Aksi MNC Group, Melebarkan Bisnis Penerbangan IATA ke Pertambangan

ANTARA FOTO/M Risyal Hidayat/foc.
Seorang calon penumpang menunggu konfirmasi di Bandara Halim Perdanakusuma, Jakarta Timur, Sabtu (20/3/2021).
19/10/2021, 09.20 WIB

Saham perusahaan penerbangan dan infrastruktur milik taipan Hary Tanoesoedibjo, PT Indonesia Transport & Infrastructure Tbk alias IATA melesat naik 34 % pada perdagangan Senin (18/10). Loncatan tersebut terjadi usai emiten ini dikabarkan bakal memutar haluan bisnisnya ke sektor batu bara.

Melansir RTI, pada perdagangan awal pekan ini (18/10) harga saham IATA dibuka naik ke harga Rp 52 per saham. Lalu pada penutupan perdagangan, harga melesat 34% ke level Rp 67 per saham, sekaligus jadi yang tertinggi dalam tiga tahun terakhir. Investor asing tercatat melakukan aksi beli sebanyak Rp 10,51 miliar di seluruh market.

IATA mulai melantai di Bursa Efek Indonesia (BEI) pada 13 September 2006 dengan menebar 56,16 miliar lembar saham. Saat itu, harga penawarannya Rp 130 per saham.

Pekan lalu, IATA menandatangani nota kesepahaman untuk mengakuisisi anak usaha MNC Group yang lain, yakni PT MNC Energi dari PT MNC Investama Tbk (BHIT) sebagai pemegang saham mayoritas. Mengutip laporan keuangan BHIT per Juni 2021, MNC Energi menaungi beberapa anak perusahaan di bidang sumber daya mineral, seperti PT Nuansacipta Coal Investment dan entitas anak seperti MNC Griya Prima, Samarinda Properti Mandiri, Aneka Griya Abadi, dan Griya Usaha Permai.

IATA pun bersiap mengambil alih sejumlah perusahaan MNC Group yang lain. Salah satunya, PT Bhakti Coal Resources (BCR), perusahaan eksplorasi dan produsen tambang batu bara di Sumatera Selatan yang juga merupakan perusahaan induk dari sejumlah perusahaan pemilik Izin Usaha Pertambangan.

Bhakti Coal Resources merupakan induk dari PT Putra Muba Coal, PT Bhumi Sriwijaya Perdana Coal, PT Indonesia Batu Prima Energi, PT Arthaco Prima Energi, dan PT Sumatra Resources. Bhakti Coal juga membawahi PT Energi Inti Bara Pratama, PT Sriwijaya Energi Persada, PT Titan Prawira Sriwijaya, PT Primaraya Energi, dan PT Putra Mandiri Coal.

Sejak Oktober 2012, MNC Energi memiliki obligasi wajib tukar. MEB yang diterbitkan oleh PT Catur Pratama Sejahtera (CPS) ini dapat ditukar dengan 165 saham atau 55 % kepemilikan saham di PT Bhakti Coal Resources (BCR). MEB tersebut akan jatuh tempo pada 10 November 2021.

"Secara keseluruhan (BCR) memiliki estimasi sumber daya sebesar 1,75 miliar MT dan estimasi cadangan sebesar 750 juta MT," kata Head of Investor Relations MNC Group Natassha Yunita dalam keterangan resminya pekan lalu.

Perusahaan MNC Group lainnya yang diakuisisi IATA yaitu PT Nuansacipta Coal Investment, perusahaan eksplorasi dan produsen tambang batu bara di Kalimantan Timur. Lalu, mengakuisisi juga PT Suma Sarana, perusahaan eksplorasi minyak di wilayah Provinsi Papua.

Aksi korporasi yang dilakukan IATA ini diklaim sebagai langkah strategis untuk memanfaatkan momentum lonjakan harga komoditas batu bara yang berkelanjutan. Manajemen IATA meyakini akuisisi tersebut tidak hanya mendongkrak prospek bisnis, tetapi secara signifikan meningkatkan nilai perusahaan.

Akuisisi tersebut terjadi setelah hasil uji tuntas dan valuasi terhadap PT MNC Energi selesai dijalankan. Dengan asumsi semua proses due diligence berjalan lancar, IATA akan segera meminta restu Otoritas Jasa Keuangan (OJK), dengan target penyelesaian transaksi akhir triwulan I-2021.

Setelah transaksi, IATA akan menjadi entitas induk untuk seluruh perusahaan batu bara MNC Group. Melansir laporan keuangan BHIT pada 2020, entitas induk perusahaan dan entitas induk terakhir dalam kelompok usaha adalah HT Investment Development Ltd dan PT Bhakti Panjiwira. Di mana, laporan bulanan registrasi pemegang efek per Agustus 2021 mencatatkan kepemilikan HT Investment pada saham BHIT mencapai 18,6 % atau sekitar 13,24 miliar lembar saham. Sedangkan Bhakti Panjiwira menguasai 7,4 % saham BHIT atau setara 5,3 miliar lembar saham.

IATA Masih Merugi di Tengah Pandemi

Dikutip dari laporan keuangan per Juni 2021, ruang lingkup kegiatan usaha IATA saat ini berkutat di bidang pengangkutan udara. Perusahaan juga menyewakan dan/atau menyewa, perdagangan, perawatan, perwakilan dan agen penjualan umum dan jasa pengamanan bandar udara.

Adapun hingga Juni 2021 perusahaan masih membukukan rugi komprehensif senilai US$ 424,9 ribu atau setara Rp 5,9 miliar (kurs Rp 14.100). Capaian tersebut jauh lebih baik dibandingkan rugi periode yang sama tahun lalu, yakni US$ 1,2 juta atau sekitar Rp 17,3 miliar.

Faktor masih ruginya kas perusahaan lantaran capaian penjualan dan pendapatan usaha IATA yang turun 5,6 % dari US$ 4,9 juta menjadi US$ 4,6 juta per Juni 2021. Sedangkan beban pokok penjualan dan pendatan turun 17,7 % menjadi US$ 3,2 juta per Juni tahun ini.

Terjadi perubahan komposisi sumber pendapatan IATA hingga Juni 2021. Pada periode yang sama, bisnis jasa penyewaan pesawat untuk contract charter jadi penyumbang pendapatan terbesar yakni 65 %, tahun ini hanya berkontribusi 41,8 %. Pendapatan pada ini bisnis ini tercatat turun 39,9 % menjadi US$ 1,9 juta.

Sementara itu, lini bisnis jasa penyewaan pesawat untuk spot charter melonjak 317,8 % menjadi US$ 2,1 juta. Lonjakan tersebut sekaligus menggiring lini bisnis ini sebagai penyumbang pendapatan terbesar bisnis IATA per Juni 2021 atau berkontribusi sekitar 44,8 %.

Adapun pendapatan IATA dari biaya pengelolaan pelabuhan turun dari US$ 1,2 juta menjadi US$ 540 ribu per Juni 2021. Sedangkan untuk pendapatan jasa servis pesawat US$ 74.745 lebih baik dibandingkan periode yang sama tahun lalu yang tidak mencatatkan sepeser pun pendapatan.

Setengah Abad IATA Mengudara di Tanah Air

Indonesia Transport & Infrastructure adalah perusahaan yang bergerak di bidang bisnis penerbangan komersial dan layanan transportasi udara. Didirikan pada 10 September 1968 dengan nama PT Indonesia Air Transport, perseroan baru beroperasi secara komersial pada 1969. Saat itu, daerah operasi berada di Balikpapan (Kalimantan Timur), Banyuwangi, Jakarta dan sebagian wilayah Indonesia lainnya.

Mengutip laman perusahaan, hub utama IATA berada di Bandara Internasional Halim Perdanakusuma. Adapun hub kedua berlokasi di Bandara Internasional Sepinggan, Kalimantan Timur dan di I Gusti Ngurah Rai, Bali. Hub kedua digunakan untuk melayani perusahaan minyak, gas, sekaligus sebagai hangar atau fasilitas perawatan pesawat.

Indonesia Air merupakan anak perusahaan dari PT Global Transport Services. Berdasarkan catatan kepemilikan perusahaan per September 2021, Global Transport menguasai 8,1 % saham IATA, sedangkan Catur Pratama Sejahtera sebanyak 8,76 % dan Oxley Capital Investment Ltd sebanyak 7,93 %.

ilustrasi Kargo Pesawat (Arief Kamaludin | Katadata)

Pada tahun-tahun pertama, IATA memberikan layanan untuk Pertamina dan kontraktor bagi hasil perusahaan minyak asingnya. Hingga saat ini, perusahaan menyediakan berbagai layanan penerbangan seperti penyewaan pesawat dan helikopter, kargo udara, bengkel dan pemeliharaan. Ada juga layanan terkait lainnya, untuk industri minyak, gas, dan pertambangan di Indonesia dan Asia Tenggara, baik di dan lepas pantai.

Tak hanya itu, perusahaan dengan kode saham IATA ini juga mengkhususkan diri pada layanan evakuasi medis aero, kargo, bengkel dan operasi dan pemeliharaan pihak ketiga, geofisika, survei foto udara serta layanan udara untuk industri pariwisata ke daerah-daerah yang lebih terpencil di Indonesia. Perusahaan juga mengoperasikan berbagai jenis layanan pesawat sayap, serta helikopter seperti EC 155 B1, ATR 42-500, dan jet bisnis Embraer Legacy 600.

Untuk mendukung operasinya, IATA melakukan investasi besar dengan membangun fasilitas perawatan yang komprehensif di Jakarta dan di Balikpapan, Kalimantan Timur. Perusahaan mengembangkan standar tinggi dalam pesawat fixed wing dan helikopter, dengan kemampuan perbaikan in-house sesuai dengan standar keselamatan yang diterima secara internasional.