Pemerintah Diminta Tingkatkan Bauran Energi Terbarukan Melalui Revisi KEN
Koalisi Transisi Energi Berkeadilan mendorong Revisi Kebijakan Energi Nasional (KEN) yang dapat meningkatkan tingkat bauran energi terbarukan hingga 60% pada 2030 dan 100% pada 2050.
Juru Kampanye Forest Watch Indonesia (FWI) Anggi Prayoga mengatakan, untuk mencapai tingkat bauran energi terbarukan tersebut, maka harus dilakukan tanpa memasukan jenis energi yang berbasis lahan yang menyebabkan deforestasi seperti biomassa.
Menurutnya, selama ini pemenuhan biomassa kayu dilakukan melalui pembangunan Hutan Tanaman Energi (HTE) dengan menggunduli hutan di Provinsi Aceh, Jambi, Bangka Belitung, sejumlah provinsi di Kalimantan, dan Gorontalo.
Anggi memproyeksi hutan alam seluas 4,65 juta hektare bakal terancam proyek pembangunan HTE dan dari implementasi co-firing biomassa di pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) batubara.
“Jika praktik ini tetap dibiarkan, maka Indonesia akan mengalami utang emisi dari hutan yang dirusak,” ujar Anggi dalam keterangan resmi, Selasa (3/9).
Selain itu, pada revisi KEN juga diharapkan tidak memasukan energi nuklir yang berisiko untuk diterapkan di Indonesia dengan kondisi geografis rentan gempa dan belum siap secara infrastruktur untuk mengelola nuklir.
Meninjau Nuklir Sebagai Tumpuan Energi
Plt. Direktur Program Indonesian Centre for Environmental Law (ICEL), Bella Nathania mengatakan pemerintah dan DPR perlu mempertimbangkan pentingnya meninjau kembali prioritas nuklir sebagai tumpuan energi dalam RPP KEN.
“Terlebih, Indonesia belum memiliki kesiapan infrastruktur khususnya untuk pengelolaan limbah nuklir. Dengan kondisi geografis Indonesia, PLTN di Pulau Bangka akan berdampak hingga ke Sumatera Utara,” ujar Bella.
Sementara itu, Plt. Direktur Program Koaksi Indonesia, Indra Sari Wardhani, mengatakan revisi KEN harus menghapus pemanfaatan energi fosil yang terselubung dalam terminologi energi baru seperti hilirisasi batubara.
"Batu bara tercairkan (liquified coal), batu bara tergaskan (gasified coal), gas metana batu bara (coal bed methane), serta tidak menjadikan transisi sebagai ruang ekspansi gas," ujar Indra.
Revisi KEN juga tidak mendorong penggunaan teknologi penangkapan karbon (CCS/CCUS) sebagai jalan pintas yang memiliki risiko finansial dan potensi kegagalan tinggi YANG justru melanggengkan ketergantungan Indonesia pada energi fosil. Pasalnya, pemanfaatan energi fosil berdampak serius pada beban ekonomi negara.
Menurut Laporan Ambiguitas VS Ambisi: Tinjauan Kebijakan Transisi Energi Indonesia yang dikerjakan Trend Asia bersama Centre for Research on Energy and Clean Air (CREA), sekitar 33% dari 58 gigawatt (GW) pembangkit listrik yang terpasang melebihi kebutuhan energi listrik pada 2021. Hal ini menyebabkan beban biaya operasional dan pemeliharaan mencapai Rp 16 triliun atau setara US$ 1,2 miliar.
Koalisi juga meminta revisi KEN mengakomodasi kebutuhan pemerintah daerah sebagai aktor penting dalam dekarbonisasi. Hal ini dinilai penting karena Pemda akan menjadi penyusun sekaligus pelaksana Rencana Umum Energi Daerah (RUED) yang merupakan turunan pelaksanan KEN di daerah masing-masing.