Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan atau KLHK mendorong pemanfaatan hutan melalui skema multi usaha kehutanan. Perluasan manfaat hutan ini tidak hanya untuk korporasi tetapi juga berlaku untuk masyarakat melalui skema perhutanan sosial.
Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya mengatakan seluruh aktivitas ekonomi dapat dilakukan di kawasan hutan selama ekonomis, dapat diterima secara sosial oleh masyarakat setempat, dan lestari secara ekologi.
“Sudah bukan saatnya lagi untuk membenturkan antara kepentingan ekonomi, kepentingan sosial, dan kepentingan ekologi. Seluruh kepentingan harus dapat diakomodasi secara harmonis untuk tujuan yang lebih besar lagi yaitu keberlanjutan kehidupan berbangsa dan bernegara, yang tentunya diorkestrasikan oleh tata kelola lingkungan (environmental governance) yang baik,” ujar Siti Nurbaya ketika menjadi Keynote Speech dalam seminar bertema “Selamatkan Planet Bumi Melalui Penerapan Prinsip Environmental, Social, And Governance (ESG)” yang diselenggarakan PWI Pusat dalam rangka Hari Pers Nasional (HPN) di Ancol, Jakarta Utara, Minggu (18/2).
Multi usaha kehutanan merupakan strategi mencapai pengelolaan hutan lestari dengan meningkatkan nilai optimum kawasan hutan melalui rekonfigurasi bisnis kehutanan yang tidak hanya terfokus pada pada pemanfaatan kayu. Multi usaha kehutanan mendorong peningkatan nilai ekonomi riil lahan hutan dan dapat meningkatkan persentase produktivitas lahan, melalui berbagai usaha.
KLHK mencatat hampir 1,3 juta kepala keluarga (KK) di Indonesia memanfaatkan lahan di kawasan hutan. Pemanfaatan lahan ini melalui 9.642 SK Persetujuan Perhutanan Sosial yang memperoleh akses legal untuk memanfaatkan 6,3 juta hektare kawasan hutan.
Selain itu, lebih dari 75 ribu KK melalui 131 SK Hutan Adat juga telah memperoleh akses kelola 250 ribu hektare kawasan hutan. Langkah ini menjawab tantangan pemerintah dalam memberikan manfaat ekonomi di kawasan hutan untuk masyarakat.
Selain itu, sertifikasi mandatory untuk produk hasil hutan yang diekspor, yaitu Sistem Verifikasi Legalitas dan Kelestarian (SVLK) meningkat dari 2.724 industri pemegang sertifikat pada tahun 2017 menjadi 5.462 industri pemegang sertifikat di tahun 2023. Peningkatan pelaku usaha pemegang SVLK, seiring dengan peningkatan tren ekspor produk hasil hutan dari US$ 10,93 juta pada 2017 menjadi US$ 13,17 juta di tahun 2023.
Siti Nurbaya mengatakan indikator ini menunjukkan bahwa pemerintah telah secara nyata mengimplementasikan kebijakan alokasi pemanfaatan sumber daya hutan yang berpihak kepada masyarakat, sebagai salah satu bentuk untuk mewujudkan sebuah keseimbangan di dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Hal ini diatur dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 46 Tahun 2017 tentang Instrumen Ekonomi Lingkungan Hidup.
Deforestasi Terendah Indonesia
Selain pemanfaatan hutan, pemerinta terus melakukan transformasi dalam konteks konservasi dan pengurangan deforestasi. Pemerintah terus melakukan berbagai pendekatan pembangunan sektor kehutanan yang tidak hanya menekan laju deforestasi tapi juga pemanfaatan hutan berkelanjutan.
"Atas langkah kerja yang telah ditempuh oleh pemerintah, sebagai contoh beberapa yang berupa indikator kinerja pembangunan sektor kehutanan dapat diturunkan menjadi penurunan emisi gas rumah kaca sektor kehutanan, yang salah satunya adalah ukuran pencapaian tingkat laju deforestasi terendah dalam sejarah kehutanan Indonesia selama ini," kata Siti dalam kesempatan yang sama.
Berdasarkan data KLHK per Januari 2024, deforestasi neto Indonesia tahun 2021-2022 adalah sebesar 104 ribu hektare. Angka tersebut memperlihatkan penurunan jika dibandingkan dengan periode 2020-2021 yang mencapai 113,5 ribu hektare.
Deforestasi tertinggi terjadi pada periode 1996 sampai 2000 seluas 3,5 juta hektare per tahun. Sementara itu, pada periode 2002-2014 deforestasi mencapai 0,75 juta hektare per tahun. Titik terendah laju deforestasi tercapai pada 2022 seluas 104 ribu hektare.