Pada Senin (3/4) Badan Kesehatan Dunia atau WHO merilis laporan terbaru mengenai kesehatan reproduksi. Laporan itu menunjukkan ada persoalan infertilitas yang cukup serius, sebanyak 1 dari 6 orang dewasa di seluruh belahan bumi, mengalami persoalan kesuburan.
Berdasarkan penelitian yang dilakukan WHO, persoalan ini tidak memandang kondisi kesejahteraan masyarakat atau status pembangunan sebuah negara. Ini ditunjukkan dengan prevalensi kejadian di negara berpenghasilan tinggi sebesar 17,8%, hampir sama dengan prevalensi di negara berpenghasilan rendah sebesar 16,5%.
Direktur Jenderal WHO Tedros Adhanom Ghebreyesus mengatakan laporan ini mengungkap satu hal penting bahwa infertilitas dapat dialami oleh siapa saja, tanpa membeda-bedakan. "Banyaknya warga dunia yang mengalami infertilitas menunjukkan persoalan ini harus menjadi perhatian utama dalam penelitian dan kebijakan kesehatan," kata dia.
Pengertian dan Penyebab Infertilitas
WHO memberikan definisi infertilitas sebagai penyakit laki-laki dan perempuan yang ditandai dengan kegagalan untuk mencapai kehamilan setelah melakukan hubungan seksual tanpa pengaman secara teratur selama 12 bulan atau lebih. Sementara itu, Kementerian Kesehatan mendefinisikan infertilitas sebagai kondisi sel sperma dan sel telur gagal melakukan pembuahan, ketidakmampuan pasangan untuk menghasilkan keturunan setelah melakukan hubungan seksual selama 1 tahun tanpa kontrasepsi.
Infertilitas dibagi menjadi dua yaitu infertilitas primer dan sekunder. Infertilitas primer terjadi ketika pasangan tidak pernah memiliki anak atau tidak pernah terjadi kehamilan sama sekali. Infertilitas sekunder diartikan sebagai kondisi ketika pasangan telah memiliki setidaknya seorang anak, namun kesulitan untuk bisa hamil kembali.
Kemenkes membagi penyebab kemandulan pada laki-laki menjadi tiga faktor. Faktor pertama disebut sebagai faktor pretestikular yang berkaitan dengan gangguan hormonal yang dapat mempengaruhi pembentukan sperma. Faktor kedua adalah faktor testikular yang berkaitan dengan kesehatan pada testis. Lalu, faktor ketiga disebut post-testikular adalah faktor di luar testis setelah spermatozoa keluar dari tubulus seminiferus -- struktur jaringan di dalam testis laki-laki yang berfungsi untuk menghasilkan sel sperma.
Pada sistem reproduksi perempuan, WHO menyebutkan beberapa faktor yang dapat menyebabkan infertilitas antara lain:
- gangguan pada saluran tuba yang dapat disebabkan infeksi menular seksual (IMS), komplikasi aborsi yang tidak aman, sepsis pascapersalinan, dan operasi panggul.
- gangguan rahim seperti endometriosis, tumbuhnya fibroid, dan sebagainya
- gangguan ovarium, seperti sindrom ovarium polikistik dan gangguan folikel
- gangguan pada sistem endokrin yang menyebabkan ketidakseimbangan hormon reproduksi
Di luar faktor tersebut, WHO menyebutkan faktor gaya hidup dapat menjadi pendorong infertilitas, baik bagi laki-laki maupun perempuan. Faktor gaya hidup yang dimaksud adalah merokok, mengkonsumsi alkohol berlebihan, dan paparan polutan, yang dapat menurunkan tingkat kesuburan.
Di Indonesia, data Kemenkes menunjukkan kejadian infertilitas sekitar 10-15%. Ini berarti ada 4-6 juta pasangan dari 39,8 juta pasangan usia subur yang mengalami gangguan kesuburan dan memerlukan penanganan lebih lanjut untuk mendapatkan kehamilan.
Negara yang Dihantui Nol Pertumbuhan Penduduk
Persoalan infertilitas yang dialami oleh sebagian penduduk bumi itu berkelindan dengan menurunnya pertambahan jumlah penduduk yang dialami sejumlah negara. Beberapa negara memasuki fase krisis, seperti Jepang.
Akhir Maret lalu, Reuters dan Japan Today melaporkan wisuda terakhir siswa sekolah menengah atas di utara Jepang, Yumoto Junior High. Yumoto menutup pintu gerbangnya untuk selamanya setelah 76 tahun menjadi salah satu pusat pendidikan bagi remaja di wilayah pegunungan utara Jepang. "Kami mendengar sekolah akan ditutup pada tahun kedua kami berada di sekolah ini, tapi saya tidak pernah membayangkan ini betul-betul terjadi," kata Eita Sato, 15 tahun, salah satu murid terakhir Yumoto, seperti dikutip dari Japan Today.
Yumoto bukan satu-satunya. Menurut data pemerintah Jepang, sekitar 450 sekolah ditutup setiap tahunnya. Jika ditotal, sejak 2002-2020 ada 9.000 sekolah di berbagai tingkat, yang sudah menutup pintu selamanya karena kekurangan siswa.
Sejak 2022, pertumbuhan penduduk Jepang jatuh ke bawah 800 ribu, terendah sepanjang sejarah negara tersebut berdiri. Di sisi lain, Jepang telah kehilangan lebih dari tiga juta penduduk sepanjang 2011-2021.
Depopulasi itu terjadi karena berbagai faktor yang saling bertumpang tindih, infertilitas menjadi satu di antaranya. Faktor lainnya yang kerap mengemuka dalam berbagai diskusi adalah biaya untuk membesarkan anak yang sangat tinggi, dipengaruhi oleh tingginya biaya hidup rata-rata di Jepang. Persoalan ini juga melatarbelakangi penurunan populasi yang drastis di Cina dan Korea Selatan.
Untuk mengatasi persoalan finansial keluarga, Perdana Menteri Jepang Fumio Kishida menjanjikan langkah-langkah progresif, di antaranya menaikkan anggaran untuk kebijakan terkait dengan anak. Menurut laporan Nikkei Asia, pemerintah memberikan subsidi sebesar 15 ribu yen per anak untuk keluarga yang memiliki anak berusia hingga 18 tahun.
Subsidi lainnya sebesar 1 juta yen per anak akan diberikan kepada keluarga yang bersedia pindah dari Tokyo ke daerah-daerah pinggiran. Skema subsidi ini di luar mandat sebesar 5 ribu yen per anak bagi masyarakat dengan pendapatan menengah dan menengah ke bawah, yang diberikan hingga sang anak berusia 16 tahun.
Cina, negara dengan jumlah penduduk terbanyak di dunia, mengalami penurunan populasi untuk pertama kalinya sejak enam dekade terakhir. Jumlah penduduk Negara Tirai Bambu itu anjlok sekitar 850 ribu berdasarkan data China’s National Bureau of Statistics (NBS).
Populasi penduduk Cina diperkirakan akan terus turun hingga 2050 ke angka 200 juta. Untuk mengatasinya, pemerintah Cina mengambil sejumlah langkah, salah satunya mendorong para penduduk muda Cina untuk belajar mencintai alam, hidup, dan menikmati kehidupan romansa sembari berlibur selama musim semi.
Negara-negara di Uni Eropa mengalami persoalan serupa. Laporan terakhir dari EU's Statistics menunjukkan adanya ancaman penurunan jumlah populasi di seluruh belahan Benua Biru itu hingga 420 juta jiwa pada 2100 kelak. Ukraina, Italia, Portugal, Spayol, Jerman, Romania, Yunani, dan Polandia menjadi negara dengan proyeksi penurunan populasi tertinggi di Uni Eropa.
Momok Penanganan Infertilitas Berbiaya Tinggi
Dalam laporan terbarunya, WHO secara spesifik menyebutkan penanganan persoalan kesuburan yang berbiaya tinggi menjadi salah satu tantangan seluruh negara di dunia. Direktur Kesehatan Reproduksi dan Seksual WHO Pascale Allotey mengatakan ada persoalan serius dalam aksesibilitas masyarakat berpendapatan menengah dan ke bawah atas perawatan medis untuk gangguan kesuburan.
Ia mengatakan persoalan gangguan kesuburan masih dianggap remeh dan dipandang sebelah mata oleh mayoritas pemerintah dan akademikus di seluruh dunia. Padahal, kata dia, prevalensi 1 dari 6 penduduk sudah merupakan alarm untuk menseriusi persoalan ini.
Allotey mengatakan saat ini belum ada skema perawatan gangguan kesuburan yang dijamin oleh pemerintah. "Sebagian besar dibiayai oleh pasangan itu sendiri dan menimbulkan beban keuangan yang cukup besar. Biaya yang tinggi membuat orang enggan mengakses perawatan infertilitas, tetapi jika mereka memaksa dapat berisiko terperangkap dalam kemiskinan," kata dia.
Di Indonesia, biaya perawatan in vitro fertilization (IVF) atau bayi tabung untuk mendapatkan anak berkisar dari Rp30-65 juta per siklus. Sementara itu, menurut penelitian Universitas Gadjah Mada, biaya bayi tabung bervariasi menurut kelompok usia, berkisar dari Rp99-112 juta. Semakin tinggi usia pasien, semakin besar biaya yang dikeluarkan.
Menurut Allotey, ke depan persoalan infertilitas ini dapat menjadi perangkap kemiskinan bagi jutaan pasangan di seluruh dunia. "Kebijakan dan pembiayaan yang memadai, secara signifikan dapat melindungi rumah tangga yang berpenghasilan rendah agar tidak jatuh ke perangkap kemiskinan karena mengakses perawatan infertilitas," kata dia. Selain itu, jaminan keadilan akses akan membantu negara mengatasi persoalan infertilitas yang berpengaruh terhadap pertumbuhan penduduk.