Mengenal Material Pasir Laut, Keran Ekspornya Sempat Ditutup 20 Tahun

ANTARA FOTO/Adiwinata Solihin/wsj.
Ilustrasi pasir laut.
5/6/2023, 17.03 WIB

Pemerintah telah menerbitkan peraturan yang mengizinkan ekspor pasir laut hasil sedimentasi pada Mei 2023. Kebijakan ini membalikkan larangan ekspor yang telah bertahan dalam 20 tahun sejak masa pemerintahan Presiden ke-5 Megawati Soekarnoputri.

Organisasi lingkungan Greenpeace menyebut Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 26 Tahun 2023 tentang Pengelolaan Hasil Sedimentasi di Laut mengandung pasal-pasal yang mengancam ekosistem laut. Ini termasuk Pasal 9 dan Pasal 15 yang sebagian mengatur tentang ekspor.

Greenpeace menambahkan, peraturan pemerintah yang terbit pada 15 Mei 2023 itu mengizinkan kembali pengerukan, pengisapan, dan ekspor pasir laut. Ketiga aktivias tersebut diperkirakan akan mendorong percepatan tenggelamnya pulau-pulau kecil di sekitar wilayah tambang.

“Ditambah lagi kerugian yang akan dialami masyarakat pesisir sebagai kelompok yang akan terdampak langsung dari perubahan ekologis akibat tambang pasir laut,” kata juru kampanye laut Greenpeace Indonesia Afdillah seperti dikutip dalam siaran pers yang terbit pada 29 Mei 2023.

TAMBANG PASIR ILEGAL (ANTARA FOTO/Abriawan Abhe)

Pasir Laut dan Pemanfaatannya 

Di dalam PP Nomor 26 Tahun 2023 tertulis pasir laut merupakan material yang lahir dari sedimentasi di laut. Proses pelapukan dan erosi membentuk hasil sedimentasi tersebut secara alami. Dinamika oseanografi memengaruhi distribusinya.

Selain pasir, hasil sedimentasi juga terwujud dalam kerikil dan lumpur. Namun, Pasal 9 Ayat 1 menyebut hasil sedimentasi laut yang bisa dimanfaatkan adalah pasir laut dan lumpur.

Pasal 9 Ayat 2 lalu tertulis pemerintah mengizinkan pemanfaatan pasir laut untuk reklamasi di dalam negeri, pembangunan infrastruktur pemerintah, pembangunan prasarana oleh pelaku usaha, dan ekspor. Penjualan ke luar negeri tergantung pada pemenuhan kebutuhan di dalam negeri dan kesesuaian dengan peraturan.

Berdasarkan Pasal 15 Ayat 2, pemerintah mengutamakan pemanfaatan pasir laut dan hasil sedimentasi di laut lainnya untuk kebutuhan domestik. Ketentuan lebih lanjut mengenai ekspor akan tertuang dalam peraturan menteri.

Pada Februari 2003, pemerintah menghentikan sementara ekspor pasir laut lewat sebuah keputusan bersama. Larangan ini diawali dengan Keputusan Presiden Nomor 33 Tahun 2002 tentang Pengendalian dan Pengawasan Pengusahaan Pasir Laut.

Penutupan keran ekspor itu bertujuan untuk menghindari kerusakan lingkungan hidup, eksostem, dan habitat kehidupan laut yang lebih luas akibat pengusahaan pasir laut yang tidak terkendali, perlu diadakan penataan sistem pengusahaan dan ekspor pasir laut yang lebih terkoordinasi.

Greenpeace berpendapat, keputusan bersama tersebut merupakan upaya untuk mencegah tenggelamnya pulau-pulau kecil di wilayah Kepulauan Riau akibat penambangan pasir laut.

Reklamasi Pantai di Singapura (ANTARA FOTO/REUTERS/EDGAR SU)

Kisah Reklamasi Singapura

Menurut The Straits Times, Indonesia merupakan sumber utama untuk impor pasir laut bagi Singapura. Negara dengan wilayah kira-kira 718 kilometer persegi itu menggunakan pasir laut untuk reklamasi sejak 1980-an.

Berdasarkan data Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), kantor berita Singapura itu melaporkan Indonesia menjual kira-kira 150 juta ton pasir laut ke Singapura antara 1997 dan 2002.

Larangan ekspor sempat bermuara ke ketegangan antara Indonesia dan Singapura. Pada 2007, Singapura menuduh Indonesia menutup keran ekspor untuk menekan negara-kota itu dalam negosiasi terkait perjanjian ekstradisi dan penetapan perbatasan. Kedua negara telah menyepakati perjanjian ekstradisi pada 2022.

Menggunakan data PBB, Kontinentalist melaporkan, Singapura merupakan importir terbesar pasir pada 2017, 2018, dan 2021. Namun, perdagangan pasir ini terjebak di antara pertambangan ilegal yang mengancam masyarakat pesisir di negara tetangganya, mulai dari Kamboja hingga Indonesia.

Reporter: Dzulfiqar Fathur Rahman