Mantap untuk melangsungkan right issue alias penawaran saham anyar, PT Bank Ina Perdana Tbk bakal menambah modal inti perusahaan sesuai syarat Otoritas Jasa Keuangan (OJK), yakni Rp 2 triliun. Aksi korporasi tersebut digelar selama periode 3 hingga 9 Desember 2021.
Bank Ina Perdana bakal menebar 282,7 juta lembar saham baru, dengan harga pelaksanaan Rp 4.200 per saham. Lewat aksi korporasi tersebut, estimasinya bank anggota Salim Group ini bisa mengantongi dana segar sekitar Rp 1,18 triliun.
Hingga akhir September 2021, modal inti Bank Ina Perdana berada di kisaran Rp 1,15 triliun. Alhasil, lewat aksi korporasi tersebut, Bank Ina Perdana mempertahankan posisinya di industri perbankan Tanah Air dengan memenuhi modal inti.
Melansir prospektus right issue, PT Indolife Pensiontama merupakan pemegang saham pengendali Bank Ina Perdana. Perusahaan keuangan Salim Group tersebut juga bakal menjadi standby buyer atau pembeli siaga dari aksi korporasi Bank Ina kali ini.
Berdasarkan struktur permodalan per 22 Oktober 2021, Indolife menguasai 22,5 % saham dengan kode emiten BINA, atau setara 1,27 miliar lembar saham. Apabila pemegang saham pengendali melaksanakan haknya, struktur permodalan dan komposisi Indolife menjadi 23,3 %, sekitar 1,3 miliar lembar saham, menurut prospektus Bank Ina.
Selain untuk memenuhi modal inti, Bank Ina Perdana akan menggunakan dana hasil right issue untuk modal kerja. Fokusnya, penggunaan dana bakal menerapkan proses digitalisasi, di mana strategi dan prospek usaha perusahaan ke depan terbagi ke dalam lima poin.
Pertama, memperkuat infrastruktur sistem teknologi informasi, untuk mendukung penerapan transformasi digital. Kedua, menerapkan strategi pemasaran yang efektif searah dengan pengembangan layanan perbankan berbasis digital.
Ketiga, Bank Ina Perdana bakal menggunakan dana segar tersebut untuk mengembangkan layanan cash management untuk nasabah korporasi, melalui pengembangan produk Internet Banking Bisnis, Virtual Account, electronic Data Capture (EDC), dan layanan cash pick -up.
Selanjutnya, pengembangan inovasi produk dan yanan penyaluran pinjaman berbasis digital, untuk mendukung pertumbuhan kredit di segment mikro. Terakhir membangun kerja sama dengan mitra strategis, dalam pengembangan jasa distribusi.
BCA Contoh Sukses Bisnis Perbankan Salim Group
Salim Group dikenal lewat gurita bisnisnya yang besar, sekaligus memiliki diversifikasi luas. Tak hanya industri perbankan, perusahaan konglomerat ini juga mengelola bisnis media, telekomunikasi, keuangan, otomotif, ritel, makanan dan minuman, hingga restoran.
Untuk industri keuangan, sebelum memiliki Bank Ina Perdana dan Bank Mega, keluarga Salim sempat berjaya melalui PT Bank Central Asia Tbk (BCA). Bank yang memiliki kapitalisasi terbesar di Bursa Efek Indonesia (BEI) tersebut pernah menjadi salah satu aset berharga Salim Group sampai kemudian diambil alih pemerintah karena kolaps akibat krisis moneter 1998.
Liem Sioe Liong atau Sudono Salim, taipan yang membangun BCA itu semula membeli perusahaan konveksi bernama NV Semarang Knitting Factory. Anggaran dasar perusahaan saat itu memungkinkannya melakukan aktivitas perbankan.
Dilansir dari Tirto.id, Richard Borsuk dan Nancy Chng dalam Liem Sioe Liong dan Salim Group, Pilar Bisnis Soeharto (2016: 213) menuliskan, pada 1957, Liem Sioe Liong dan kawannya bernama Tan Lip Soin membeli izin perusahaan itu. Menariknya, alasan akuisisi perusahaan tersebut bukan karena tertarik pada usaha konveksi, melainkan karena bisa untuk menjalankan aktivitas perbankan.
Seiring perjalanannya, Liem kemudian mengubah nama perusahaan menjadi Bank Asia N.V, sampai akhirnya berubah menjadi BCA. Tak hanya nama yang berubah, kantor pusatnya pun digeser dari Semarang ke Jakarta.
Lembaran baru BCA dimulai saat Liem bertemu dengan calon Bos Grup Lippo, Mochtar Riady pada 1975. Mochtar saat itu baru saja mundur dari Bank Panin yang sudah dibesarkannya. Punya tangan dingin, Mochtar berhasil melipat gandakan cuan BCA dari aset yang hanya Rp 998 juta pada 1974, tumbuh Rp 12,8 miliar dalam setahun.
Bahkan, saat Mochtar keluar dari BCA dengan alasan kesehatan pada 1990, aset BCA sudah tembus Rp 7,5 triliun.
Sayangnya, akibat krisis ekonomi 1997-1998, Salim Group harus melego sebagian asetnya, termasuk BCA yang saat itu menerima Bantuan Likuiditas Bank Indonesia alias BLBI. Singkat cerita, BCA masuk dalam Bank Take Over (BTO), di mana melalui Badan Penyehatan Perbankan Nasional BPPN, 92,8 % saham BCA dikuasai pemerintah dan lepas dari genggaman Salim Group.
Kiprah Bank Ina di Tangan Anthoni Salim
Tak kapok menggeluti perbankan, Januari 2017, Salim Group membeli saham Bank Ina Perdana sebanyak 29 % lewat NS Financials Fund sebesar 10,6 % dan melalui NS Asean Financial Fund sebesar 18,4 %.
Pada Januari 2020, Direktur Utama Bank Ina, Daniel Budirahayu dan Direktur Kepatuhan Bank Ina, Wardoyo mengumumumkan Salim Group sebagai ultimate shareholder atau pemegang saham pengendali Bank Ina Perdana lewat Indolife Pensiontama. Pernyataan tersebut dikeluarkan usai Bos Bali United, Pieter Tanuri melalui perusahaan afiliasinya PT Philadel Terra Lestari mengundurkan diri sebagai pemegang saham pengendali.
Adapun bisnis Indolife Pensiontama bergerak di bidang asuransi jiwa dan dana pensiun sejak 1991. Perusahaan Salim Group satu ini dikenal memiliki kondisi keuangan yang kuat dan komitmen pelayanan yang prima dan sebagai low cost company.
Kinerja tersebut tampaknya menular pada laporan keuangan Bank Ina Perdana per September 2021, yang sukses membukukan laba naik 212,8 % menjadi Rp 29,2 miliar dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya. Selurus dengan itu, beban pokok perusahaan juga naik 77,7 % menjadi Rp 333,6 miliar.
Laba positif Bank Ina Perdana berasal dari pendapatan bunga perusahaan yang tumbuh 60,4 %, dari Rp 309 miliar menjadi Rp 495,8 miliar. Kontribusi terbesar berasal dari pendapatan bunga efek sekitar 47,2 % dari total pendapatan, yakni Rp 234,2 miliar. Capaian tersebut sekaligus menggeser posisi pendapatan bunga kredit yang sebelumnya menjadi sumber utama pendapatan bunga Bank Ina September 2020.
Sejalan dengan kinerja keuangan yang kinclong, pergerakan saham BINA juga sukses berada di zona hijau dalam lima tahun terakhir, dengan kenaikan lebih dari 1.500%. Bahkan, pada penutupan perdagangan Selasa (7/12), saham BINA menguat 6,02% ke level Rp 4.050 per saham.
Awal Juli lalu, BEI sempat menghentikan sementara atau suspensi perdagangan saham BINA, lantaran terjadi peningkatan harga kumulatif yang signifikan. Suspensi perdagangan saham BINA dilakukan di pasar reguler dan pasar tunai. Tujuannya, memberi waktu yang memadai bagi pelaku pasar untuk mempertimbangkan secara matang berdasarkan informasi yang ada dalam setiap pengambilan keputusan investasinya.
Bank Ina Perdana pertama kali melantai di Bursa Efek Indonesia (BEI) pada 16 Januari 2014 dengan harga perdananya Rp 240 per saham. Sebanyak 520 juta lembar saham ditebar di bursa Tanah Air dan membuat perbankan mampu mengantongi dana segar Rp 124,8 miliar.