Menelusuri Sejarah Krisis Pangan Indonesia, Dimulai pada Abad 16
Presiden Joko Widodo meminta jajaran pemerintahannya untuk mewaspadai perkembangan kondisi pangan, energi, hingga global terkini. Hal itu mengacu pada berbagai sentimen, termasuk kondisi global yang tengah bergejolak.
Amanat presiden tersebut disampaikan saat memimpin Sidang Kabinet Paripurna (SKP) di Istana negara, Senin (20/6). Hal serupa juga sudah disampaikan Jokowi dalam berbagai kesempatan. Bukan tanpa alasan, tingginya gejolak berbagai sektor di belahan dunia tersebut, berpotensi memicu lahirnya krisis, termasuk krisis pangan.
Meski dalam sikap waspada, Jokowi menyebutkan ancaman bisa berubah menjadi peluang bagi Tanah Air, sebab memiliki lahan pertanian yang luas. Untuk mengantisipasi adanya krisis pangan, Presiden meminta pemerintahannya untuk meningkat produksi pangan, sehingga tidak bergantung pada produk impor.
“Ancaman krisis pangan, ancaman krisis energi, ancaman kenaikan inflasi, semua negara mengalami dan sampai saat ini, ini baru awal-awal,” kata Jokowi dalam Pembukaan Rapat Koordinasi Nasional (Rakornas) Pengawasan Intern Pemerintah tahun 2022 di Istana Negara, Selasa (14/6).
Pernyataan tersebut juga didukung laporan Bank Dunia April 2022, di mana angka Agricultural Price Index menyentuh nominal tertinggi. Indeks tersebut meningkat 11 % pada kuartal pertama 2022, bila dibandingkan kuartal sebelumnya. Sementara itu, jika dibandingkan dengan capaian periode yang sama tahun sebelumnya, maka terjadi peningkatan 25 %.
Adapun komoditas yang terdampak adalah gandum. Hal itu disebabkan berbagai faktor, seperti kondisi perang yang tengah terjadi di Ukraina, naiknya harga kedelai akibat cuaca buruk di Amerika Selatan, serta meningkatnya kebutuhan pakan ternak setelah demam babi Afrika di Cina.
Pengertian dan Penyebab Krisis Pangan
Dalam Undang-Undang nomor 18 Tahun 2012 tentang pangan, krisis pangan diartikan sebagai suatu kondisi kelangkaan pangan yang dialami sebagian besar masyarakat di suatu wilayah. Penyebab dari kondisi tersebut, antara lain karena kesulitan distribusi pangan, dampak perubahan iklim, bencana alam, konflik sosial, hingga perang.
Untuk menetapkan status krisis pangan, pemerintah pusat dan daerah harus meninjaunya sesuai dengan skala krisis. Masing-masing pemerintah juga berhak menetapkan status krisis pangan sesuai cakupan jabatannya. Mislanya, presiden untuk skala nasional, gubernur untuk skala provinsi, dan bupati/walikota di skala kabupaten/kota.
Krisis Pangan Sejak Abad 16
Melansir buku Krisis Pangan karangan Andreas Maryoto, disebutkan Indonesia sudah pernah mengalami krisis pangan sejak abad 16 hingga 17, tepatnya di Kerajaan Aceh. Saat itu, daerah tersebut mengalami krisis pangan beras, yang diperparah dengan tipologi lahan bercorak rawa, serta faktor kemarau berkepanjangan.
Untuk mengatasi hal itu, Raja Aceh Sultan Iskandar Muda mengimpor tenaga kerja dari India untuk menggarap lahan di wilayahnya. Selain itu, dia juga menetapkan harga beras, sehingga bisa dibeli oleh masyarakat Aceh.
Hal serupa juga terjadi di Kerajaan Mataram tahun 1677-1703, pada masa pemerintahan Amangkurat II. Harga beras yang meningkat, serta tingginya angka gagal panen, membuat masyarakat Mataram harus beralih mengonsumsi ubi dan gadung.
Setelah dilakukan penyelidikan oleh Pangeran Puger, ditemukan penyebab krisis beras, yaitu distribusi yang tidak merata. Oleh karena itu, Amangkurat II memperbaiki distribusi dan menetapkan harga beras yang lebih terjangkau bagi masyarakat Mataram.
Selanjutnya, krisis pangan juga pernah dialami pada era penjajahan Belanda, muncul akibat tanam paksa. Masyarakat terpaksa menanam kopi, teh, dan tebu untuk diekspor. Pada penjajahan Jepang, beras juga menjadi langka, lantaran pemerintah Jepang menarik beras dari petani dan menerapkan sistem kerja Romusha.
“Lahan pertanian yang ditinggalkan terbengkalai dan membuat beras langka. Masyarakat terpaksa mengonsumsi ubi, biji nangka, dan berbagai serangga sebagai makanan.” ujar Heri Priyatmoko, dosen Universitas Sanata Dharma saat membedah buku Krisis Pangan karya Andreas Maryoto, dilansir dari laman Kagama.id.
Terbaru, Global Hunger Index (GHI) 2021 menempatkan tingkat kelaparan Indonesia pada peringkat 73 dari 116 negara. Bila dibandingkan dengan negara-negara di Asia Tenggara, Indonesia menempati urutan ketiga tertinggi dengan skor indeks moderat sebesar 18 poin. Angka ini berada di atas rata-rata global sebesar 17,9 poin. Berikut perbandingan GHI negara di Asia Tenggara dirangkum dalam Databoks:
Indonesia dan PBB Berantas Kelaparan
Secara global, Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) turut membantu Indonesia dalam memantau keamanan pangan melalui FAO. Bantuan ini diimplementasikan dalam rencana strategis Program Pangan Dunia atau World Food Programme (WFP) periode 2021-2025. Melansir laman WFP, rencana strategis Indonesia 2021-2025 ini membutuhkan biaya sebesar US$ 15,8 juta atau setara Rp 221,2 miliar dan kontribusi yang dialokasikan sebesar US$ 5,9 juta atau setara Rp 82,6 miliar.
Terdapat tiga hasil strategis yang ingin dicapai WFP di Indonesia hingga 2025. Pertama, peningkatan kapasitas produksi untuk menciptakan dan menggunakan fakta yang kuat sebagai dasar dari upaya mengurangi kerawanan pangan dan malnutrisi. Kedua, peningkatan kapasitas untuk mengurangi dampak dari bencana alam dan perubahan iklim terhadap ketahanan pangan dan gizi. Menimbang jumlah populasi Indonesia pada 2025, target strategis ketiga adalah mengurangi risiko dari berbagai bentuk malnutrisi yang mungkin hadir.