Di tengah anjloknya harga minyak mentah, Presiden Amerika Serikat Donald Trump berencana mengambil peluang untuk memborong 75 juta barel emas hitam. Semuanya akan masuk ke cadangan minyak strategis negara itu atau strategic petroleum reserve (SPR).
Namun, untuk merealisasikan rencana itu, ia perlu mendapatkan persetujuan dari Kongres. “Kami akan mendapatkannya dengan harga yang tepat,” kata Trump saat konferensi pers di Gedung Putih, Washington DC, Selasa (21/4).
Kongres sebelumnya telah menggagalkan keinginan Presiden AS ke-45 itu untuk meningkatkan cadangan minyaknya. Pasalnya, pembelian minyak itu memakai paket stimulus pandemi corona sebesar US$ 2 triliun.
Trump berharap Kongres akan menyetujuinya kali ini. “Sekarang waktu yang tepat membeli minyak,” ucapnya.
(Baca: BI: Penurunan Harga Minyak Dunia Positif ke Ekonomi RI)
Dikutip dari Bloomberg pada hari ini pukul 09.00 WIB, harga minyak jenis Brent untuk kontrak Juni 2020 berada di level US$18,99 per barel. Sedangkan harga minyak jenis West Texas Intermediate (WTI) untuk kontrak Juni 2020 berada di level US$ 13,03 per barel.
Pada Senin kemarin perdagangan WTI untuk kontrak Mei ambruk bahkan sampai minus, pertama kalinya dalam sejarah. Harganya perlahan naik setelah Trump mengumumkan rencana pembelian minyak mentah tersebut. Grafik Databoks di bawah ini menunjukkan pergerakan harga acuan minyak tersebut.
Apa Fungsi Strategic Petroleum Reserve?
Melansir dari situs resminya, SPR AS mengklaim memiliki cadangan penyangga minyak mentah terbesar di dunia. Tujuan penyimpanan ini untuk mengurangi dampak gangguan pasokan dan mengurangi impor minyak. Jadi, ketika terjadi krisis atau bencana, konsumsi minyak negara itu tak akan terganggu.
Stok minyak AS dimiliki pemerintah federal dan tersimpan di empat lokasi sepanjang garis pantai Teluk Meksiko. Kapasitas penyimpannya mencapai 713,5 juta barel. Hingga pertengah April, cadangan minyak mentah negara itu mencapai 635 juta barel.
(Baca: Kemenkeu: Defisit Melebar Hingga Rp 12 T Jika Harga Minyak Terus Turun)
Minyak SPR dapat dijual secara kompetitif ketika Presiden AS memutuskan untuk menjualnya. Kondisi tersebut baru terjadi tiga kali. Pertama, ketika Perang Irak pada 1991. Kedua, saat Badai Katrina pada 2005. Yang teranyar adalah ketika Presiden mengarahkan menjual 30 juta barel minyak mentah untuk mengimbangi gangguan pasokan karena perang di Libya.
Banyak negara melakukan langkah serupa dengan AS, yaitu menyimpan minyak mentah. Badan Energi Nasional (IEA) memang mewajibkan negara-negara anggotanya untuk menimbun paling tidak 90 hari impor.
Beberapa negara, terutama sesama anggota IEA, bahkan melakukan kesepakatan untuk memakainya secara bersama untuk situasi darurat. Korea Selatan dan Jepang melakukan kesepakatan tersebut.
Nikkei pada 17 Januari 2020 pernah menulis, Jepang berencana membagi cadangan penyangga minyaknya ke negara non-anggota IEA, yaitu Vietnam dan Filipina. Cadangan minyak mentah Negeri Sakura mencukupi kebutuhan konsumsi domestik untuk 112 hari (milik pemerintah) dan 79 hari (milik swasta).
(Baca: Ambruknya Harga Minyak yang Menambah Beban Ekonomi RI)
Dengan membaginya dengan negara lain, Jepang berharap dapat memakai kilang milik negara tetangga untuk memproses minyak mentah jika terjadi bencana atau keadaan lain yang memutus akses ke kilangnya.
Indonesia sampai sekarang belum memiliki SPR dan hanya mengandalkan cadangan yang dimiliki oleh Pertamina. “Strategic reserve Amerika itu sampai 60 hari dan kita ndak punya, nol,” kata Pelaksana Tugas Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral, Luhut Binsar Pandjaitan, dikutip dari Tirto pada 2016 lalu.
Negara Mana Pemilik Cadangan Penyangga Minyak Terbesar di Dunia?
Melansir dari OilPrice.com, berikut daftar negara-negara pemilik cadangan penyangga minyak terbesar di dunia:
1. Amerika Serikat
Seperti telah disebut di atas, SPR milik AS merupakan yang terbesar di dunia. Cadangan minyak strategis ini terbentuk pertama kali pada 1975, ketika terjadi krisis minyak di Timur Tengah. Tujuan pembentukannya adalah untuk mencegah gangguan pasokan.
Sebelum terjadi pandemi corona, AS sebenarnya sudah menganggap SPR tak lagi penting. Pasalnya, ongkos untuk menyimpan minyak cukup tinggi. Di saat bersamaan, negara tersebut juga sedang menikmati produksi shale oil (minyak serpih) dan shale gas (gas serpih) yang cukup besar. Gara-gara ini, pada September 2018, AS menjadi negara produsen minyak terbesar di dunia.
Namun, situasi sekarang berubah. Konsumsi minyak melemah karena seluruh dunia terdampak infeksi Covid-19. Harga minyak mentah turun, Trump melihat ada potensi untuk mengisi kembali cadangan minyak negaranya.
(Baca: Tertekan Penurunan Harga Minyak, Rupiah Anjlok 0,4% Terlemah di Asia )
2. Tiongkok
Beijing mulai melakukan pencadangan miyak mentah pada 2007. Tidak seperti AS yang terbuka dengan laporan datanya, Cina merahasiakan detail SPR-nya. Sebagian informasi tentang stok minyaknya hanya merupakan perkiraan.
JPMorgan Chase & Co pada Juni 2016 pernah melaporkan Tiongkok sedang membangun tambahan tangki penyimpanan sebesar 400 juta barel. Di tahun berikutnya, ketika harga di bawah U$ 50 per barel, Cina mulai membeli minyak mentah. Situs The Balance menyebut cadangan minyak strategis Cina mencapai 511 juta barel.
3. Jepang
Di posisi ketiga pemegan SPR terbesar adalah Jepang. Total stoknya sekitar 324 juta barel. Jumlah ini cenderung stagnan. Negeri Sakura tidak pernah secara agresif menambah atau menjual persediaannya, bahkan ketika krisis minyak terjadi.
(Baca: Global Kebanjiran Pasokan, Harga Minyak Brent Anjlok ke US$ 18/ Barel)
4. Korea Selatan
Kapasitas SPR Korea Selatan adalah 146 juta barel minyak. Namun, pemerintah negara itu tidak pernah mengisinya secara penuh. Untuk kebutuhan dalam negeri hanya 92,6 juta barel. Lalu, 26,6 juta barel disewakan untuk menyimpan minyak milik perusahaan asing, di bawah perjanjian. Korea National Oil Corp memakainya sebanyak 5,9 juta barel dan 800 ribu barel untuk penggunaan komersial.
5. Spanyol
Negara di Benua Eropa ini memiliki kapasitas SPR 120 juta barel. Tapi tidak pernah terisi penuh. Spanyol sejak lama mempertahankan status quo untuk SPR-nya di level 90 hari konsumsi domestik.
(Baca: Harga Minyak Anjlok, Pertamina Jelaskan Alasan BBM Tak Turun)