Melalui rapat dewan gubernur (RDG) yang dilangsungkan pada 22-23 Agustus, Bank Indonesia (BI) memutuskan untuk menaikkan tingkat suka bunga acuan sebesar 25 basis poin (bps), menjadi 3,75%.
Selain memutuskan kenaikan suku bunga acuan sebesar 25 bps, RDG-BI juga menetapkan besaran suku bunga deposit facility sebesar 3%, dan suku bunga lending facility sebesar 4,5%.
Gubernur BI Perry Warjiyo mengatakan, keputusan kenaikan suku bunga acuan ini merupakan langkah preventif untuk memitigasi risiko peningkatan inflasi inti dan ekspektasi inflasi akibat kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) non-subsidi, serta inflasi volatile food. Selain itu, juga untuk stabilisasi nilai tukar rupiah.
Apa sebenarnya suku bunga acuan itu, serta apa saja fungsi, tujuan dan cara kerja dari kebijakan tersebut hingga mampu memengaruhi kondisi ekonomi negara sampai menahan laju inflasi? Simak ulasan berikut ini.
Pengertian Suku Bunga Acuan
Secara sederhana, suku bunga acuan adalah besaran bunga yang ditetapkan setiap bulannya oleh bank sentral untuk menjadi acuan berbagai produk pinjaman bank dan lembaga keuangan lainnya.
Salah satu tujuan penetapan suku bunga acuan adalah, untuk memelihara stabilitias nilai mata uang, serta mengurangi jumlah uang yang beredar di masyarakat. Sebab, suku bunga acuan ini menjadi referensi bank dan lembaga keuangan lainnya dalam menetapkan bunga pinjaman dan simpanan.
Penetapan suku bunga acuan ini didasarkan atas sejumlah faktor, seperti tingkat inflasi, jumlah permintaan pada barang, kondisi ekonomi, hingga jumlah uang yang beredar di masyarakat.
Saat ini, suku bunga acuan yang berlaku di Indonesia adalah BI-7 Day Reverse Repo Rate, yang berlaku efektif sejak 19 Agustus 2016. Sebelumnya, Indonesia menggunakan BI Rate sebagai suku bunga acuan.
Fungsi Suku Bunga Acuan
Seperti telah disebutkan, suku bunga acuan merupakan alat kebijakan moneter BI, karena memiliki pengaruh yang besar terhadap perekonomian nasional. Secara umum, ada empat fungsi suku bunga acuan, yakni sebagai berikut:
1. Mengendalikan Laju Inflasi
Melalui suku bunga acuan, laju inflasi dapat terkendali. Pasalnya, kenaikan suku bunga acuan bisa diikuti dengan kenaikan tingkat suku bunda deposito dan tabungan, serta suku bunga kredit.
Ini dapat dilakukan, karena kenaikan suku bunga acuan yang diikuti bunga deposito dan tabungan, akan mendorong masyarakat untuk menempatkan uang di bank, ketimbang membelanjakannya.
Selain itu, kenaikan suku bunga acuan yang juga diikuti suku bunga kredit atau pinjaman, akan mengurungkan niat masyarakat untuk meminjam uang dari bank.
2. Menjaga Daya Beli Masyarakat
Selain mengontrol laju inflasi, fungsi lain suku bunga acuan adalah untuk menjaga daya beli dan gairah konsumsi masyarakat. Ini berkaitan erat dengan pengaruh suku bunga acuan terhadap jumlah uang yang beredar.
Ketika suku bunga acuan naik, yang kemudian diikuti dengan kenaikan suku bunga tabungan dan deposito, maka masyarakat akan cenderung menabung daripada melakukan pinjaman kredit.
Karena masyarakat didorong untuk menyimpan uangnya di perbankan, maka peredaran uang akan turun dan inflasi pun akan turun. Ini akan diikuti dengan penurunan harga produk barang dan jasa, yang diharapkan dapat meningkatkan dapat meningkatkan daya beli masyarakat.
3. Instrumen Pencegah Fraud dalam Sistem Perbankan
Bank dan lembaga keuangan lainnya, memang berhak menetapkan besaran bunga pinjaman. Namun, penetapannya tidak bisa dilakukan sesuka hati, karena ada suku bunga acuan yang harus diikuti.
BI selaku bank sentral menaikkan atau menurunkan suku bunga acuan, dengan harapan dapat menjadi acuan bagi bunga bank konvensional. Sewaktu bank umum menerapkan bunga yang berbeda jauh dengan suku bunga acuan, maka pihak berwenang akan dengan mudah dapat mendeteksi adanya fraud oleh bank.
4. Instrumen Pendorong Pertumbuhan Ekonomi
Salah satu fungsi suku acuan bunga adalah sebagai instrumen yang mampu mendorong pertumbuhan ekonomi. Fungsi ini dijalankan dengan menurunkan suku bunga acuan, untuk menambah jumlah uang yang beredar. Hal ini dilakukan untuk memudahkan masyarakat melakukan pinjaman untuk berbagai keperluannya.
Misalnya, penurunan suku bunga acuan di masa awal-awal pandemi Covid-19, agar pelaku usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) dimudahkan saat mengajukan pembiayaan bisnis agar tetap bertahan.
Penurunan suku bunga acuan, yang diikuti dengan penurunan bunga kredit, dapat dimanfaatkan pelaku usaha untuk mengajukan pembiayaan produktif untuk memperbesar skala usaha. Ini pada akhirnya akan mendorong pertumbuhan ekonomi nasional.
Mengenal BI-7 Day Reverse Repo Rate
Seperti telah disebutkan sebelumnya, suku bunga acuan yang saat ini berlaku di Indonesia adalah BI-7 Day Reverse Repo Rate. Suku bunga ini, berlaku efektif pada 19 Agustus 2016.
Penggunaan BI-7 Day Reverse Repo Rate memungkinkan bank-bank umum menarik kembali dana yang mereka simpan di BI dalam tempo tujuh hari. Secara sederhana, BI-7 Day Reverse Repo Rate merupakan suku bunga bagi Sertifikat Bank Indonesia (SBI) yang bertenor tujuh hari serta kelipatannya.
Dinamakan "reverse repo", karena BI seperti meminjam dana dari bank-bank umum dengan "janji" pengembalian setelah 7, 14, 21, dan seterusnya.
Suku bunga acuan baru ini selalu lebih rendah dibandingkan dengan BI Rate, karena tenornya jauh lebih singkat daripada tenor SBI 12 bulan. Ini berkaitan erat dengan prinsip bahwa semakin pendek jangka waktu penyimpanan uang, semakin rendah tingkat bunganya.
Baik BI Rate maupun BI-7 Day Reverse Repo Rate tidak memiliki sifat "memaksa". Artinya, ketika BI menaikkan suku bunga acuan, bank-bank umum memiliki kebebasan untuk ikut menaikkan bunga simpanan atau tidak. Begitu juga sebaliknya.
Keputusan BI menerapkan BI-7 Day Reverse Repo Rate diterapkan, berlandaskan pada salah satu fungsi BI selaku bank sentral, yakni mengendalikan jumlah uang beredar.
Saat jumlah uang beredar sedang tinggi, dan inflasi naik, BI akan menaikkan BI rate. Misalnya, BI rate dinaikkan dari 6,75% menjadi 7%. Akibatnya, insentif bagi bank-bank umum untuk menyimpan dana mereka di BI meningkat. Biasanya, kebijakan ini akan diikuti dengan kenaikan bunga simpanan di bank umum.
Naiknya tingkat bunga simpanan menjadikan masyarakat lebih memilih untuk menyimpan uang mereka di bank ketimbang membelanjakannya. Akhirnya, jumlah uang yang beredar di pasar berangsur-angsur turun dan inflasi kembali terkendali.
Jika inflasi sudah turun dan BI dapat menurunkan BI rate untuk menambah jumlah uang yang beredar, demi menstimulus pertumbuhan ekonomi. Namun, penurunan BI rate ini tidak bisa membuat bank umum dapat serta-merta menarik dana mereka dari BI sebelum jangka waktu 12 bulan.
Artinya, ada lag yang cukup panjang sampai objektif pertumbuhan ekonomi tadi dapat dicapai. Panjangnya lag ini, menjadi salah satunya alasan BI menggantikan BI rate dengan BI-7 Day Reverse Repo Rate, sebagai suku bunga acuan.
Jangka waktu penyimpanan yang relatif singkat, menjadikan BI-7 Day Reverse Repo Rate instrumen yang lebih efektif untuk mempengaruhi jumlah uang beredar.
Ketika BI menurunkan BI-7 Day Reverse Repo Rate untuk merangsang pertumbuhan ekonomi, bank-bank umum pemilik SBI bertenor 7 hari (maupun kelipatannya) dapat menarik kembali dana mereka dalam waktu yang relatif singkat, tidak perlu menunggu sampai jangka waktu 12 bulan berakhir. Hasilnya, jumlah uang beredar akan segera naik dan pertumbuhan ekonomi meningkat lebih cepat.