Ada terobosan baru yang sedang dilakukan PT Gajah Tunggal Tbk. Pemain utama ban kendaraan bermotor di Tanah Air ini hendak menggenjot penjualan melalui jalur digital. Lantaran itu, perusahaan yang dulu dibangun oleh konglomerat Sjamsul Nursalim ini menggandeng Gtech Digital Co Ltd.
Partner baru Gajah Tunggal ini akan membangun sistem integrasi untuk penjualan dan pemasaran. Gtech Digital juga menganalisis, merancang, mengembangkan, melakukan penyesuaian, serta memasang perangkat keras dan perangkat lunak.
Perjanjian kedua korporasi ini pun meliputi integrasi sistem aplikasi seperti software e-commerce dan omni channe, termasuk terkait sistem manajemen pesanan dan manajemen informasi produk untuk satu tahun pertama. Gajah Tunggal merogoh kocek US$ 295 ribu atau setara Rp 4,2 miliar untuk imbal jasa tersebut.
“Perseroan memerlukan bantuan teknis terkait produk dimaksud, yang telah dikembangkan Gtech,” kata Direktur Gajah Tunggal Kisyuwono dalam keterbukaan informasi, Kamis, 11 November 2021. Sehingga, “Perseroan dapat segera menjalankan sistem integrasi kegiatan penjualan dan pemasaran.”
Di tengah rencana terobosan itu, Gajah Tunggal sukses membalik neraca keuangannya dari negatif menjadi positif tahun ini. Selama periode Januari-September 2021, Gajah Tunggal membukukan laba Rp 15,5 miliar, berbanding terbalik dari periode yang sama tahun lalu yang merugi Rp 113,5 miliar, sebagaimana dilansir dari laporan keuangan perusahaan.
Capaian positif tersebut diperoleh dari penjualan bersih yang naik 16,6 % menjadi Rp 11,2 triliun dari Rp 9,6 triliun. Meskipun begitu, beban pokok penjualan juga naik 21 % menjadi Rp 7,8 triliun.
Gajah Tunggal Lahir dari Ban Sepeda
Didirikan pada 24 Agustus 1951, Gajah Tunggal memulai bisnisnya dengan memproduksi ban sepeda. Putaran roda bisnis terus digiring bertahun-tahun dengan memperluas kapasitas produksi dan diversifikasi ke pembuatan ban sepeda motor dan ban dalam.
Dengan bantuan teknik dari Inoue Rubber Company milik Jepang, Gajah Tunggal mulai memproduksi ban sepeda motor di 1971. Sepuluh tahun kemudian, perusahaan mulai membuat ban bias untuk penumpang dan kendaraan komersial dengan bantuan teknik dari Yokohama Rubber Company, Jepang. Masih berlanjut, pada 1993 perusahaan mulai memproduksi dan menjual ban radial untuk mobil penumpang dan truk ringan.
Menempati kantor pusat di Jakarta, kini perusahaan -yang sahamnya dikoleksi pelaku pasar Lo Kheng Hong- tersebut menjadi pemasok dan memproduksi ban untuk kendaraan penumpang (mobil), kendaraan niaga (truk), sepeda motor, hingga low cost green car. Beberapa partner usaha Gajah Tunggal yakni Proton, Mitsubishi, Mercedes-Benz, Kawasaki, dan Honda.
Tak sebatas mengembangkan produk, sejak 1991 Gajah Tunggal mengakuisisi tiga perusahaan. Pertama pada 1991, perusahaan dengan kode emiten GJTL tersebut mengambil alih GT Petrochem Industries, produsen kain ban (tire cord/TC) dan benang nilon. Berkat akuisisi ini, GTJL berhasil memproduksi ban radial untuk penumpang dan truk ringan di 1993. Tak lama berselang, GJTL mengakuisisi Langgeng Baja Pratama (LBP) yang merupakan produsen kawat baja pada 1995.
Akuisisi terakhir terjadi pada 1996 terhadap Meshindo Alloy Wheel Corporation, produsen velg aluminium terbesar kedua di Indonesia. Di tahun yang sama, GT Petrochem, anak perusahaan GJTL, memperluas lingkup operasi perusahaan dengan memproduksi karet sintetis, etilen glikol, benang serta serat polyester.
Produsen ban ini juga ingin memperluas produknya agar bisa dipakai di pasar internasional. Untuk itu pada 2001, GJTL membuat perjanjian produksi dengan Nokian Tyres Group, perusahaan manufaktur ban di Finlandia. Hasil dari perjanjian ini yakni produksi beberapa ban mobil penumpang, termasuk ban musim dingin yang dipasarkan secara global.
Bisnis Gajah Tunggal juga berhasil melewati krisis ekonomi Asia usai sempat mengalami kesulitan di 2002. Saat itu, GJTL melakukan restrukturisasi untuk menurunkan beban utangnya dan mengonversinya menjadi Surat Berharga Pasar Uang (Floating Rate Notes/FRN). Sukses melalui krisis ekonomi, pada 2010 Gajah Tunggal meluncurkan Champiro Eco, ban Indonesia pertama yang ramah lingkungan.
Saham GJTL Koleksi Lo Kheng Hong
Setelah sukses dengan diversifikasi produk ban, Gajah Tunggal melantai di Bursa Efek Indonesia pada Mei 1990. Perusahaan tersebut melego 20 juta lembar saham dengan harga penawaran perdana Rp 5.500 per lembar saham. Alhasil, dari aksi korporasi tersebut, GJTL berhasil mengantongi dana segar Rp 110 miliar.
Lebih dari tiga dasawarsa berada di bursa Tanah Air, per Rabu (17/11) saham GJTL bertengger di level Rp 705 per saham. Melansir RTI, dalam enam bulan terakhir saham produsen ban tersebut bergerak di zona merah alias sudah terkoreksi 22,1 %. Namun, jika merunut setahun terakhir harga saham GJTL masih tumbuh 54,6 %.
Investor kawakan Lo Kheng Hong tercatat ikut mengoleksi saham GJTL sejak Januari 2021 hingga Oktober 2021, berdasarkan keterbukaan informasi BEI. Komposisi kepemilikannya meningkat, dari awal tahun sekitar 5,06 % atau sekitar 176,48 juta lembar saham, menjadi 5,1 % atau 178,01 juta lembar saham per Oktober 2021.
Adapun kepemilikan saham terbanyak dikuasai Denham PTE Ltd yakni 49,5% atau setara 1,72 miliar lembar saham. Perusahaan yang berdomisili di Singapura tersebut menjadi pemegang saham pengendali Gajah Tunggal per Oktober 2021.
Hingga sekarang, GJTL sudah memiliki lima anak perusahaan dengan jenis usaha beraga. Pertama ada PT Polychem Indonesia yang berdiri sejak 1986 dan memproduksi Etilen Glikol untuk kemudian diolah menjadi polyester. Kedua, PT Filamendo Sakti yang berdiri sejak 1988 dan memproduksi benang kain ban nilon (nylon filament).
Anak usaha Gajah Tunggal ketiga, yakni PT Prima Sentra Megah yang merupakan distributor kain ban dan karet sintetis (SBR) dan sudah berdiri sejak tahun 2000. Keempat, PT IRC Gajah Tunggal Manufacturing Indonesia yang berfokus pada produksi berbagai ban motor sejak 2018. Kelima, PT Speedwork Solusi Utama yang paling baru, berdiri tahun 2019 dan berfokus pada distribusi melalui e-commerce.
Sejarah Gajah Tunggal tak lepas dari sentuhan taipan Sjamsul Nursalim, yang sedang tersangkut kasus Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI). Pria dengan nama asli Liem Tjoen Ho/Lim Tek Siong itu lahir di Lampung pada 1942, dan menjabat sebagai Direktur Utama Gajah Tunggal pada 1951.
Selain itu, Sjamsul juga sempat menjabat sebagai anggota direksi cat Kansai pada 1980-an. Dia juga menjadi pemegang saham pengendali Bank Dagang Nasional Indonesia (BDNI) di Medan. Saat menjabat posisi tersebut, dia dituduh menggunakan uang negara Rp 4,58 triliun melalui fasilitas BLBI. Kini Sjamsul bermukim di Singapura bersama istrinya. Dia juga beberapa kali dipanggil KPK, namun belum pernah memenuhi panggilan.
Sebelumnya, Sjamsul dikenal sebagai taipan yang sempat masuk daftar orang terkaya ke- 36 di Indonesia menurut majalah Forbes 2018. Kekayaan totalnya sebesar US$ 810 juta. Kemudian, pada 2020, Forbes mencatatkan kekayaan Sjamsul sebesar US$ 755 juta atau setara Rp 11,25 triliun.
Saat ini, Sjamsul juga mengantongi 51 % kepemilikan saham di perusahaan ritel di Indonesia, PT Mitra Adiperkasa Tbk alias MAP. Perusahaan tersebut merupakan pemegang hak penjualan beberapa merek terkenal seperti Zara, Starbucks, Sogo, dan Reebok. Bahkan, perusahaan ini memiliki lebih dari 2.000 ritel yang tersebar di seluruh Indonesia, dengan lebih dari 150 merek terkenal.