Pandemi telah menghantam ekonomi di berbagai lini usaha, tak terkecuali industri jasa keuangan. Salah satunya, Bank Mayapada. Sepanjang 2021, saham bank dengan kode emiten MAYA tersebut merosot 85,5 % ke level Rp 660 per saham, Kamis (30/12).
Sempat sukses melalui badai krisis moneter 1998, rupanya tak menjamin bank besutan Dato Sri Tahir ini bisa melenggang melewati gelombang pandemi Covid-19. Ditambah lagi, dalam lima tahun terakhir saham bank berusia tiga dekade lebih itu sudah awet berada di zona merah.
Bank Mayapada Aman dari Krisis 1998
Bank Mayapada didirikan oleh Dato Sri Tahir sejak 7 September 1989 di Jakarta. Perusahaan ini disahkan oleh Menteri Kehakiman Republik Indonesia pada 10 Januari 1990. Kegiatan komersial bank kemudian berjalan pada 16 Maret 1990.
Delapan tahun sejak didirikan, kinerja perbankan yang fokus pada kredit usaha kecil ini mampu bertahan dari berbagai tantangan, termasuk krisis moneter 1998. Saat itu, Bank Mayapada termasuk dalam bank yang bertahan dan tak ambruk seperti bank swasta lain, yang terpaksa mengambil kredit dari bank asing.
Likuiditas Bank Mayapada sempat terselamatkan di 1998, karena setahun sebelumnya perusahaan baru melangsungkan aksi korporasi, initial public offering alias IPO. Perusahaan perbankan itu, resmi melantai di Bursa Efek Indonesia (BEI) pada 29 Agustus 1997 dengan kode saham MAYA.
Adapun harga saham MAYA saat itu dibanderol Rp 800 per saham. Di mana, pada penawaran perdananya Bank Mayapada melepas 65 juta lembar saham ke publik. Alhasil, dari aksi korporasi 24 tahun lalu, perusahaan mengantongi dana sebanyak Rp 52 miliar.
Dilansir dari paparan publik Desember 2020, kini Bank Mayapada sudah memiliki 39 kantor cabang, 91 kantor cabang pembantu, 83 kantor fungsional, 3 kantor kas, dan 145 ATM di 25 provinsi di Indonesia. Bank ini juga sudah merambah ke industri asuransi melalui kemitraan dengan Zurich Insurance dan Sompo Insurance
Gurita Bisnis Mayapada Group
Bank Mayapada bukanlah usaha satu-satunya perusahaan yang didirikan oleh Tahir. Namun tidak dapat dipungkiri bahwa Bank Mayapada adalah tulang punggung dari gurita bisnis Tahir, atau lebih dikenal sebagai Mayapada Group. Selain lini bisnis jasa keuangan berupa bank, Mayapada Group juga memiliki empat lini bisnis lainnya, yaitu:
Pertama, layanan kesehatan milik Mayapada Group yakni Mayapada Hospital dan Mayapada Clinic. Usaha ini sudah dimulai akhir tahun 2000-an melalui PT Sejahteraraya Anugrahjaya. Perusahaan ini bahkan sudah menjadi perusahaan terbuka dengan kode saham SRAJ.
Kedua, bisnis media. Dalam lini bisnis ini, Mayapada Group memegang dua media. Salah satunya adalah Majalah Forbes, di mana Mayapada Group terpilih sebagai mitra lokal. Selain itu, Mayapada Group juga berinvestasi di berita harian berbahasa Mandarin bernama Guo Ji Ri Bao.
Ketiga, bisnis ritel. Mayapada Group bermitra dengan Duty Free Shopper (DFS) Indonesia pada akhir 1980-an. DFS sendiri merupakan anak perusahaan dari LVMH (Louis Vuitton Moet Hennessy).
Keempat, hotel dan real estate. Perusahaan ini mengelola properti yang ada di dalam dan luar negeri. Menurut laman resmi perusahaan, Mayapada Group memiliki lebih dari empat menara perkantoran di Central Business District (CBD) Jakarta dan dua gedung perkantoran di CBD Singapura. Grup ini juga memulai industri jasa perhotelan dan menunjuk Regent Hotel untuk membuka resor di Bali pada 2013.
Dato Sri Tahir: Konglomerat, Wantimpres, Sekaligus Filantropi
Konglomerat di balik Mayapada Group adalah Dato’ Sri Tahir. Pria kelahiran Surabaya, 26 Maret 1952 ini juga dikenal dengan nama Ang Tjoen Ming. Masa kecil Tahir dihabiskan bersama ayahnya yang berprofesi membuat becak, sedangkan ibunya mengurus sebuah toko kecil.
Gelar Dato sendiri diperolehnya dari Sultan Pahang, Malaysia. Gelar tersebut diraih karena perannya membantu menyelesaikan konflik antara perusahaan dan masyarakat setempat.
Nama Tahir juga tercatat sebagai alumni SMA Kristen Petra Kalianyar, Surabaya 1971. Dilansir dari IDX Channel, Tahir pernah bercita-cita sebagai seorang dokter, namun harus kandas ketika ayahnya jatuh sakit dan ekonomi keluarga mulai sulit. Sejak saat itu, Tahir fokus melanjutkan usaha ayahnya dan tidak melanjutkan pendidikan kuliah kedokterannya.
Meski begitu, dia tidak berhenti menimba ilmu. Pada usianya yang ke-20, Tahir berhasil mendapatkan beasiswa di jurusan Manajemen Nanyang Technological University (NTU), Singapura. Sembari belajar, dia juga mencari pemasukan dengan menjual produk dari Singapura ke Surabaya. Kala itu, dia fokus membeli pakaian wanita dan sepeda.
Setelah lulus dari Singapura tahun 1976, Tahir memulai bisnis dealership mobil, namun bisnis tersebut gagal. Kemudian, dia mencoba bisnis garmen yang ternyata membuahkan hasil positif. Ia lalu mengembangkan Mayapada Group pada 1986 yang mengusahakan berbagai lini bisnis, salah satunya Bank Mayapada pada 1990. Setelah kinerja cemerlang Bank Mayapada, usaha garmen Tahir meredup.
Masih haus akan ilmu, Tahir kemudian melanjutkan studinya ke Golden Gates University, California, Amerika Serikat. Dari sana, dia memperoleh gelar Master of Business Administration (MBA) pada 1987, saat dirinya berusia 35 tahun. Tahir juga menerima kehormatan Doktor Honoris Causa dari Universitas Tujuh Belas Agustus Surabaya tahun 2008.
Berkat kerja kerasnya, Tahir masuk urutan ke-12 dalam daftar 50 Orang Indonesia Terkaya versi Forbes tahun 2021. Dilansir dari real time net worth Forbes, Bos Mayapada ini memiliki kekayaan sebesar US$ 2,7 miliar atau setara Rp 37,8 triliun (kurs Rp 14.000).
Meski sudah dijuluki sebagai salah satu orang terkaya di Indonesia, Tahir juga dikenal murah hati kepada sesama. Salah satu kegiatan filantropi yang paling besar dilakukan Tahir adalah menyumbang US$ 75 juta atau setara Rp 1,05 triliun kepada The Global Fund untuk melawan penyakit TBC, HIV, dan Malaria di Indonesia. Dia juga bermitra dengan Bill & Melinda Gates Foundation, yayasan sosial milik miliarder terkaya di dunia, Bill Gates.
Berkat kemitraannya dengan Bill & Melinda Gates Foundation, sumbangannya digandakan dua kali lipat menjadi US$ 150 juta. Sekitar US$ 10 juta di antaranya akan digunakan untuk memperluas akses kontrasepsi.
Dalam salah satu artikel pribadi Tahir di The Big Push, Huffington Post, menjelaskan bahwa dia tidak menyesal karena gagal menjadi dokter. Menurutnya, meski gagal karena ketiadaan dana, dia masih lebih beruntung dibandingkan dengan kondisi jutaan anak di negara berkembang lainnya. Keadaan inilah yang mendorongnya untuk menyumbang ke The Global Fund.
“Mereka terpaksa masuk ke dalam lingkaran kemiskinan ekstrem ketika orang tua mereka sakit atau meninggal, dan jutaan lainnya menderita penyakit yang tidak dapat dicegahnya karena faktor lingkungan serta infrastruktur kesehatan yang kurang,” jelas Tahir, dikutip dari Huffington Post.
Pada 2019, Dato Tahir juga diangkat oleh Presiden Joko Widodo sebagai Dewan Pertimbangan Presiden (Wantimpres). Dalam pernyataannya, dia ingin menggunakan jabatan ini sebagai sarana untuk fokus mengentaskan kemiskinan.
Kini, Dato Sri Tahir sudah mendirikan sebuah organisasi nirlaba bernama Tahir Foundation. Yayasan ini memiliki misi untuk meningkatkan taraf kehidupan masyarakat Indonesia dengan menyediakan pelayanan kesehatan dan pendidikan yang memadai. Pada 2020 silam, yayasan ini menyalurkan bantuan senilai Rp 52 miliar kepada empat provinsi di pulau Jawa untuk melawan virus Covid-19.