Kerap menyatakan terbuka dengan banyak kemungkinan kolaborasi, namun PT Smartfren Telecom Tbk belum melakukan kesepakatan anyar hingga sekarang. Hal ini terkait kabar perusahaan di bawah Sinar Mas Group tersebut bakal mendapat suntikan modal dari raksasa teknologi Tiongkok, Alibaba Group, maupun aksi merger dengan PT XL Axiata Tbk.
Sebelumnya, beredar di kalangan pelaku pasar saham bahwa perusahaan milik taipan Jack Ma, Alibaba berminat membeli saham perusahaan akhir tahun ini. Smartfren juga dikabarkan bakal merger dengan operator nasional, XL Axiata untuk mempertahankan posisinya menghadapi PT Indosat Ooredoo Hutchison Tbk.
Terkait informasi masuknya Alibaba sebagai investor Smartfren, Direktur Smartfren Antony Susilo mengatakan belum ada kesepakatan yang bisa disiarkan. "Sampai dengan saat ini belum ada kesepakatan mengenai hal ini yang bisa diumumkan kepada publik," kata Antony dalam keterbukaan informasi, Rabu (13/10).
Sementara itu, mengenai kabar merger dengan XL Axiata, Antony mengatakan Smartfren terbuka untuk berkonsolidasi dengan pelaku industri lain untuk efisiensi operasional. Sehingga, dapat memberikan nilai tambah bagi pemegang saham. "Jika dapat berkolaborasi dengan investor global, diharapkan akan membuka kesempatan untuk berkembang lebih pesat," ujarnya.
Menurut dia, kedua kabar tersebut bukanlah informasi atau kejadian penting yang material dan dapat mempengaruhi kelangsungan hidup perusahaan. Meski begitu, informasi ini sempat membuat harga saham Smartfren menguat.
Satu Dekade Smartfren Masih Dihantui Rugi
Berdasarkan keterbukaan informasi di laman Bursa Efek Indonesia (BEI), Smartfren Telecom membukukan pendapatan usaha Rp 4,95 triliun per Juni 2021. Capaian tersebut naik 22,8 % dibandingkan capaian periode yang sama tahun lalu Rp 4,03 triliun.
Kontribusi terbanyak datang dari bisnis data, yakni 92,32 % terhadap total pendapatan Smartfren periode Januari-Juni 2021. Bisnis data perusahaan dengan kode saham FREN itu naik 15,7 % dari Rp 3,95 triliun menjadi Rp 4,57 triliun. Sedangkan bisnis non-data tercatat turun 39,8 % menjadi Rp 136,4 miliar.
Sementara itu, dalam enam bulan pertama tahun ini, perusahaan berhasil menekan beban usaha 2,7 % menjadi Rp 5,03 triliun. Ini didukung penyusutan dan amortisasi yang turun 15,5 % per Juni 2021 menjadi Rp 1,8 triliun. Sedangkan beban operasi, pemeliharaan, dan jasa telekomunikasi mencatatkan kenaikan 6,4 % ke level Rp 2 triliun.
Beban perusahaan yang tinggi membuat Smartfren masih harus membukukan rugi komprehensif Rp 451,26 miliar. Namun, capaian tersebut lebih baik alias ruginya menyusut dibandingkan Juni 2020 yakni Rp 1,22 triliun.
Melansir Databoks, kinerja emiten berkode FREN ini terus membukukan kerugian dalam satu dekade terakhir, yakni 2011-2020. Di mana, persaingan yang ketat, serta biaya yang besar di sektor telekomunikasi membuat emiten halo-halo ini terus merugi.
Dalam laporan keuangan emiten yang dipublikasikan, FREN mengalami kerugian sebesar Rp 1,53 triliun pada Desember 2020. Kerugian tersebut menyusut 30,36 % dari tahun sebelumnya yang mencatat kerugian Rp 2,19 triliun.
Alhasil, perusahaan telekomunikasi Group Sinar Mas ini mencatat kerugian rata-rata sebesar Rp 2,1 triliun dalam 10 tahun terakhir. Sementara, kerugian terbesar terjadi pada 2018 dengan nilai kerugian sebesar Rp 3,55 triliun.
Dari Tangan Hary Tanoe ke Sinar Mas Group
Smartfren lahir dari gabungan beberapa perusahaan telekomunikasi. Ketika berdiri pada 2002, perusahaan ini dikenal sebagai PT Mobile-8 Telecom Tbk. Terbentuknya perusahaan tersebut tidak lepas dari upaya pemilik Bimantara Citra yang baru, Hary Tanoesoedibjo untuk membangun bisnis komunikasi. Apalagi, fokus bisnis Bimantara menjurus ke sektor telekomunikasi dan media.
Bimantara yang saat ini dikenal sebagai Global Mediacom, sebenarnya sudah memiliki perusahaan telekomunikasi lebih dulu, yakni Komunikasi Seluler Indonesia alias Komselindo yang dimiliki bersama Telkom. Sedangkan kehadiran Mobile-8 bertujuan untuk membangun perusahaan komunikasi dengan sistem dan layanan baru.
Pada 2003, Mobile-8 Telecom mengakuisisi Komselindo dan Metrosel atau Metro Selular Nusantara, serta Telekomindo Selular Raya (Telesera). Perusahaan gabungan itu berkembang dengan menyediakan layanan jasa telepon seluler berbasis teknologi CDMA dan resmi beroperasi secara komersial sejak 8 Desember 2003.
Produk perdana yang diluncurkan adalah Fren, produk berbasis CDMA2000 dibangun dengan modal awal berupa pengguna jaringan dari tiga perusahaan sebelumnya, yang diubah dari AMPS/CDMAOne ke CDMA2000. Sebelum 2008, Fren merupakan satu-satunya produk dari perusahaan Mobile-8, hingga akhirnya diluncurkan layanan Fixed Wireless Access atau FWA dengan nama Hepi pada Mei 2008, dilansir dari laporan keuangan tahunan perusahaan.
Selanjutnya, perusahaan menelurkan layanan internet murah bernama Mobi pada Februari 2009. Layaknya Fren dan Hepi, Mobi saat ini sudah tidak digunakan lagi seiring penggunaan merek tunggal Smartfren.
Seiring waktu, Bimantara yang sudah berganti nama menjadi Global Mediacom memutuskan melepas 60 % saham Mobile-8 yang dikuasainya, dan fokus dengan bisnis medianya. Pada 2008, induk usaha Mobile-8 tersebut melepas 15 % sahamnya ke publik, serta 32 % saham lainnya ke perusahaan asal Dubai, Jerash Investments Ltd.
Aksi pelepasan saham tersebut bukan tanpa alasan, Mobile-8 sempat mengalami gagal bayar obligasi senilai Rp 675 miliar. Hingga 2008, Global Mediacom hanya memiliki 19 % saham Mobile-8 dan menjadi pihak pengendali.
Dalam perkembangannya, rencana divestasi sisa saham 19 % Global Mediacom di Mobile-8 terus berlanjut, dengan adanya dua pihak yang berminat yakni Sinar Mas Group sebagai pengelola provider Smart dan Bakrie Telecom yang mengelola kartu Esia saat itu. Namun di tengah perjalanan, Grup Bakrie tersebut justru memilih membatalkan rencananya, sehingga akuisisi diambil Sinar Mas.
Pada November 2009, 19% saham Global Mediacom di Mobile-8 berpindah ke tangan PT Gerbangmas Tunggal Sejahtera, Centurion Asset Management Ltd dan Boquete Group SA yang terafiliasi dengan Sinar Mas Group. Transaksi ini memakan biaya sebesar Rp 211 miliar. Dilansir dari laman resmi Smartfren, saat ini perusahaan masih tergabung dalam kelompok usaha Sinar Mas Group.
Pemegang saham mayoritas dan sebagai pengendali Smartfren saat ini adalah PT Global Nusa Data sebanyak 25,9 % atau 79,9 miliar lembar saham, disusul kepemilikan PT Dian Swastatika Sentosa Tbk sebanyak 16,9 %, PT Wahana Inti Nusantara (15,8 %), dan PT Bali Media Telekomunikasi (10,7%). Sementara itu, per 31 Agustus 2021 masyarakat alias publik menguasai 30,7% atau 94,68 miliar lembar saham FREN.
Pada perdagangan Kamis (14/10), saham FREN ditutup koreksi 1,05 % ke level Rp 94 per saham. Meskipun begitu, sepanjang 2021 emiten telekomunikasi ini telah mencatatkan kenaikan harga saham sebanyak 40,30 %.
Sebelumnya, pengamat teknologi informasi dan komunikasi Heru Sutadi menilai operator jaringan nirkabel Smartfren tak akan bangkrut. Meskipun Smartfren terus-menerus rugi sejak 2008-2019. Heru mengatakan Smartfren akan bertahan lantaran dimiliki oleh Sinar Mas Group yang memiliki banyak lini bisnis. Smartfren bisa mendapatkan suntikan dana dari berbagai lini bisnis yang ada di dalam grup tersebut.
"Banyak perusahaan yang walaupun rugi tapi tetap bertahan karena prestige dari perusahaan induk," ujarnya kepada Katadata.co.id pada 2019 lalu.
Smartfren saat ini menjadi operator penyedia jasa telekomunikasi berbasis teknologi CDMA dan 4G LTE yang memiliki lisensi selular. Perseroan meluncurkan layanan 4G LTE-Advanced secara komersial pada Agustus 2015.
Menggunakan dua teknologi sekaligus, yakni FDD dan TDD di frekuensi 800 MHz dan 2300 MHz untuk melayani pelanggan di jaringan 4G LTE, Smartfren menjadi satu-satunya operator yang menerapkan jaringan 4G LTE hybrid pertama dan terluas di Indonesia. Untuk mendukung ekosistem layanan 4G LTE Perseroan, smartphone Andromax 4G LTE dan Wireless Router atau MiFi 4G LTE diluncurkan juga di tahun yang sama.