Perburuan para obligor pengemplang dana Bantuan Likuiditas Bank Indonesia alias BLBI terus berlangsung. Kali ini, Satuan Tugas Penanganan Hak Tagih Negara Dana BLBI atau Satgas BLBI memanggil Suyanto Gondokusumo untuk melunasi utangnya senilai Rp 904 miliar.
Suyanto harus membayarkan hak tagih dana BLBI sebesar Rp 904,47 miliar dalam rangka penyelesaian kewajiban pemegang saham (PKPS) Bank Dharmala. Satgas BLBI melakukan berbagai upaya penagihan, termasuk merilis pengumuman di surat kabar pada Selasa (22/9). Isinya meminta Suyanto untuk menghadap Ketua Pokja Penagihan dan Litigasi Tim A Satgas BLBI, Jumat (24/9).
"Dalam hal saudara tidak memenuhi kewajiban penyelesaian hak tagih negara, maka akan dilakukan tindakan sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan," tulis Satgas dalam surat pemanggilan tersebut.
Selain mengumumkan di surat kabar, Satgas mengirimkan surat pemanggilan ke alamat tinggal Suyanto di Kebayoran Lama, Jakarta Selatan. Sejatinya, dia memiliki dua alamat tinggal, satu lagi berada di Clifton Vale, Singapura.
Melansir Guide Khazanah Arsip Perusahaan dari Arsip Nasional Republik Indonesia (ANRI) pada 2017, Bank Dharmala memiliki jaringan dalam negeri sebanyak 39 kantor, 16 kantor cabang, 16 kantor cabang pembantu, 2 kantor kas, dan 4 kas mobil.
Dahulu, pada 13 Maret 1999, PT Bank Dharmala ditutup. Saat itu Dewan Komisaris terdiri dari Suyanto Gondokusumo, Tjan Soen Eng, Hartawan Sunosubroto, dan Slamet Santoso Gondokusumo. Sementara direksinya terdiri dari Suhanda Wiraatmaja, Jenny Wirdjadinata, Harjono Darto To, Erly Syahada, Kinardi Rusli.
Ketikta itu, PT Bank Dharmala Nugraha yang berdiri pada 9 Januari 1989 beralamat di Wisma Bank Dharmala, Jalan Jendral Sudirman. Kemudian, pada 2 Desember 1994, perusahaan berganti nama menjadi PT Bank Dharmala. Berdasarkan Surat Keputusan Direksi BI No. 26/17/KEP/DIR tertanggal 22 Mei 1993, PT Bank Dharmala selanjutnya berubah status menjadi Bank Devisa.
Siapa Suyanto Gondokusumo?
Dalam buku Prominent Indonesian Chinese: Biographical Sketches (4th edition) karya Leo Suryadinata diketahui bahwa Suyanto yang memiliki nama China Wu Duanxian. Dia anak tertua dari Suhargo Gondokusumo. Suhargo merupakan pria kelahiran Fujian, Cina, yang merantau ke Indonesia pada 1947.
Akhir 1950, Suhargo mendirikan Dharmala Grup di Surabaya. Semula, fokus bisnis perusahaan berada di sektor perdagangan hasil pertanian, salah satunya dengan mengekspor kopi. Bisnis berkembang, Dharmala Grup pun melebarkan sayapnya ke bisnis lainnya pada 1970.
Dibantu putra sulungnya, Suyanto Gondokusumo, yang kembali dari studi di Amerika Serikat, bisnis Dharmala Grup menjalar ke sektor lain. Beberapa bidang yang digeluti yakni real estate seperti Wisma Dharmala, PT Taman Harapan Indah, dan lainnya. Ada juga di sektor keuangan dengan mendirikan PT Bank Pasar Warga Nugraha. Lalu di sektor bisnis impor dan distribusi seperti PT Mekasindo Dharma International dan PT Kayu Eka Ria.
Sayap bisnis Dharmala Grup juga melebar ke luar negeri. Salah satunya melalui perusahaan multinasional yang beroperasi di Hong Kong (DMT International Hong Kong), Filipina dan Thailand. Dharmala Grup juga membentuk DeMat Investment untuk berinvestasi di Tiongkok.
Berbagai capaian tersebut berhasil menggiring Dharmala Grup ke daftar kalangan konglomerat Indonesia pada 1990-an dan masuk peringkat No.11. Selang 20 tahun, Suhargo meninggal di Singapura pada 2 September 2010 dan meninggalkan satu putri dan empat orang putra, salah satunya si sulung Suyanto Gondokusumo.
Kasus Lain Melilit si Sulung
Nama Suyanto Gondokusumo memang jarang terdengar oleh publik. Namun, pada 2001, dia pernah terlibat dalam kasus pelanggaran penggadaian saham PT Dharmala Sakti Sejahtera (DSS) kepada Harvest Hero dan Highmead Ltd. Suyanto dan Direksi disebut melanggar ketentuan-ketentuan pasar modal, kepailitan, perseroan terbatas, KUH Perdata, dan KUHP.
Berdasarkan siaran pers 22 Januari 2001, Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) melalui kantor pengacara Bob Nasution telah melaporkan Suyanto dan para Direksi terkait dengan penerbitan surat kuasa substitusi untuk menjual sebanyak 1.800 saham Dharmala di Asuransi Jiwa Manulife Indonesia (AJMI).
Laporan tersebut berdasarkan penjualan saham Dharmala dari Highmead ke Roman Gold Asset (RGA) pada 19 Oktober 2000, yang terbukti melanggar peraturan. RGA membeli saham Dharmala dari High Mead senilai Rp 354,4 miliar. Padahal, sebelumnya 6 Juni 2000, Dharmala telah dinyatakan pailit, sehingga surat kuasa penjualan saham Dharmala seharusnya sudah tidak berlaku lagi.
BPPN melalui lembaga paksa badan yang dihidupkan kembali pada tahun 2000, menggugat keluarga Gondokusumo untuk mengembalikan pinjamannya kepada negara. Gugatan tersebut ditujukan untuk pengurus DeMat Investment, yakni Suhargo Gondokusumo, Suyanto Gondokusumo, Hendro Gondokusumo, Chan Koe Tie, Hendra Gunawan, serta Slamet S. Gondokusumo.
Ricardo Simanjuntak dari kantor Gani Djemat & Partner saat itu menjadi kuasa hukum BPPN. Dia menjelaskan pihaknya belum bisa menunjukkan bukti otentik adanya utang DeMat Investment kepada BPPN, dilansir dari Hukumonline.
"Tagihan itu (perjanjiannya, red) memang nggak asli dan kami sedang mengupayakannya untuk nanti di tingkat banding,"ujar Ricardo.
DeMat Investment Company Ltd, merupakan perseroan yang didirikan di Tiongkok dan sempat menerima fasilitas pinjaman sebesar US$ 9 juta. Pinjaman tersebut diperoleh dari PT Bank Danamon Indonesia melalui kantor cabangnya di Cayman Island pada 12 Mei 1997, dan jatuh tempo 12 Mei 1998.
Status DeMat Investment saat ini sudah dibubarkan. Perusahaan yang didirikan pada 7 Maret 1986 tersebut bergerak di bidang perdagangan saham adalah perusahaan swasta alias private.
Suyanto Gondokusumo dan CFC
Sementara, berdasarkan laporan daftar pemegang saham PT Pioneerindo Gourmet International Tbk (PTSP) per 30 Juni 2021, Suyanto tercatat sebagai pemegang saham perusahaan tersebut. Kepemilikan di PTSB sekitar 23,6 juta lembar saham atau 10,68%. Namun, dilansir dari laporan bulanan registrasi pemegang efek PTSP per 31 Agustus 2021, Suyanto diketahui sudah tidak memiliki saham lagi di Pioneerindo yang merupakan pemegang merek California Fried Chicken (CFC) di Indonesia.
Perusahaan yang identik dengan ayam goreng CFC ini mencatat pertumbuhan pendapatan 2,46% per 30 Juni 2021 menjadi Rp 206,6 miliar. Capaian tersebut lebih baik dibandingkan periode yang sama tahun lalu, dimana pendapatan usaha baru Rp 201,63 miliar.
Kinerja positif sepanjang 2021 tersebut, berhasil mendorong PTSP membukukan laba naik 3,38% dari Rp 119,85 miliar menjadi Rp 123,9 miliar per 30 Juni 2021. Bahkan, melansir RTI pada perdagangan Kamis (23/9) harga saham PTSP naik 23,18% ke level Rp 4.730 per saham. Secara year to date alias sepanjang tahun ini, sahamnya sudah naik 49,6%.
Penyumbang bahan: Nada Naurah (Magang)