Pendanaan Baru Lindungi Hutan Dunia, Bagaimana Skema TFFF Bekerja?
Tropical Forest Forever Facility (TFFF) menjadi salah satu inisiatif pendanaan iklim yang mencuri perhatian pada Konferensi Iklim PBB ke-30 (COP30). Skema yang digagas Presiden Brasil Luiz Inácio Lula da Silva pada COP28 ini dirancang untuk memastikan pendanaan jangka panjang bagi perlindungan hutan hujan tropis.
Indonesia ikut berpartisipasi aktif di TFFF dan berkomitmen menyumbang hingga US$1 miliar (sekitar Rp16,8 triliun), dan mengambil peran strategis dalam peluncuran platform akses TFFF di COP30.
Peneliti WRI Indonesia, Sita Primadevi, menjelaskan TFFF awalnya bukan bagian dari proses negosiasi formal COP, melainkan inisiatif global yang mengedepankan model blended finance, yakni menggabungkan pendanaan publik dan swasta dalam satu dana kelolaan.
“Inovasinya adalah mekanisme pendanaan jangka panjang. Modal pokok akan dikumpulkan dalam jumlah besar, lalu return dari investasi dana tersebut digunakan untuk mendanai tujuan perlindungan hutan,” ujar Sita dalam konferensi pers, Selasa (9/12).
Pada tahap awal, komitmen untuk mengembangkan TFFF datang dari Brasil, Indonesia, dan Norwegia. Namun selama COP30 berlangsung, Jerman dan Prancis turut menyatakan minat berkontribusi, memperbesar peluang pendanaan inisiatif ini.
Target pendanaan publik untuk TFFF ditetapkan sebesar US$ 25 miliar (Rp 416,6 triliun). Dana tersebut diharapkan dapat membuka akses pendanaan swasta hingga U$ 100 miliar (Rp 1.666 triliun), sehingga total dana kelolaan mencapai US$ 125 miliar (Rp 2.083 triliun).
Dengan nilai itu, TFFF diproyeksikan menghasilkan imbal hasil sebesar US$ 3 hingga 4 miliar (Rp 49,99-Rp 66,66 triliun) per tahun yang kemudian dapat disalurkan ke negara-negara penerima manfaat.
Dana TFFF hanya akan diberikan kepada negara yang memiliki tutupan hutan hujan tropis signifikan dengan tingkat deforestasi rendah, di bawah 0,5% per tahun. Pendanaan diberikan berdasarkan kinerja, mirip dengan skema REDD+, tetapi indikatornya lebih sederhana.
“Kalau REDD+ menghitung karbon yang disimpan, TFFF fokus pada tutupan hutan. Selama hutan tetap berdiri (standing forest), maka pembayaran dapat diberikan,” kata Sita.
Besaran manfaat yang diberikan yaitu US$ 4 (Rp 66.660) per hektare tutupan hutan yang terjaga. Namun jika tingkat deforestasi meningkat melampaui ambang batas tertentu, nilai pembayaran akan dikurangi dengan multiplier khusus.
Menurut Sita, yang cukup menarik perhatian skema ini adalah kewajiban negara penerima untuk mengalokasikan minimal 20% manfaat langsung kepada masyarakat adat dan komunitas lokal. Pembayaran harus disalurkan secara langsung tanpa perantara panjang.
“Ini sebuah kemajuan penting dalam pengakuan hak dan peran masyarakat adat sebagai penjaga hutan,” ujar Sita.