Mata Uang Kripto, Pengertian, dan Perlakuannya di Indonesia

Freepik
Mata Uang Kripto
Penulis: Risma Kholiq
20/2/2024, 13.18 WIB

Mata uang kripto, atau yang sering disebut sebagai cryptocurrency, telah menjadi topik yang semakin relevan dan menarik perhatian dalam dunia keuangan modern.

Dalam esensinya, ini adalah bentuk mata uang digital yang menggunakan kriptografi untuk keamanan transaksi dan pengaturan penciptaan unit baru. Berbeda dengan mata uang konvensional yang dikeluarkan oleh pemerintah atau bank sentral, kripto tidak diatur oleh otoritas moneter tunggal.

Di Indonesia, perlakuan terhadap mata uang kripto telah menjadi perhatian serius bagi pemerintah dan regulator keuangan. Penggunaan dan perdagangan mata uang kripto di Tanah AIr, diatur ketat oleh peraturan-peraturan yang dikeluarkan oleh Badan Pengawas Perdagangan Berjangka Komoditi (Bappebti), yang berada di bawah Kementerian Perdagangan dan Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan (BPKP).

Perlakuan pajak terhadap mata uang kripto juga telah ditetapkan, dengan pemerintah menetapkan pajak pertambahan nilai (PPN) dan pajak penghasilan (PPh) atas transaksi terkait. Dalam konteks ini, penting untuk memahami definisi, pengaturan, dan perlakuan hukum yang berkaitan dengan mata uang kripto di Indonesia.

Pengertian Mata Uang Kripto

Mata Uang Kripto (Unsplash/Executium)

Cryptocurrency adalah bentuk mata uang digital yang menggunakan teknologi kriptografi untuk memfasilitasi transaksi dan pertukaran. Berbeda dengan mata uang konvensional, mata uang ini tidak memiliki bentuk fisik, melainkan sepenuhnya virtual. Meskipun tidak ada bentuk fisiknya, cryptocurrency memiliki nilai yang signifikan di pasar.

Mata uang kripto menggunakan teknologi kriptografi untuk memastikan keamanan dan keabsahan transaksi, dengan jaminan bahwa mata uang tersebut tidak dapat dimanipulasi. Ini dicapai melalui penggunaan sistem terdesentralisasi, seperti blockchain, di mana catatan transaksi disimpan dan diverifikasi secara terdistribusi oleh jaringan pengguna.

Jadi, cara kerja cryptocurrency atau mata uang kripto ini melibatkan penggunaan teknologi digital yang dienkripsi dan sistem yang tidak terpusat. Dengan demikian, uang digital ini memiliki perbedaan mendasar dengan mata uang tradisional seperti rupiah, dolar AS, euro, dan mata uang negara lainnya.

Sementara, mata uang konvensional dikendalikan oleh otoritas moneter dari masing-masing negara, mata uang kripto sepenuhnya dikelola oleh pengguna aset kripto itu sendiri secara virtual melalui jaringan internet untuk keperluan transaksi jual-beli.

Perlakuan Mata Uang Kripto di Indonesia

Mata Uang Kripto (Freepik)

Di Indonesia, penggunaan mata uang kripto tidak diakui sebagai legal tender. Ini sesuai dengan peraturan yang mengatur penggunaan mata uang di negara ini sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2011 tentang Mata Uang.

Dalam UU tersebut, disebutkan dengan jelas bahwa satu-satunya alat pembayaran yang sah di Indonesia adalah rupiah, yang merupakan mata uang resmi yang dikeluarkan oleh pemerintah Indonesia. Meskipun demikian, cryptocurrency diakui sebagai komoditas. Ini berarti bahwa uang digital atau mata uang kripto dianggap sebagai aset investasi semata.

Sebagai komoditas, perdagangan atau transaksi aset kripto hanya dapat dilakukan melalui platform yang disediakan oleh perusahaan yang terdaftar di Bappebti sesuai dengan Peraturan Bappebti Nomor 7 Tahun 2020 mengenai Penetapan Daftar Aset Kripto yang Dapat Diperdagangkan di Pasar Fisik Aset Kripto.

Bank Indonesia (BI), selaku otoritas moneter, secara tegas melarang lembaga keuangan untuk menggunakan atau menyediakan layanan terkait mata uang kripto atau cryptocurrency sebagai alat pembayaran. Larangan ini disampaikan melalui Peraturan Bank Indonesia (PBI) Nomor 18/40/PBI/2016 yang mengatur tentang Penyelenggaraan Pemrosesan Transaksi Pembayaran.

PBI tersebut menetapkan bahwa semua jenis layanan sistem pembayaran, dilarang untuk melakukan proses transaksi pembayaran menggunakan mata uang virtual atau cryptocurrency.

Jenis layanan sistem pembayaran yang dimaksud, mencakup prinsipal, penyelenggara switching, kliring, penyelesaian akhir, penerbit, akuisisi, gateway pembayaran, dompet digital, penyelenggara transfer dana, dan teknologi keuangan (fintech) baik dari bank maupun lembaga keuangan non-bank.

Mata Uang Kripto (123rf.com/traviswolfe)

Lembaga keuangan terbagi menjadi dua kategori utama, yaitu lembaga keuangan bank dan lembaga keuangan non-bank. Lembaga keuangan bank mencakup institusi seperti bank sentral, bank umum, dan bank perkreditan rakyat.

Sementara, lembaga keuangan non-bank meliputi Pegadaian, koperasi simpan pinjam, perusahaan modal ventura, perusahaan sewa guna (leasing) atau multifinance, dana pensiun, pasar modal, dan perusahaan asuransi.

Bappebti telah mengeluarkan peraturan terkait penyelenggaraan perdagangan pasar fisik aset kripto melalui Peraturan Bappebti Nomor 8 Tahun 2021 tentang Pedoman Penyelenggaraan Perdagangan Pasar Fisik di Bursa Berjangka.

Perdagangan aset kripto di pasar fisik hanya dapat dilakukan oleh pedagang fisik aset kripto, yang pengelolaannya dan pengawasannya dilakukan oleh bursa berjangka, yang telah disetujui oleh Kepala Bappebti.

Persyaratan mata uang kripto yang dapat diperdagangkan di bursa berjangka, yang ditetapkan oleh Bappebti, adalah sebagai berikut:

  • Berlandaskan teknologi ledger
  • Berupa aset kripto dengan fungsi utilitas
  • Aset kripto yang didukung oleh aset lain
  • Sudah dinilai menggunakan metode analytical hierarchy process (AHP)

Perlakuan Perpajakan Mata Uang Kripto di Indonesia

Menurut UU No. 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan, pemerintah Indonesia telah menetapkan aset kripto sebagai objek pajak, termasuk pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan Pajak Penghasilan (PPh).

Peraturan tersebut diimplementasikan melalui Peraturan Menteri Keuangan No. 68/PMK.03/2022 yang mengatur tentang PPN dan PPh atas transaksi perdagangan aset kripto.

Menurut Neilmaldrin Noor, Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat (P2Humas) Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan (Kemenkeu), aset kripto dianggap sebagai komoditas yang memenuhi syarat sebagai objek PPN.

BI dan Bappebti, serta Kementerian Perdagangan, menegaskan bahwa aset kripto di Indonesia dianggap sebagai komoditas, bukan alat tukar atau surat berharga. Oleh karena itu, aset kripto dianggap sebagai barang kena pajak tidak berwujud dan wajib dikenai PPN untuk memastikan kewajaran dan keadilan dalam pajak.

1. Subjek Pajak Kripto

Berdasarkan Pasal 19 PMK 68/2022, subjek yang terkena pajak penghasilan atau PPh kripto mencakup penjual aset kripto, penyelenggara Penyelenggara Pelayanan Modal Ventura Syariah (PMSE), dan penambang aset kripto (miner). Sementara itu, subjek yang terkena PPN kripto atau yang dikenakan PPN atas transaksi aset kripto meliputi pembeli dan penjual aset kripto.

2. Objek Pajak Kripto

Menurut Pasal 2 PMK 68/2022, objek pajak kripto atau yang menjadi subjek pengenaan PPN kripto termasuk:

  • Penyerahan Barang Kena Pajak (BKP) Tidak Berwujud dalam bentuk aset kripto oleh penjual aset kripto.
  • Penyerahan Jasa Kena Pajak (JKP) yang meliputi penyediaan Sarana Elektronik untuk transaksi perdagangan aset kripto, oleh penyelenggara Penyelenggara Pelayanan Modal Ventura Syariah (PMSE).
  • Penyerahan JKP yang mencakup jasa verifikasi transaksi aset kripto dan/atau manajemen kelompok penambang aset kripto (mining pool) oleh penambang aset kripto.
Mata Uang Kripto (Unsplash)

Adapun, tarif PPN dan PPh untuk aset kripto di Indonesia berdasarkan PMK 68/2022, adalah sebagai berikut:

  • 0,11%: Tarif PPN atas transaksi perdagangan aset kripto oleh Pedagang Fisik Aset (PFAK).
  • 0,22%: Tarif PPN atas transaksi perdagangan aset kripto oleh penyelenggara perdagangan selain PFAK.
  • 1,1%: Tarif PPN atas jasa penambangan aset kripto setelah verifikasi transaksi.
  • 0,1%: Tarif PPh Pasal 22 Final atas penghasilan dari perdagangan aset kripto oleh PFAK.
  • 0,2%: Tarif PPh Pasal 22 Final atas penghasilan dari perdagangan aset kripto oleh penambang aset kripto yang bukan PFAK.
  • 0,1%: Tarif PPh Pasal 22 Final atas penghasilan dari penambangan aset kripto, tanpa termasuk PPN.

Selain besaran tarif yang telah disebutkan, PMK 68/2022 juga menggatur terkait tarif PPN untuk aset kripto dengan besaran tertentu. Berdasarkan Pasal 16 ayat (1) PMK 68/2022, PPN yang dikenakan atas penyerahan jasa verifikasi transaksi aset kripto dan/atau jasa manajemen kelompok penambang aset kripto oleh penambang aset kripto sebagai Pengusaha Kena Pajak (PKP), adalah sejumlah PPN yang telah ditetapkan.

Besaran PPN tersebut adalah 10% dari tarif PPN, dikalikan dengan nilai dalam bentuk uang dari aset kripto yang diterima oleh penambang aset kripto, termasuk aset kripto yang diperoleh dari sistem aset kripto (block reward).

Dengan semakin berkembangnya teknologi dan keberlanjutan diskusi terkait cryptocurrency di Indonesia, penting bagi pemerintah dan pemangku kepentingan lainnya untuk terus memantau perkembangan ini dengan cermat.

Perlakuan yang tepat terhadap mata uang kripto, termasuk regulasi yang sesuai dan sistem pajak yang adil, akan menjadi kunci dalam menjaga stabilitas keuangan dan melindungi kepentingan semua pihak yang terlibat.