Sebagai wajib pajak, badan usaha di Indonesia wajib melaporkan surat pemberitahuan masa untuk pemotongan dan/atau pemungutan Pajak Penghasilan (PPh). Dokumen untuk pelaporan ini, dinamakan SPT Masa PPh.
SPT Masa PPh tidak hanya digunakan untuk melaporkan satu jenis pajak penghasilan saja. Melainkan beberapa, seperti PPh Pasal 21, PPh Pasal 15, PPh Pasal 4 ayat (2), PPh Pasal 22, PPh Pasal 23 dan PPh Pasal 26.
Sebagai informasi, SPT Masa adalah sarana yang digunakan untuk melaporkan kegiatan perpajakan dalam satu masa pajak atau bulan. Berikut ini ulasan mengenai seluk-beluk SPT Masa PPh.
Jenis Pajak Penghasilan yang Dilaporkan Melalui SPT Masa PPh
Terdapat enam jenis SPT Masa PPh yang diatur dalam UU Nomor 36 tahun 2008, dengan setiap jenisnya dinamai berdasarkan nomor pasal peraturan pajak.
1. SPT Masa PPh Pasal 21/26
SPT Masa ini menginformasikan tentang pajak penghasilan yang dikenakan pada karyawan, pada Pasal 21 mengatur karyawan Indonesia dan Pasal 26 mengurus karyawan asing berdomisili di Indonesia. Pembayaran harus dilakukan sebelum tanggal 10 bulan berikutnya, sementara batas waktu pelaporan adalah tanggal 20.
2. SPT Masa PPh Pasal 22
SPT Masa PPh Pasal 22 berisi informasi yang berkaitan dengan pajak yang dipungut oleh bendaharawan pemerintah dari transaksi impor. Pembayaran dilakukan pada hari berikutnya setelah pajak dipungut, dan laporan harus diserahkan pada hari kerja akhir minggu berikutnya.
3. SPT Masa PPh Pasal 23/26
SPT Masa ini berkaitan dengan pajak yang dipotong dari transaksi modal seperti dividen, bunga, royalti, hadiah, penghargaan, sewa, dan pendapatan terkait dengan aset selain dari transaksi tanah dan bangunan serta jasa.
PPh Pasal 23 berlaku untuk transaksi dengan wajib pajak Indonesia, sementara PPh Pasal 26 berlaku untuk orang asing atau Badan Usaha Tetap milik asing. Batas waktu pembayaran adalah tanggal 10 bulan berikutnya, dengan batas waktu pelaporan pada tanggal 20.
3. SPT Masa PPh Pasal 25
SPT Masa PPh Pasal 25 berkaitan dengan angsuran bulanan, pembayaran harus dilakukan sebelum tanggal 15 bulan berikutnya, diikuti oleh batas waktu pelaporan pada tanggal 20.
4. SPT Masa PPh Pasal 4 ayat (2)
SPT Masa ini melibatkan pajak yang dipotong dari bunga deposito, bunga obligasi, bunga simpanan yang dibayarkan koperasi, hadiah undian, transaksi saham dan sekuritas lainnya. Pembayaran dilakukan sebelum tanggal 10 bulan berikutnya, dan batas waktu pelaporan adalah tanggal 20.
5. SPT Masa PPh Pasal 15
SPT Masa PPh Pasal 15 merupakan laporan pajak terkait dengan Norma Perhitungan Khusus untuk golongan wajib pajak tertentu, seperti wajib pajak badan di bidang pelayaran atau penerbangan internasional, perusahaan asuransi luar negeri. Lalu, pengeboran minyak, gas, dan geothermal, perusahaan dagang asing, serta perusahaan yang berinvestasi dalam bentuk bangunan-guna-serah.
Batas waktu pembayaran dan pelaporan SPT Masa PPh Pasal 15 adalah tanggal 10 dan 20 pada bulan berikutnya.
Unifikasi SPT Masa PPh
Tentunya, pelaporan SPT Masa untuk berbagai jenis PPh ini akan merepotkan jika dilakukan satu per satu. Oleh karena itu, diperlukan alat untuk menyederhanakan proses pelaporan tersebut. Alat tersebut, adalah Unifikasi SPT Masa PPh.
Mengutip komwasjak.kemenkeu.go.id, Unifikasi SPT Masa PPh adalah SPT Masa yang digunakan oleh pemotong/pemungut PPh untuk melaporkan kewajiban pemotongan dan/atau pemungutan PPh, penyetoran atas pemotongan dan/atau pemungutan PPh, dan/atau penyetoran sendiri atas beberapa jenis PPh dalam satu masa pajak.
SPT Masa PPh Unifikasi bertujuan untuk mempermudah dan mengurangi biaya administrasi bagi wajib pajak maupun Direktorat Jenderal Pajak (DJP).
Semula, pelaporan dilakukan secara terpisah untuk setiap jenis PPh dengan format yang berbeda-beda. Namun, saat ini cukup dengan satu SPT dapat melaporkan beberapa jenis PPh dalam satu Masa Pajak.
Secara perinci, PPh yang dapat dilaporkan menggunakan Unifikasi SPT Masa PPh, adalah sebagai berikut:
- PPh Pasal 4 ayat (2).
- PPh Pasal 15.
- PPh Pasal 22.
- PPh Pasal 23.
- PPh Pasal 26.
Sementara, untuk SPT Masa PPh Pasal 21, wajib pajak tetap harus melaporkannya secara terpisah. Lalu, untuk SPT Masa PPh Pasal 25, sudah tidak wajib lagi untuk dilaporkan, asalkan wajib pajak telah memiliki validasi Nomor Transaksi Penerimaan Negara (NTPN) pada surat setoran pajak atau SSP.
Dasar hukum penerapan Unifikasi SPT Masa PPh adalah Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-24/PJ/2021. Aturan ini mengatur tentang pembuatan bukti pemotongan/pemungutan unifikasi dan penyampaian SPT Masa PPh Unifikasi.
Peraturan ini merupakan pembaharuan dari peraturan sebelumnya, yakni Peraturan Dirjen Pajak Nomor PER-20/PJ/2019 dan Peraturan Dirjen Pajak Nomor PER-23/PJ/2020.
Dalam Peraturan Dirjen Pajak Nomor PER-24/PJ/2021, secara spesifik dituliskan bahwa pemotong/pemungut PPh yang melakukan pemotongan dan/atau pemungutan PPh harus membuat bukti pemotongan/pemungutan unifikasi.
Kemudian pemotong/pemungut PPh juga menyerahkan bukti pemotongan/pemungutan unifikasi kepada pihak yang dipotong dan/atau dipungut. Lalu, juga wajib melaporkan bukti pemotongan/pemungutan unifikasi kepada DJP menggunakan Unifikasi SPT Masa PPh.
Bukti pemotongan/pemungutan unifikasi dan Unifikasi SPT Masa PPh yang dimaksud, adalah dokumen berbentuk elektronik. Dokumen ini dibuat dan dilaporkan melalui aplikasi e-Bupot Unifikasi.