Banyak Pekerjaan Hilang pada 2050, Ini Keterampilan yang Direkomendasikan UNESCO

Dok. ISF 2025
Direktur Regional UNESCO Maki Katsuno mengatakan, transformasi menuju ekonomi berkelanjutan akan menuntut kemampuan baru yang tidak sekadar bersifat kognitif.
11/10/2025, 20.28 WIB

PBB memperkirakan separuh jenis pekerjaan yang ada saat ini  menghilang pada 2050. Sedangkan 60% anak-anak yang kini duduk di bangku sekolah dasar diperkirakan akan bekerja di bidang yang  belum ada saat ini.

Direktur Regional UNESCO Maki Katsuno mengatakan, transformasi menuju ekonomi berkelanjutan akan menuntut kemampuan baru yang tidak sekadar bersifat kognitif. “Ini bukan hanya tentang ekonomi hijau, tapi juga ekonomi industri yang lebih inklusif secara sosial dan budaya,” ujarnya dalam Indonesia International Sustainability Forum (IISF) 2025 di Jakarta, Sabtu (11/10).

Menurut Maki, keterampilan masa depan harus bersifat holistik dan mendorong perubahan menuju ekonomi hijau. Ia menyebut setidaknya terdapat tiga kategori utama kemampuan yang perlu dikembangkan. Pertama, human skills, seperti kepemimpinan, kerja sama tim, motivasi, kelincahan (agility), dan kesadaran diri.

“Ini adalah keterampilan yang membuat manusia tetap relevan di tengah percepatan otomatisasi dan digitalisasi,” ujarnya.

Kedua, kemampuan teknis yang terkait dengan pembangunan infrastruktur hijau dan pengelolaan sumber daya alam. Menurut Maki,  UNESCO turut memberikan dukungan dan pelatihan untuk meningkatkan kapasitas tenaga profesional di bidang ekologi dan keberlanjutan.

“Kemampuan ini penting untuk menghadapi tantangan perkotaan seperti pengelolaan banjir, peningkatan kualitas air, hingga ketahanan masyarakat,” katanya.

Ketiga, kemampuan memahami dan mengolah data. Menurut Maki, pemecahan isu lingkungan tidak dapat dipisahkan dari data ilmiah. “Contohnya dalam penanganan masalah air, kita perlu kemampuan pengumpulan data, penginderaan jauh, serta interpretasi data agar bisa menentukan solusi cepat dan tepat,” jelasnya.

Namun, ia menilai penguatan keterampilan semacam itu harus dimulai dari sistem pendidikan. Saat ini, hanya sekitar 53% kurikulum global yang menyinggung isu perubahan iklim, sementara kurang dari 40% guru merasa nyaman membahasnya di kelas. “Kita harus memperhatikan pendidikan lebih serius sebelum berbicara tentang akses terhadap keterampilan hijau yang lebih kompleks,” ujarnya.

Untuk menutup kesenjangan tersebut, UNESCO bekerja sama dengan perguruan tinggi dan organisasi kepemudaan untuk memperluas akses pendidikan lingkungan, terutama bagi kelompok yang belum banyak terjangkau sistem formal. “Kami ingin memastikan semua orang memiliki kesempatan yang adil untuk memperoleh keahlian yang dibutuhkan menuju transformasi ekonomi yang berkelanjutan dan ramah lingkungan,” kata Maki.

Transformasi ke arah ekonomi hijau, lanjutnya, tak hanya menuntut adaptasi teknologi, tetapi juga perubahan paradigma. “Kita harus menggabungkan sains, teknologi, dan nilai keberlanjutan dalam satu sistem yang saling mendukung,” kata dia.

Baca artikel ini lewat aplikasi mobile.

Dapatkan pengalaman membaca lebih nyaman dan nikmati fitur menarik lainnya lewat aplikasi mobile Katadata.

Reporter: Ajeng Dwita Ayuningtyas