Jumlah cadangan devisa bisa naik dan turun. Kejatuhan nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat di antara faktornya. Ketika rupiah melemah cukup dalam dan panjang, Bank Indonesia kerap melakukan intervensi ke pasar walau menggerus devisa.
Kaitan dua hal ini memang cuku kental. Banyak faktor yang memicu rupiah turun. Lihat pergerakan mata uang Garuda pekan-pekan lalu. Pada penutupan perdagangan Jumat dua minggu kemarin, BI mencatat rupiah ditransaksikan pada level 13.950 per dolar, atau menguat dari hari sebelumnya 14.050, mengikuti tren sepanjang pekan tersebut yang di atas 14.000 per dolar.
Sejumlah ekonom menduga penguatan ini ditopang oleh meredanya perang dagang antara Amerika dan Cina. Faktor global memang kerap berpengaruh besar. Hal ini terlihat pada pergerakan kurs rupiah di awal pekan selanjutnya yang kembali masuk zona 14.000, bahkan sempat menyentuh 14.100.
Ketika itu, lonjakan harga minyak mentah dunia usai serangan drone ke fasilitas Saudi Aramco ditengarai sebagai faktor utamanya. “Kalau harga minyak naik, biaya impor migas bakal semakin mahal. Artinya, semakin banyak devisa yang 'terbakar' untuk impor migas sehingga tekanan di neraca perdagangan dan transaksi berjalan meningkat,” kata analis PT Garuda Berjangka Ibrahim, Selasa (17/9/2019).
(Baca: Pengertian Cadangan Devisa dan 5 Komponennya)
Fluktuasi nilai rupiah inilah yang kerap menjadi persoalan, terutama bagai para pengusaha, pemerintah, dan Bank Indonesia. Kejatuhan rupiah membengkakkan posisi utang luar negeri. Di titik ini, otoritas moneter kerap melakukan intervensi untuk meredam gejolak tersebut.
Dalam melakukan intervensi, Bank Indonesia mengguyur dolar ke pasar untuk memenuhi kebutuhan. Sesuai hukum dasar ekonomi, suplai yang mencukupi permintaan akan membuat nilai barang, dalam hal ini dolar, menjadi turun. Namun intervensi ini bukan tanpa risiko. Langkah moneter tersebut menggerus cadangan devisa di Bank Indonesia.
Lihat saja ketika Februari tahun lalu bank sentral melakukan intervensi. Saat itu rupiah melemah 2,27 % secara point to point dari 13.402 pada awal Februari menjadi 13.707 di akhir bulan tersebut. “Karena digunakan intervensi, jumlah cadangan devisa turun,” kata Asisten Gubernur Kepala Departemen Kebijakan ekonomi Moneter BI, Dody Budi Waluyo kepada Katadata.co.id ketika itu.
Di pekan kedua November 2018, Bank Indonesia juga melakukan intervensi agar rupiah tidak terpuruk dalam. Di transaksi pasar spot, rupiah sempat melemah hingga di atas 13.800. Namun penjagaan yang dilakukan bank sentral mampu meredam fluktuasi kurs rupiah yang dipicu oleh kecemasan terhadap kebijakan presiden Amerika Serikat Donald Trump yang cenderung protektif. Perhatikan grafik Databoks berikut ini:
Intervensi Bank Indonesia dan Kaitannya dengan Tujuan Cadangan Devisa
Sebagai otoritas moneter, salah satu langkah Bank Indonesia dalam menjaga kestabilan rupiah yakni intervensi pasar dengan cara “mengguyur” dolar untuk menutupi permintaan. Tentu, semestinya, kebijakan tersebut diambil dengan perhitungan matang mengikuti tata kelola cadangan devisa yang baik.
Menurut Dyah Virgoana Gandhi dari Pusat Pendidikan dan Kebanksentralan BI, ada tiga tujuan pengelolaan cadangan devisa.
- Pertama, mendukung kebijakan moneter yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari langkah menjaga nilai tukar.
- Kedua, membantu pemerintah untuk pembayaran utang luar negeri secara tepat waktu.
- Ketiga, membiayai impor untuk menunjang kegiatan ekonomi di dalam negeri.
Menurut dia, prinsip mengelola dan memelihara cadangan devisa yakni keamanan dan kesiagaan dalam memenuhi kewajiban sesegera mungkin tanpa. Di sisi lain langkah ini tak mengabaikan prinsip untuk memperoleh pendapatan yang optimal, misalkan menempatkan devisa sebagai instrumen investasi.
Mengacu pada Undang-Undang Bank Indonesia Nomor 3 Tahun 2004, yang dimaksud dengan cadangan devisa yakni yang tercatat pada sisi aktiva neraca BI. Dalam hal ini, cadangan devisa dapat berupa uang kertas asing, giro, deposito berjangka, wesel, dan surat berharga luar negeri.
Di luar itu, bisa juga tagihan lainnya dalam valuta asing ke pihak luar negeri yang bisa dipergunakan sebagai alat pembayaran. Atau, dapat berupa hak atas devisa yang setiap waktu dapat ditarik dari suatu badan keuangan internasional.
Sejauh ini, cadangan devisa jenis bank notes dan yang bersifat likuid paling banyak digunakan untuk pembayaran utang luar negeri pemerintah dan impor yang dibiayai Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara. Sementara cadangan devisa untuk sterilisasi atau intervensi guna mendukung kebijakan moneter bertujuan utama mengendalikan fluktuasi rupiah agar terkendali.
Hal ini pula yang disebutkan Institute for International Economics. Melalui ulasan “Does Foreign Exchange Intervention Work?”, sterilisasi atau intervensi didefinisikan sebagai transaksi beli-jual valuta asing terhadap mata uang domestik untuk mempengaruhi nilai tukar mata uang domestik atau cadangan devisa suatu negara.
Cadangan Devisa dan Sistem Tukar Mata Uang Mengambang Bebas
Namun, kata Dyah, walaupun Bank Indonesia melakukan intervensi bukan berarti hal itu untuk mempertahankan rupiah tetap di level tertentu. Sebab, sejak 14 Agustus 1997, Indonesia menganut sistem nilai tukar mengambang bebas.
Berdasarkan mekanisme dalam sistem tersebut, Bank Indonesia sebenarnya tidak berkewajiban untuk melakukan intervensi dengan menjual atau membeli dolar ke pasar valas. Cadangan devisa yang dimiliki dapat lebih difokuskan untuk memenuhi keperluan pemerintah, seperti membayar utang luar negeri.
Namun, rupiah yang tak terkontrol akan menyulitkan sektor usaha. Di sinilah Bank Indonesia akan berhitung seberapa perlu dan besarnya volume dolar atau uang asing lainnya yang akan ditarik atau diguyurkan ke pasar agar rupiah tak terlalu bergejolak.
Lagi-lagi, karena yang dianut free floating exchange rate system, intervensi dilakukan secara berhati-hati dan dalam jumlah terukur. Patokannya pada indikator moneter terutama nilai tukar rupiah. Juga menimbang perkembangan pasar valas dengan tetap memperhitungkan kecukupan cadangan devisa.
Selain itu, penjualan atau pembelian dolar oleh Bank Indonesia di pasar valas untuk mendukung pencapaian target moneter. Dengan catatan, bank sentral tetap memperhatikan jumlah uang primer sehingga diharapkan dalam jangka menengah dapat menjaga tingkat inflasi.
Kerja Sama Pemenuhan Cadangan Devisa Antarnegara
Selain bantalan devisa yang dimiliki bank sentral, negara punya “sumber” cadangan melalui kerja sama dengan negara lain untuk menjaga stabilitas mata uang.
- Kerja Sama EMEAP
Bank Indonesia membangun “Repurchase Agreement” (Repo) senilai US$ 5,5 miliar. Pertukaran dana devisa ini dihasilkan dari Excecutive Meeting of the East Asia and Pacific Central Banks (EMEAP) pada 1991.
EMEAP merupakan kelompok kerja sama antarbank-bank sentral atau otoritas moneter 11 negara. Saat ini ada delapan anggota EMEAP, yakni Malaysia, Filipina, Singapura, Thailand, Hongkong, Jepang, Cina, dan Australia. Kerja sama ini meliputi pengembangan pasar keuangan, sistem pembayaran, dan sistem perbankan. Tujuannya untuk saling membantu secara bilateral ketika mata uang satu negara bergejolak.
Sebagai perumpamaan, rupiah bergejolak cukup parah dan membutuhkan devisa besar untuk meredamnya. Pada situasi seperti ini, Bank Indonesia bisa meminta bantuan bank sentral negara lain untuk membeli rupiah dengan valuta asing mereka untuk menahan kemerosotan lebih dalam. Nanti, valas tersebut harus dibayar kembali sesuai kesepakatan kedua pihak, biasanya dalam jangka satu bulan, dengan tingkat bunga pasar yang berlaku.
(Baca: Cadangan Devisa Naik, Rupiah Menguat ke Posisi 14.101 per Dolar AS)
- Kerja Sama ASEAN Swap Arrangement
Sejak 1977, Bank Indonesia mengikuti kesepakatan ASEAN Swap Arrangement (ASA) antarnegara-negara Asia Tenggara. Total nilai dana yang tersedia dalam skema ini US$ 2 miliar.
Negara peserta dapat meminjam valas dari negara anggota lain, jaminannya berupa surat-surat berharga valas yang dimilikinya. Indonesia pernah memanfaatkan fasilitas tersebut pada 1979. Setelah itu, sampai saat ini Bank Indonesia belum memanfaatkan kembali fasilitas ASA ini.
Dalam ketentuan permitraan ini, jumlah pinjaman ASA secara periodik ditingkatkan sesuai perkembangan. Saat ini, Indonesia memperoleh fasilitas batas pinjaman US$ 600 juta.
Kerja sama ASA sempat ditinjau dalam Chiang Mai Initiative. Ketika itu itu bersamaan dengan upaya peningkatan Bilateral Swap Arrangement, sebuah kesepakatan pemberian bantuan untuk mengatasi kesulitan likuiditas dan menanggulangi krisis antarnegara. Anggotanya terdiri dari ASEAN, Cina, Jepang, dan Korea atau dikenal sebagai ASEAN + 3.
Total dana dalam kerangka kerja sama 13 negara tersebut mencapai US$ 39,5 miliar. Dari jumlah tersebut, fasilitas untuk Indonesia secara bilateral dengan Korea dan Jepang masing-masing US$1 miliar dan US$6 miliar. Lalu nilai pertukaran Indonesia dengan Cina US$2 miliar.