Money laundering atau aktivitas pencucian uang menjadi istilah yang kerap dikaitkan dengan aset kripto. Tak hanya memberikan cuan bagi investor, mata uang kripto juga kerap disalahgunakan oleh pelaku kriminal di dunia digital.

Cryptocurrency digunakan oleh penjahat untuk mencuci dana dari berbagai jenis kejahatan, baik kejahatan di dunia nyata, hingga dunia maya. Termasuk penipuan digital, hingga pencurian aset kripto dari bursa online.

Melansir laman perusahaan software, Cognyte menyebutkan bahwa pelaku kriminal mengeksploitasi anonimitas pada blockchain, untuk menyembunyikan tindak kejahatannya. Di mana, mereka menyamarkan sumber dana yang diperoleh, untuk kemudian mengubahnya menjadi uang tunai dan dimasukkan ke dalam deposito bank.

Sementara itu, mengutip laman Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan atau PPATK, kehadiran Bitcoin sebagai salah satu cryptocurrency atau uang elektronik yang banyak dimiliki saat ini, turut membuka peluang terjadinya money laundering.

Penggunaan mata uang kripto bersifat desentralisasi, atau dapat digunakan tanpa otorisasi bank sentral di setiap negara. Adapun Bitcoin saat ini dapat menjadi alat transaksi, karena nilainya mulai diperhitungkan sebagai jenis pembayaran barang legal hingga ilegal. Hal itu membuat Bitcoin berpotensi menjadi wadah serta fasilitas yang mempermudah transaksi money laundering.

Asal Mula Money Laundering

Istilah pencucian uang atau money laundering muncul pertama kali pada 1920 di Amerika Serikat. Berawal dari para mafia di Amerika Serikat yang memperoleh uang hasil kejahatannya seperti pemerasan, prostitusi, perjudian, dan penjualan minuman beralkohol ilegal, hingga perdagangan narkotika.

Dana yang diperoleh para mafia tersebut, kemudian digunakan untuk membeli perusahaan sah dan resmi. Investasi terbesar adalah perusahaan pencucian pakaian Laundromats yang terkenal di Amerika Serikat, saat itu.

Langkah tersebut menjadi strategi untuk menggabungkan uang haram hasil kejahatan dengan uang yang diperoleh secara sah dari kegiatan usaha. Aksi menyamarkan sumber dana kejahatan tersebut diibaratkan seperti aksi mencuci, sehingga tampak seperti dana legal. Usaha pencucian itu, kemudian semakin maju dengan berbagai uang hasil kejahatan ditanamkan pada usaha pencucian pakaian tersebut.

Ilustrasi, kejahatan pencucian uang (Pixabay)

Melansir laman Otoritas Jasa Keuangan, di Indonesia, tindak pidana pencucian uang diatur dalam UU No. 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang. Adapun perbuatan-perbuatan yang menjadi tindak pidana pencucian uang menurut UU No. 8/2010 adalah sebagai berikut:

  1. Menempatkan, mentransfer, mengalihkan membelanjakan, membayarkan, menghibahkan, menitipkan, membawa ke luar negeri, mengubah bentuk, menukarkan dengan mata uang atau surat berharga atau perbuatan lain atas harta kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana dengan tujuan menyembunyikan atau menyamarkan asal usul harta kekayaan.
  2. Menyembunyikan atau menyamarkan asal usul, sumber, lokasi, peruntukan, pengalihan hak-hak, atau kepemilikan yang sebenarnya atas harta kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana.
  3. Menerima, menguasai penempatan, pentransferan, pembayaran, hibah, sumbangan, penitipan, penukaran, atau menggunakan harta kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana.

Di sisi lain, terdapat istilah Anti Money Laundering atau AML, yang merupakan prosedur peraturan dan kerangka hukum yang dibuat untuk mencegah penjahat melakukan pencucian uang.

Bitcoin Jadi Wadah Money Laundering

Bitcoin bersifat open-source, di mana desain serta kepemilikannya dapat diakuisisi oleh berbagai pihak yang terlibat di dalamnya. Melalui berbagai properti serta penawaran yang unik dan bersifat tidak konvensional, Bitcoin memungkinkan penggunaan atau transaksi yang tidak dapat dicakup oleh sistem pembayaran sebelumnya.

Keberadaan Bitcoin seringkali digunakan beberapa situs ilegal dan aksesibilitas yang hanya bisa diakses melalui deep web hingga dark web. Tentu hal ini bersifat mengancam bagi stabilitas serta perbankan legal yang ada di setiap negara. Kesulitan tentu muncul pada saat dilakukannya pemeriksaan terhadap transaksi yang menggunakan Bitcoin. Dengan dasar dunia cyber sebagai tempat bagi Bitcoin, maka ancaman akan muncul bagi lembaga-lembaga pemeriksa transaksi keuangan.

Menurut catatan penyedia layanan teknologi digital untuk pemantauan transaksi keuangan, Tookitaki terdapat lima kasus pencucian uang terbesar di dunia yang tercatat sampai saat ini:

Mengutip publikasi United States House Committee on Small Business, Bitcoin dapat menimbulkan celah bagi kriminalitas untuk melakukan tindak pidana pencucian uang dan transaksi ilegal lainnya. Sebagai contoh, Bitcoin digunakan sebagai alat pembayaran pada sebuah situs web ilegal bernama Silk Road yang beroperasi mulai dari Februari 2011 hingga Oktober 2013.

Anonimitas Bitcoin memungkinkan orang untuk membeli barang ilegal secara daring dengan cara yang serupa dengan penggunaan uang tunai untuk transaksi ilegal. Satu studi memperkirakan total transaksi di situs Silk Road bulanan berjumlah sekitar US$ 1,2 juta.

Pada 2011, Biro Investigasi Federal (Federal Bureau of Investigation/FBI) menyita semua Bitcoin yang terkait dengan Silk Road dengan total mencapai 26.000 BTC atau senilai US$ 3,6 juta.

FBI juga menutup situs ilegal tersebut Bahaya Bitcoin lain adalah penggunaannya untuk mencuci uang, pendanaan terorisme, dan perdagangan barang ilegal. Meskipun bahaya tersebut masih diungkapkan secara teoritis, Bitcoin berpotensi sebagai sarana bagi berbagai transaksi ilegal.