Menghitung Valuasi Perusahaan untuk Keputusan Investasi Beli Saham
Harga saham terkadang menjadi salah satu pertimbangan investor untuk menanamkan modal di suatu perusahaan. Selain itu, investor juga akan menganalisis untuk menentukan proyeksi nilai dari sebuah perusahaan, yang dikenal sebagai valuasi.
Adapun nilai valuasi saham adalah proses yang dilakukan investor untuk menilai apakah harga saham perusahaan yang menjadi tujuan investasi, masih sesuai dengan nilai intrinsiknya.
Nilai valuasi ini menghubungkan kesehatan keuangan suatu perusahaan dengan nilai pasarnya. Beberapa indikator yang digunakan adalah pendapatan, laba bersih, nilai buku, dan kas dari operasi laporan keuangan perusahaan. Dari nilai tersebut, investor bisa menentukan apakah harga saham tergolong wajar, terlalu tinggi (overvalued), atau terlalu rendah (undervalued).
Mengutip laman Investopedia, terdapat beberapa macam rasio yang dapat digunakan untuk menghitung valuasi saham, yakni price to earning ratio alias PER atau P/E, price to book ratio atau (P/B), price to sales ratio atau P/S, dan price to cash flow ratio alias P/CF.
Rasio P/E
Rasio ini dipopulerkan oleh mentor Warren Buffett, yakni Benjamin Graham. Meski begitu, ia menyatakan bahwa rasio P/E ini bukan ukuran mutlak untuk pertimbangan investor, melainkan batas atas moderat yang bisa ditolerir.
Untuk mengetahui rasio P/E sebuah perusahaan, cukup membagikan harga saham saat ini dengan total laba per saham alias earning per share (EPS) selama 12 bulan terakhir. Jika nilai EPS naik dan harga saham konstan, rasio P/E akan turun dan saham akan bernilai undervalued karena investor menerima lebih banyak pendapatan dibanding dengan harga saham perusahaan.
Rasio P/E yang lebih tinggi pun bisa berarti harga saham perusahaan overvalued, namun ini bukanlah hal yang mutlak. Rasio P/E yang lebih tinggi bisa berarti bahwa perusahaan sedang bertumbuh, karena harga saham dan EPS naik secara bersamaan.
Rasio P/B
Bila rasio P/E membagikan harga saham saat ini dengan EPS, maka rasio P/B membagikan harga saham dengan nilai buku dari ekuitasnya. Nilai ini dihitung dari selisih antara aset dan liabilitas perusahaan.
Bila rasio P/B bernilai satu, artinya harga saham yang diperdagangkan sesuai dengan nilai buku perusahaan. Bila rasio P/B di bawah satu, investor bisa menganggap bahwa harga saham tersebut undervalued. Begitu juga jika rasio P/B di atas satu, saham tersebut diperdagangkan dengan harga yang lebih tinggi dari nilai buku perusahaan.
Rasio P/S
Berbeda dengan dua rasio di atas, kali ini rasio P/S menghitung nilai valuasi perusahaan berdasarkan pendapatannya. Angka ini bisa menyimpulkan berapa rupiah yang investor akan bayar per penjualan yang dilakukan perusahaan Maka, rumus menghitung rasio P/S adalah pembagian antara nilai kapitalisasi pasar dengan total penjualan selama 12 bulan ke belakang. Selain itu, bisa juga dengan membagikan harga saham dengan penjualan per saham.
Rasio P/S sejalan dengan nilai valuasi perusahaan, bila rasio P/S rendah maka saham dinilai undervalued. Sebaliknya, bila rasio P/S tinggi, maka saham bisa dikategorikan sebagai overvalued.
Rasio P/CF
Rasio ini menghitung valuasi perusahaan berdasarkan arus kas operasi alias operating cash flow (OCF) per saham. OCF turut menghitung biaya non-kas, seperti depresiasi dan amortisasi ke laba bersih. Maka, perhitungan ini akan berguna untuk membandingkan emiten yang memiliki arus kas positif tapi kurang menguntungkan karena mengeluarkan biaya non-kas yang besar.
Maka dapat disimpulkan, rumus rasio P/CF adalah membagikan harga saham dengan OCF. cara kedua adalah dengan pembagian antara nilai kapitalisasi pasar dengan total OCF perusahaan tersebut. Untuk menghindari volatilitas, maka harga saham yang digunakan adalah harga rata-rata 30 atau 60 hari agar tidak terpengaruh oleh pergerakan pasar secara acak. Begitu pun OCF yang dihitung adalah selama 12 bulan.
Contoh Perhitungan Nilai Valuasi
Perlu diingat, investor hanya bisa membandingkan dua atau lebih emiten yang berada dalam sektor yang sama. Sebab, masing-masing sektor memiliki kegiatan usaha yang berbeda dan membutuhkan manajemen modal yang berbeda pula.
Kali ini, Katadata akan membandingkan dua emiten yang bergerak di bidang kertas dan bubur kertas, yaitu PT Indah Kiat Pulp and Paper atau INKP dan PT Pabrik Kertas Tjiwi Kimia alias TKIM. Melalui RTI Business, harga saham rata-rata INKP per Jumat (22/4) yakni Rp 7.560 per lembar, sementara TKIM di level Rp 6.725 per saham. Saham INKP memiliki kapitalisasi pasar atau market cap sebanyak Rp 41,3 triliun, sedangkan TKIM Rp 20,8 triliun.
Adapun INKP memiliki total saham sebanyak 5,4 miliar lembar dan TKIM memiliki total saham sebanyak 3,1 miliar. Selama satu tahun, INKP berhasil memperoleh laba sebesar US$ 527 juta atau setara Rp 7,4 triliun (kurs Rp 14.000). Di sisi lain, TKIM membukukan laba sebesar US$ 249 juta atau setara Rp 3,5 triliun .
Dari dua angka tersebut, diketahui earning per share atau EPS saham INKP sebesar Rp 1.351,8 per lembar dan EPS saham TKIM senilai Rp 1.096 per lembar. Maka, dapat dihitung PER untuk saham INKP sebesar 5,5 dan rasio PER saham TKIM adalah 6,13. Dari perhitungan tersebut, dapat diketahui bahwa valuasi saham TKIM lebih besar dibandingkan saham INKP.