Pajak Pertambahan Nilai (PPN) merupakan komponen penting yang harus diperhitungkan dalam pengambilan keputusan menjual rumah atau properti.
Sejatinya, aspek perpajakan dalam transaksi jual beli rumah tak tidak hanya PPN. Melainkan tergolong banyak dan lengkap. Secara umum, selain PPN, aspek-aspek perpajakan dalam penjualan rumah terdiri dari Pajak Bumi Bangunan (PBB) dan Pajak Penghasilan (PPh) Final.
Jika ditelaah lebih lanjut, selain PPN, PBB, dan PPh Final, aspek perpajakan dalam jual beli properti terdiri dari lima jenis, antara lain:
- Nilai Jual Objek Pajak (NJOP)
- Nilai Perolehan Objek Pajak (NPOP)
- Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB)
- Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak (NPOPTKP)
- Nilai Perolehan Objek Pajak Kena Pajak (NPOPKP)
Namun, tulisan kali ini secara khusus akan membahas terkait perlakuan PPN atas penjualan rumah, yang merupakan bagian dari aspek transaksi jual beli properti.
PPN Penjualan Rumah Sebagai Bagian dari Transaksi Jual Beli Properti
PPN penjualan rumah merupakan bagian yang tak terpisahkan dari transaksi jual beli properti. Dilihat dari pengertiannya, jenis pajak ini merupakan pungutan yang dikenakan atas setiap pertambahan nilai dari Barang/Jasa Kena Pajak (BKP/JKP).
PPN, dalam hal ini terkait transaksi penjualan rumah, dibayarkan oleh pembeli dan dipungut oleh penjual untuk selanjutnya disetorkan ke negara.
Perlakuan PPN penjualan rumah hanya diberlakukan terhadap properti primary, dalam arti properti rumah yang dijual oleh pengembang ke konsumen. Sementara, properti secondary, dalam arti dijual dari satu orang ke orang lain, tidak dikenakan PPN.
Pengecualian pengenaan PPN pada penjualan rumah juga diterapkan pada penjualan rumah sederhana, dalam arti properti rumah yang harga jualnya diatur oleh pemerintah dan diperuntukan bagi masyarakat berpenghasilan menengah-bawah.
Properti rumah sederhana ini juga dikenal dengan nama rumah subsidi. Nah, dalam transaksi penjualan rumah subsidi tidak ada PPN penjualan rumah.
Menelaah PPN Penjualan Rumah
Sebagai salah satu BKP, PPN penjualan rumah memiliki besaran tarif sama seperti BKP lainnya, kecuali untuk BKP yang mendapatkan fasilitas dikecualikan dari pungutan PPN.
Berdasarkan Undang-undang Nomor 7 tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP), besaran tarif PPN penjualan rumah ditetapkan sebesar 11% dari harga jual. Jadi, ketika seseorang membeli rumah, maka akan dikenakan PPN sebesar 11% dikalikan harga jual.
Besaran tarif ini berlaku hingga 31 Desember 2024. Per 1 Januari 2025 tarif PPN atas penjualan rumah adalah 12%, sama seperti tarif PPN yang dibebankan kepada BKP lainnya.
Seperti telah disebutkan sebelumnya, pengenaan PPN pada penjualan rumah kepada konsumen hanya diberlakukan pada penjualan rumah primary, alias dari pengembang langsung ke konsumen. Jadi, jika seseorang membeli properti rumah dari orang lain yang bukan pengembang, maka tidak akan dikenakan PPN.
Sejatinya, PPN penjualan rumah ini perlakuannya sama dengan PPN pada umumnya, yakni dipungut oleh wajib pajak yang berstatus Pengusaha Kena Pajak (PKP).
Jadi, jika konsumen membeli rumah secondary dari PKP, maka tetap ada faktor PPN penjualan rumah. Namun, umumnya penjualan rumah secondary tidak pernah dilakukan antara PKP dengan konsumen. Melainkan antar orang pribadi.
Biasanya, dalam penjualan rumah primary, komponen PPN sudah termasuk dalam harga yang ditawarkan kepada konsumen. Itulah sebabnya, tak jarang kita menemukan promosi properti rumah yang dibubuhi kalimat "harga sudah termasuk PPN".
Ini artinya, konsumen tak perlu memusingkan lagi perhitungan PPN, karena sudah dimasukkan dalam harga yang ditawarkan.
Insentif PPN Penjualan Rumah
Meski rumah pada umumnya merupakan BKP yang dikenakan pungutan PPN. Namun, pemerintah dapat memberlakukan kebijakan khusus untuk mendorong penjualan rumah. Misalnya, saat pandemi Covid-19 melanda.
Seperti diketahui, pada saat pandemi Covid-19 melanda Indonesia awal 2020, kondisi perekonomian seketika terdampak dan menjadi lesu. Ini mendorong pemerintah mengeluarkan berbagai strategi untuk mendongkrak kembali perekonomian.
Pemerintah kemudian menerbitkan berbagai peraturan dan kebijakan baru selama pandemi Covid-19 untuk dapat tetap menggerakkan perekonomian bersama. Salah satunya adalah memberikan insentif PPN ditanggung oleh pemerintah pada penjualan rumah tapak dan unit hunian rumah susun.
Pemberian insentif PPN ditanggung pemerintah ini diatur melalui Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 103/PMK.010/2021.
Secara sederhana, pemerintah memberikan insentif pada penyerahan rumah berupa pembebasan PPN untuk pembelian rumah dengan harga di bawah Rp 2 miliar, dan diskon PPN 50% untuk pembelian rumah seharga Rp 2-5 miliar selama Maret-Desember 2021.
Memasuki 2022, insentif ini diperpanjang oleh pemerintah.Namun, terdapat perubahan pada jumlah pembebasan pajak yang diberikan, antara lain:
- Insentif PPN ditanggung pemerintah sebesar 50% dari PPN terutang atas penyerahan rumah dengan harga di bawah Rp 2 miliar.
- Pembebasan PPN ditanggung pemerintah sebesar 25% dari PPN terutang atas penyerahan hunian dengan harga Rp 2-5 miliar.
Pemberian insentif ini berlaku hingga akhir September 2022. Kebijakan ini diatur dalam PMK Nomor 6/PMK.010/2022 yang ditetapkan pada Februari 2022.
Patut diingat, besaran PPN atas penjualan rumah akan kembali berlaku normal setelah insentif PPN ditanggung pemerintah selesai akhir September 2022.
Artinya, mulai 1 Oktober 2022, besaran tarif PPN penjualan rumah adalah 11% hingga Desember 2024 dan setelah itu menjadi 12% per 1 Januari 2025.