Wakil Direktur Utama PT Bank Mandiri (Persero) Tbk, Alexandra Askandar, mengatakan investasi hijau atau investasi untuk mendukung penanganan perubahan iklim masih dinilai mahal oleh pelaku bisnis. Padahal investasi tersebut memiliki manfaat jangka panjang yang nyata.
“Investasi terkait climate ini dinilai masih mahal. Mengapa hal itu dinilai mahal ? Karena biaya yang harus kita keluarkan di saat ini lebih besar daripada manfaat jangka pendeknya. Padahal, kita sama-sama pasti meyakini bahwa manfaat jangka panjangnya jelas dan nyata,” kata Alexandra di Jakarta, Kamis (18/7).
Sebagai green market leader dengan pangsa pasar lebih dari 30 persen di Indonesia, Alexandra mengungkapkan terdapat berbagai tantangan yang dihadapi Bank Mandiri dalam mendukung target Indonesia menuju ekonomi rendah karbon. Tantangan itu khususnya dalam mempromosikan investasi iklim.
Alexandra mengatakan, salah satu dukungan yang dibutuhkan adalah kebijakan kuat yang dapat menjadi pemicu utama untuk mendorong pembiayaan iklim. Pembiayaan iklim harus dibuat lebih menarik bagi semua pihak melalui mekanisme insentif dan pengurangan biaya seperti insentif proyek hijau atau pajak karbon. Hal ini dapat mendorong semua pihak bergerak menuju praktik bisnis yang lebih hijau.
Dia mengatakan, mekanisme pajak karbon dapat menjadi dukungan untuk meningkatkan permintaan pembiayaan hijau. Mekanisme ini memberikan konsekuensi finansial tertentu bagi bisnis yang menghasilkan emisi tinggi dan insentif bagi bisnis yang beralih menuju praktik berkelanjutan.
"Sinergi antara penetapan pajak karbon dan pembiayaan hijau memainkan peran penting untuk mempercepat transisi global menuju ekonomi rendah karbon," ujarnya.
Ia mencontohkan Singapura yang berhasil memperkenalkan pajak karbon pada 2019. Negara tersebut memiliki berbagai kebijakan serta insentif terkait investasi hijau. Hasilnya, Singapura menunjukkan pertumbuhan yang sangat baik, dengan memiliki porsi investasi hijau yang relatif besar di Asia Tenggara.
Tercatat lebih dari 2096 total investasi hijau yang dibukukan antara tahun 2020 sampai dengan 2023. Alexandra optimistis perkembangan industri di Indonesia akan tetap baik meskipun kebijakan pajak karbon diterapkan.
Alexandra optimistis perkembangan industri di Indonesia akan tetap baik meskipun kebijakan pajak karbon diterapkan. Saat ini regulasi masih dalam tahap pengembangan dan uji coba Sistem Perdagangan Emisi (ETS) di sektor Energi dan memulai perdagangan karbon di bursa karbon pada 2023.
"Sekali lagi, menyeimbangkan antara peluang dan kepatuhan regulasi adalah hal yang krusial. Kami percaya bahwa beralih dari partisipasi voluntary menjadi mandatory dapat meningkatkan dampak kolektif kami dan memperkuat upaya keberlanjutan kami," ucapnya.