Pandemi Covid-19 bukanlah krisis kesehatan pertama yang menerpa dunia. Penyakit Covid-19 yang disebabkan SARS-CoV-2 dikategorikan sebagai pandemi lantaran menjangkit secara serempak dan global. Berbeda hanya dengan endemi dimana penyakit hanya menjangkit masyarakat di suatu daerah atau pada suatu golongan masyarakat.
Indonesia mengatur perkara krisis kesehatan dalam Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 75 Tahun 2019. Beleid ini mendefinisikan krisis kesehatan sebagai sebuah peristiwa atau rangkaian peristiwa yang mengakibatkan timbulnya korban jiwa, pengungsian, dan atau potensi bahaya yang berdampak pada kesehatan masyarakat. Peraturan ini juga menyebut keadaan ini membutuhkan respon cepat di luar kebiasaan normal dan kapasitas kesehatan tidak memadai.
Dalam sebuah jurnal yang ditulis Anggy Denok Sukmawati, terdapat tiga masa krisis kesehatan yang memberi dampak masif di berbagai negara. Pertama yaitu, pes bubo pada abad ke-14, kemudian cacar yang mengganas pada abad ke-18, dan virus flu Spanyol pada 1918.
The Black Death Pencetus Konsep Karantina
Penyakit pes bubo menyebar di benua Eropa dari 1347 hingga 1353. Penyakit ini berhasil membunuh satu hingga dua per tiga populasi Benua Biru. Tidak terbatas di Eropa, pes bubo juga melanda Asia dan Timur Tengah.
Gejala khas pes bubo adalah kulit penderitanya yang menghitam karena pendarahan subdermal. Hanya dalam empat tahun, wabah ini membunuh sekitar 200 juta nyawa manusia. Begitu banyaknya korban jiwa dari krisis kesehatan ini, serta gejala yang ditimbulkannya, dunia mengenal fenomena ini sebagai Wabah Hitam atau The Black Death.
Dalam catatan History, manusia pada zaman tersebut belum memahami cara penularan penyakit ini, namun mereka tahu ada kaitan dengan jarak fisik yang dekat. Profesor sejarah di Universitas DePaul Amerika Serikat, Thomas Mockaitis, menjelaskan dengan pemahaman seperti itu, pada masa inilah konsep karantina pertama kali diterapkan manusia,
Tepatnya di kota pelabuhan Ragusa, Venesia, para pejabat menetapkan semua pelaut yang baru tiba di sana wajib membuktikan bahwa mereka tidak sakit. Untuk itu, para pelaut ini ditahan di kapal mereka selama 30 hari, hukum ini dikenal sebagai trentino. Selang waktu berlalu, karantina paksa ini bertambah menjadi 40 hari yang dikenal sebagai karantino.
Vaksinasi Cacar, Vaksinasi Pertama di Indonesia
Kedua, wabah cacar yang menjangkit pada abad ke-18. Wabah ini tercatat masuk ke Eropa tidak lebih dari abad ke-6 masehi kemudian menyebar hingga Asia, Afrika, dan Amerika Selatan. Indonesia tidak luput dari serangan penyakit cacar, bahkan menjangkit kompeni Hindia Belanda yang kala itu mendiami Tanah Air. Melansir catatan Historia, cacar sudah ditemukan di Jawa sejak awal abad ke-17 yang diperkirakan masuk dari Batavia pada 1644. Penyakit ini menyebar hingga ke pulau seberang, tepatnya provinsi Lampung, pada abad ke-18.
Riset yang dilakukan Peter Boomgaard pada 1987 memperkirakan satu dari lima penduduk Jawa yang terkena penyakit cacar, meninggal dunia. Hingga pada awal abad ke-19, 102 dari 1.019 bayi yang dilahirkan di Jawa meninggal karena cacar. Wertheim dalam buku Masyarakat Indonesia dalam Transisi bahkan menyebut angka kematian pada anak di bawah usia tahun berada pada rentang 10 % hingga 30 %.
Kompeni lalu melakukan langkah preventif agar cacar tidak mengganas, yaitu vaksinasi yang dikenal dengan nama pencacaran. Vaksin pertama tiba di Batavia pada Juni 1804 dengan kapal Elisabeth dari Isle de France.
Mulanya, vaksin tersebut dibawa dari pusat pengembangan vaksin di Jenewa, kemudian dikirim ke Baghdad, Basra, dan India. Dalam buku Sejarah Kesehatan Nasional Indonesia I, Satrio menyebut vaksin cacar ini adalah usaha preventif tertua dalam pelayanan kesehatan di Indonesia.
“Pengendalian awal dilakukan kepada pribumi yang sering kontak dengan orang Eropa,” ujar Satrio dalam bukunya yang terbit pada 1978.
Pada pandemi cacar inilah ilmuwan berhasil menemukan vaksin untuk yang pertama kalinya. Melansir laman Hello Sehat, vaksin cacar ditemukan pada 1976 oleh dokter Edward Jenner yang berasal dari desa kecil di Inggris, Berkeley. Vaksin yang ia temukan pada 1976 ini bermula dari hasil pantauan Jenner, bahwa mayoritas masyarakat yang terinfeksi cacar bekerja sebagai peternak sapi, khususnya bagian pemerah susu.
Metode penelitian klinis atas vaksin cacar terus mengalami penyesuaian medis dan teknologi selama 200 tahun. Setelah dua abad menjangkit masyarakat dunia, akhirnya pada 8 Mei 1980 Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) resmi menyatakan penyakit ini hilang dari muka bumi.
Flu Spanyol dan Sosialisasi ala Pemerintah
Penyakit Flu Spanyol disebabkan virus H1NI yang biasa menyerang burung dan terjadi dari 1918-1920. Diperparah dengan Perang Dunia I, flu ini memakan korban sekitar 500 juta nyawa, dan seperlima di antaranya meninggal dunia. Meski nama penyakit ini adalah Flu Spanyol, asal penyakit bukanlah dari Spanyol, namun negara inilah yang pertama memberitakan penyakit tersebut.
Peneliti sejarah wabah Universitas Indonesia Syefri Luwis menyebut pulau Jawa adalah salah satu episentrum penyakit ini sebab padatnya penduduk kala itu. Dengan kondisi pandemi, masyarakat menentang pengusaha yang terus melakukan perjalanan kapal laut. Di lain sisi, pemerintah Hindia Belanda tidak melarang masyarakat untuk berkumpul, meski telah diperingatkan oleh dinas kesehatan.
“Direktur kehakiman bilang jangan sampai orang dilarang untuk berkumpul, karena itu akan membuat keresahan. Itulah yang membuat ternyata penyakit bisa menyebar dengan sangat cepat," jelas Syefri dalam dialog Satuan Tugas di Graha BNPB, dilansir dari laman Kementerian Kesehatan.
Pemerintah HIndia Belanda melakukan langkah sosialisasi dengan menerbitkan dua buku mengenai penyakit tersebut. Uniknya, buku ini ditulis dalam aksara Hanacaraka dan menggunakan tokoh pewayangan. Pendekatan ini dipilih agar informasi lebih mudah sampai di masyarakat dari sisi kultural dan sosial.
Pada 1920, kompeni merumuskan kebijakan untuk menanggulangi pandemi melalui kebijakan bernama Influenza Odonasi. Beleid ini mengatur masuk dan keluarnya penumpang serta barang di pelabuhan, sebab tempat inilah yang diduga sebagai sarana utama penyebaran virus flu Spanyol.
"Tetapi itu cukup terlambat karena pada tahun 1920 ketika virus itu sudah mulai tertidur atau mungkin mulai menghilang pada saat itu," kata Ravando Lie, kandidat Doktor Sejarah University of Melbourne.