Direktur Kebijakan Publik, Center of Economic and Law Studies (Celios), Media Wahyudi Askar, mengatakan Indonesia dapat membukukan pemasukan tambahan untuk Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) dengan model perpajakan progresif dan berkelanjutan.
Adapun, model perpajakan progresif dan berkelanjutan yang dimaksud meliputi pajak karbon, pajak produksi batu bara, pajak laba mendadak (windfall tax), dan pajak orang super kaya.
"Langkah ini berpotensi menghasilkan pendapatan tambahan sebesar Rp 222 sampai dengan Rp 241 triliun per tahun," ujar Media dalam peluncuran laporan dan penelitian berjudul "Paradigma Baru Ekonomi: Dukungan Fiskal untuk Ekonomi Restoratif" di Jakarta, Kamis (25/7).
Ia merinci, estimasi penerimaan negara dari pajak berkelanjutan dan progresif untuk pembiayaan ekonomi restoratif berasal dari pajak karbon dengan perkiraan mencapai Rp 69,75 triliun, pajak windfall Rp 42, 71 triliun, pajak produksi batu bara Rp 28, 76 trliun, dan pajak orang super kaya Rp 81,56 triliun.
Menurutnya, pendapatan tersebut harusnya dapat di alokasikan untuk menyediakan dasar keuangan untuk inisiatif ekonomi restoratif. Ekonomi restoratif merupakan model ekonomi pembangunan yang mementingkan lingkungan hingga sosial yang berkelanjutan.
"Terobosan inovatif dalam perpajakan ini dapat menjadi opsi pembiayaan untuk mendukung inisiatif restoratif tanpa menambah beban utang dan membebani struktur fiskal saat ini,” ujarnya.
Biaya Ekonomi Restoratif
Media mengatakan, Indonesia membutuhkan setidaknya Rp 892,1 triliun hingga 2045 untuk melaksanakan strategi ekonomi restoratif di berbagai sektor. "Indonesia membutuhkan setidaknya Rp 37 triliun per tahun, dan sekitar Rp 892,15 triliun hingga 2045," ujarnya.
Indonesia masih kekurangan anggaran khusus untuk inisiatif ekonomi restoratif meskipun kesadaran praktik berkelanjutan semakin meningkat.
Hal ini menyebabkan Indonesia sering kali tertinggal dari upaya keberlanjutan lain seperti energi terbarukan dan mitigasi perubahan iklim.