Kerahasiaan data nasabah, merupakan salah satu prinsip dalam sistem keuangan, di mana bank dan lembaga keuangan non-bank wajib merahasiakan segala sesuatu yang berhubungan dengan keterangan mengenai nasabah, dan simpanan nasabah.
Rahasia bank atau banking secrecy dikenal di negara manapun yang mempunyai lembaga keuangan. Prinsip kerahasiaan pada lembaga keuangan, merupakan prinsip yang sangat penting. Sebab, perkembangan dan pertumbuhan suatu lembaga keuangan, sangat bergantung pada kepercayaan dari masyarakat.
Bisa dikatakan, kerahasiaan data nasabah yang ada di bank merupakan salah satu dari bentuk perlindungan hukum terhadap nasabah.
Berdasarkan Undang-undang Nomor 7 tahun 1992 juncto Undang-undang Nomor 10 tahun 1998 tentang Perbankan (UU Perbankan), rahasia bank adalah, segala sesuatu yang berhubungan dengan keuangan, dan hal-hal lain dari nasabah bank yang menurut kelaziman dunia perbankan wajib dirahasiakan.
Dapat disimpulkan, bahwa rahasia bank merupakan larangan bagi bank untuk memberi keterangan, atau informasi kepada siapa pun, terkait keadaan keuangan, dan hal-hal lain yang patut dirahasiakan dari nasabahnya.
Dasar Hukum Kerahasiaan Data Nasabah
Di Indonesia, kerahasiaan data nasabah termaktub dalam UU Perbankan. Aturan ini kemudian diterjemahkan ke dalam aturan teknis berupa Peraturan Bank Indonesia (PBI) Nomor 22/20/PBI/2020 tentang Perlindungan Konsumen Bank Indonesia, dan Surat Edaran Otoritas Jasa Keuangan (SE-OJK) Nomor 4/SEOJK.07/2014 tentang Kerahasiaan dan Keamanan Data dan/atau Informasi Pribadi Konsumen
Dalam Pasal 7 Ayat (1) PBI 22/20/PBI/2020, disebutkan bahwa prinsip perlindungan konsumen meliputi tujuh hal, antara lain:
- Kesetaraan dan perlakuan yang adil.
- Keterbukaan dan transparansi.
- Edukasi dan literasi.
- Perilaku bisnis yang bertanggung jawab.
- Perlindungan aset konsumen terhadap penyalahgunaan.
- Perlindungan data dan/atau informasi konsumen.
- Penanganan dan penyelesaian pengaduan yang efektif.
Jika dicermati pada poin-poin yang tertera dalam Pasal 7 Ayat (1) PBI 22/20/PBI/2020, bisa disimpulkan, bahwa prinsip kerahasiaan data nasabah perbankan, mengacu pada poin keenam, yakni terkait perlindungan data dan/atau informasi konsumen.
Secara spesifik, poin ini dijelaskan dalam Pasal 30 Ayat (3) PBI 22/20/PBI/2020, di mana aturan ini menjelaskan apa saja yang harus dimilik oleh penyelenggara jasa keuangan untuk menerapkan prinsip perlindungan data nasabah.
Adapun, hal-hal yang harus dimiliki oleh penyelenggara jasa keuangan untuk menerapkan prinsip perlindungan data nasabah, antara lain:
- Fungsi yang bertanggung jawab terhadap perlindungan data dan/atau informasi nasabah.
- Sistem informasi yang handal untuk mendukung pelaksanaan perlindungan data dan/atau informasi nasabah.
- Mekanisme dan prosedur mengenai perlindungan data dan/atau informasi nasabah.
Selain itu, jika penyelenggara jasa keuangan bekerja sama dengan pihak lain untuk mengelola data dan/atau informasi nasabah, maka wajib memastikan pihak lain yang ditunjuk tersebut mampu menjaga kerahasiaan data dan/atau informasi nasabah.
Sebagai informasi, yang dimaksud sebagai penyelenggara dalam PBI 22/20/PBI/2020 ini, adalah setiap pihak, baik bank maupun lembaga non-bank, yang kegiatannya diatur dan diawasi oleh BI, di mana produk dan/atau jasanya dimanfaatkan oleh konsumen (nasabah).
Sementara, SE-OJK Nomor 4/SEOJK.07/2014 secara tegas juga mengatur mengenai pentingnya pelaku usaha jasa keuangan menjaga data dan informasi nasabah.
Aturan ini menyebutkan secara tegas, bahwa pelaku usaha jasa keuangan dilarang dengan cara apapun, memberikan data dan/atau informasi pribadi mengenai konsumennya kepada pihak ketiga.
Pengecualian terhadap perlakuan data ini, diberikan apabila konsumen atau nasabah memberikan persetujuan tertulis. Selain itu, pengecualian juga diberikan apabila diwajibkan oleh peraturan perundang-undangan.
Artinya, kerahasian data nasabah harus dijunjung tinggi oleh penyelenggara usaha jasa keuangan, kecuali dalam kasus tertentu, data dan/atau informasi terkait nasabah harus dibuka. Tentunya, pembukaan data dan/atau informasi nasabah ini harus sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Pengecualian Perlakuan Kerahasiaan Data Nasabah
Seperti yang telah disebutkan, kerahasiaan data nasabah wajib dijaga oleh penyelenggara jasa keuangan. Namun, terdapat perihal tertentu di mana kerahasiaan data tersebut harus dibuka.
Berdasarkan aturan yang berlaku, yakni UU Perbankan, pengecualian terkait kerahasiaan data nasabah dapat dilakukan, untuk kepentingan penyidikan pajak, penyelesaian piutang negara, kepentingan peradilan pidana, kepentingan peradilan perdata, dan kepentingan kegiatan perbankan.
1. Pembukaan Data Nasabah Bank untuk Kepentingan Perpajakan
Ketentuan pembukaan data nasabah untuk kepentingan pajak, diatur dalam Pasal 41 UU Perbankan. Aturan ini, menyebutkan bahwa untuk kepentingan perpajakan, Gubernur BI atas permintaan Menteri Keuangan, berwenang mengeluarkan perintah kepada bank agar memberikan keterangan dan memperlihatkan bukti-bukti tertulis, serta surat-surat mengenai keadaan keuangan nasabah tertentu kepada petugas pajak.
Adapun mengenai keperluan untuk menjalankan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan lainnya, maka tidak diperlukan permintaan. Hal ini didasarkan kepada ketentuan yang tertera dalam Pasal 35 Ayat (1) dan (2) UU Nomor 9 Tahun 1994 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan.
Dua pasal ini, menjelaskan bahwa untuk kepentingan menjalankan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan, pihak pajak dapat langsung meminta keterangan atau bukti dari bank mengenai keadaan keuangan nasabahnya, sepanjang mengenai perpajakannya.
2. Pembukaan Rahasia Bank untuk Kepentingan Penyelesaian Piutang Negara
Ketentuan pembukaan rahasia bank karena kepentingan penyelesaian piutang negara tertera dalam Pasal 41A Ayat (1), (2), dan (3) UU Perbankan.
Pasal 41A Ayat (1) UU Perbankan, menyebutkan bahwa untuk penyelesaian piutang bank, Gubernur BI memberikan izin kepada pejabat Badan Urusan Piutang dan Lelang Negara/Panitia Urusan Piutang Negara untuk memperoleh keterangan dari bank mengenai simpanan nasabah dari debitur.
Izin untuk pembukaan rahasia bank dalam rangka penyelesaian piutang negara, dapat diperoleh apabila dilakukan permohonan secara tertulis oleh Kepala Badan Urusan Piutang dan Lelang Negara/Ketua Panitia Urusan Piutang Negara.
Permintaan tersebut, harus disertai dengan nama dan jabatan pejabat Badan Urusan Piutang dan Lelang bersangkutan, dan alasan diperlukannya keterangan.
3. Pembukaan Rahasia Bank untuk Kepentingan Peradilan Pidana
Kerahasiaan data nasabah bank juga memungkinkan dibuka untuk kepentingan peradilan pidana. Hal ini diatur dalam Pasal 42 Ayat (1), (2), dan (3) UU Perbankan.
Aturan ini, menyebutkan bahwa untuk kepentingan peradilan dalam perkara pidana, Gubernur BI dapat memberikan ijin kepada Kepolisian, Kejaksaan, atau Hakim, untuk memperoleh keterangan dari bank mengenai simpanan tersangka atau terdakwa pada bank.
Izin tersebut diberikan secara tertulis atas permintaan tertulis dari Kepala Kepolisian Republik Indonesia, Jaksa Agung atau Ketua Mahkamah Agung. Adapun, permintaan tertulis tersebut harus menyebutkan beberapa hal sebagai berikut:
- Nama dan jabatan polisi, jaksa atau hakim.
- Nama tersangka atau terdakwa.
- Nama bank tempat tersangka atau terdakwa mempunyai simpanan.
- Keterangan yang diminta.
- Alasan diperlukannya keterangan.
- Hubungan perkara pidana yang bersangkutan dengan keterangan yang diperlukan.
Meski demikian, Gubernur BI secara tertulis dapat menolak untuk memberikan perintah atau izin tertulis membuka rahasia bank. Perintah atau izin tertulis membuka rahasia bank, maupun penolakannya, juga dapat dilakukan oleh Deputi Gubernur Senior atau salah satu Deputi Gubernur.
4. Pembukaan Rahasia Bank untuk Kepentingan Peradilan dalam Perkara Perdata Bank dengan Nasabah
Pengecualian dalam perlakuan kerahasiaan data nasabah, juga dapat dilakukan dalam hal perkara perdata. Hal ini sesuai dengan Pasal 43 UU Perbankan.
Aturan tersebut, menyebutkan bahwa direksi bank yang bersangkutan dapat menginformasikan kepada pengadilan tentang keadaan keuangan nasabah yang menjadi lawannya dan memberikan keterangan lain yang relevan dengan perkara tersebut.
Dengan adanya pengecualian tersebut, maka direksi bank tidak perlu menunggu ijin tertulis dari Menteri Keuangan. Sebab, dalam perkara perdata keuangan nasabah, selain dipergunakan untuk mengungkapkan kebenaran fakta di persidangan, juga menyangkut kepentingan bank itu sendiri dalam melawan nasabahnya.
5. Pembukaan Rahasia Bank untuk Kepentingan Kegiatan Perbankan
Dalam rangka tukar menukar informasi antar bank, pihak perbankan tidak tidak perlu menunggu perintah dari Menteri Keuangan. Artinya, direksi bank dapat memberitahukan keadaan keuangan nasabahnya kepada bank lain.
Pengecualian ini dimaksudkan sebagai sarana untuk menunjang kegiatan usaha bank itu sendiri. Hal ini sesuai dengan PBI Nomor 2/19/PBI/2000 tentang Persyaratan dan Tata Cara Pemberian Perintah atau Izin Tertulis Membuka Rahasia Bank.