth Funds atau SWF adalah kelebihan dana dimiliki oleh negara yang diinvestasikan dengan tujuan untuk return yang lebih besar lagi.
Sementara itu, Saudi Arabia's Public Investment Fund (PIF) atau Dana Investasi Publik Arab Saudi menyumbang sekitar US$ 31,5 miliar atau Rp 487 triliun pada 2023. Jumlah tersebut sekitar seperempat dari SWF seluruh dunia senilai US$ 123,8 miliar atau sekitar Rp 1.918 trilliun.
Namun demikian, jumlah SWF global tahun ini turun 21 persen dari 2022.
"Ini mungkin menandakan pendekatan yang terlalu hati-hati, karena tidak ada kekurangan modal untuk bekerja di lembaga-lembaga ini," kata Direktur Pelaksana Global SWF Diego López dalam laporannya dikutip dari Reuters, Selasa (2/1).
Dana Jumbo Transisi Energi Indonesia
Sementara itu, Indonesia membutuhkan dana besar untuk mencapai target pengurangan emisi di sektor ketenagalistrikan serta pemanfaatan energi terbarukan hingga 34% dari total pembangkit pada 2030. Dikutip dari dokumen rencana investasi atau Comprehensive Investment and Policy Plan (CIPP) JETP, kebutuhan dana transisi energi Indonesia mencapai US$ 96,1 miliar atau sekitar Rp1.480 triliun.
Dari jumlah itu, Indonesia sudah memperoleh komitmen investasi sebesar US$ 20 miliar atau sekitar Rp 300 triliun. Komitmen tersebut berasal dari dua skema, yakni pembiayaan publik atau pinjaman pemerintah dari negara mitra atau lembaga multilateral lain. Kedua dari pinjaman komersial.
Selain kedua skema pendanaan tersebut, Indonesia juga membuka opsi untuk pembiayaan lain yang dapat membantu mempercepat transisi energi. Hal itu bisa diraih melalui pasar modal Indonesia, pembiayaan campuran, filantropi, dan pembiayaan karbon.
Pendanaan ini masuk sesuai alur kebutuhan Indonesia di lima area fokus investasi, yaitu:
1.Pembangunan jaringan dan transmisi listrik
2. Pensiun dini pembangkit listrik, termasuk PLTU Pelabuhan Ratu dan PLTU Cirebon-1.
3. Akselerasi EBT yang dapat dikontrol dan konstan, seperti tenaga panas bumi, tenaga air, dan bioenergi. Proyek panas bumi diestimasi membutuhkan investasi hingga US$22,5 miliar, beberapa yang masuk prioritas seperti PLTP Dieng dan PLTP Gunung Salak.
4. Akselerasi EBT yang tergantung cuaca seperti tenaga surya dan tenaga bayu. Beberapa proyek yang menjadi prioritas adalah PLTS Indramayu, PLTS Banten, PLTB Maubesi, hingga PLTB Tanah Laut.
5. Pengembangan rantai pasokan EBT.