Pada acara Indonesia Sustainability Forum (ISF) 2024 yang dilangsungkan di Jakarta, Kamis (5/9/2024), Presiden Joko Widodo mengatakan, Indonesia memiliki potensi besar dalam menyelesaikan masalah perubahan iklim global melalui penyerapan karbon.
Hal tersebut diamini Chief Operating Officer (CEO) Indonesia Business Council (IBC) William Sabandar. Menurutnya, dengan kekayaan lahan gambut dan hutan tropis yang melimpah, Indonesia berpeluang besar menjadi pemain utama dalam pasar karbon dunia.
Berdasarkan buku putih yang disusun IBC bertajuk 15 Rekomendasi Paket Kebijakan untuk Mendukung Agenda Pembangunan Presiden & Wakil Presiden Indonesia 2024-2029, Indonesia disebut menguasai sekitar 80 persen cadangan karbon dunia. Indonesia memiliki 3,3 juta hektar lahan mangrove yang berpotensi menyimpan sekitar 20 persen dari simpanan karbon global.
Sementara terkait lahan gambut diperkirakan bisa menyimpan sekitar 37 persen. Indonesia juga memiliki hutan hujan tropis seluas 125 juta hektar yang merupakan salah satu sumber penyerapan karbon yang signifikan.
“Potensi itu dapat dimanfaatkan pemerintah Indonesia dalam mitigasi perubahan iklim global,” ujar William kepada Katadata, Kamis (5/9).
Menurutnya, pemanfaatan pasar karbon akan membantu pemerintah mencapai target pengurangan emisi karbon yang telah ditetapkan pada komitmen nationally determined contributions (NDC) di Perjanjian Paris 2015.
“Dengan memanfaatkan pasar karbon Indonesia juga dapat berkontribusi dalam pencapaian target nol emisi atau net zero emission yang telah ditetapkan bersama,” kata William.
Pasar karbon secara sederhana dapat dijelaskan sebagai aktivitas jual beli kredit karbon. Namun, pengertian karbon ini bukanlah penghasil emisi gas rumah kaca (GRK), melainkan usaha untuk menurunkan emisi GRK dalam bentuk kredit. Penghitungannya, satu unit karbon senilai dengan penurunan emisi 1 ton CO2.
William menerangkan lebih terperinci, bahwa pasar karbon merupakan instrumen penting dalam pembiayaan iklim yang mencakup langkah adaptasi maupun mitigasi. Ini memungkinkan entitas seperti perusahaan yang menghasilkan emisi dari operasionalnya, dapat membeli kredit karbon dari proyek-proyek yang menyerap atau mengurangi emisi.
“Dengan besarnya potensi simpanan karbon di Indonesia, pasar karbon dapat menjadi sarana penting dalam mempercepat pengurangan emisi di dalam negeri,” kata eks Direktur Utama Mass Rapid Transit (MRT) ini.
Saat ini, aturan terkait pasar karbon di Indonesia telah diatur dalam Peraturan Presiden No 98 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Nilai Ekonomi Karbon untuk Pencapaian Target Kontribusi yang Ditetapkan Secara Nasional dan Pengendalian Emisi Gas Rumah Kaca dalam Pembangunan Nasional.
Selain itu, ada Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan No 21 Tahun 2022 tentang Tata Laksana Penerapan Nilai Ekonomi Karbon. Adapun pada September tahun lalu, Presiden Joko Widodo juga telah meresmikan Bursa Karbon Indonesia (BKI).
Kendati telah diresmikan, William menambahkan, terdapat berbagai tantangan dalam menavigasi pasar karbon di Indonesia, salah satunya terletak pada nilai dan volume yang relatif kecil. Bahkan bisa dibilang dampaknya terhadap pengurangan emisi masih belum signifikan.
“Karena itu untuk meningkatkan efektivitas pasar karbon di Indonesia perlu peta jalan yang komprehensif dan Sistem Registrasi Nasional Pengendalian Perubahan Iklim (SRN-PPI) yang mendukung akuntabilitas dan transparansi perdagangan karbon,” ungkap pria yang juga menjabat sebagai Ketua Tim Ahli Transportasi Ibu Kota Negara Nusantara (IKN) ini.
Peta jalan itu, tambah William, berfungsi sebagai panduan untuk industri sekaligus pembuat kebijakan. SRN-PPI merupakan sistem pengelolaan dan penyediaan data dan informasi tentang aksi dan sumber daya untuk adaptasi dan mitigasi perubahan iklim di Indonesia.
Menurutnya, fungsi dari kedua hal itu perlu diperkuat dengan penetapan batas emisi nasional untuk setiap entitas. Kemudian disesuaikan juga dengan integrasi model taksonomi berkelanjutan dari Otoritas Jasa Keuangan (OJK) untuk sektor swasta.“Selain itu, peningkatan kesadaran dan pendidikan tentang pentingnya perdagangan karbon juga menjadi kunci untuk mendorong lebih banyak partisipasi,” ungkap William.
Tantangan lainnya adalah perdagangan karbon lintas batas di Indonesia belum memungkinkan, sehingga menghambat optimalisasi potensi kredit karbon yang dihasilkan. Oleh sebab itu, kredit karbon nasional perlu disesuaikan dengan standar internasional agar Indonesia bisa berpartisipasi penuh dalam kancah global.
“Hal ini akan memastikan bahwa karbon kredit yang dihasilkan di Indonesia diakui secara global, sehingga menarik lebih banyak investor dan pembeli dari luar negeri,” pungkas William.
Bila pelaku usaha banyak terlibat, bukan tidak mungkin dana yang terkumpul dari mekanisme itu dapat diinvestasikan kembali ke proyek-proyek mitigasi perubahan iklim yang berkelanjutan. Efeknya bisa bergerak lebih jauh dari sekadar mengurangi emisi, namun juga berandil pada perekonomian masyarakat.
“Upaya pengendalian itu terkait dengan target dari NDC. Proyek tersebut juga dapat membuka lapangan pekerjaan dan mendorong ekonomi lokal,” pungkas William.