Akhir pekan lalu, pemerintah resmi mengumumkan kenaikan harga Bahan Bakar Minyak atau BBM bersubsidi, terhitung sejak Sabtu (3/9) pukul 14.30 WIB. Menteri ESDM, Arifin Tasrif merinci tiga jenis BBM yang mengalami perubahan harga yakni Pertalite, Solar dan Pertamax.
Untuk harga Pertalite naik dari Rp 7.650 per liter menjadi Rp 10 ribu per liter. Sedangkan harga Solar naik dari dari Rp 5.150 menjadi Rp 6.800 per liter. Adapun harga Pertamax dikerek menjadi Rp 14.500 dari sebelumnya Rp 12.500 per liter.
Menariknya, ketika harga BBM di gerai SPBU Pertamina mengalami kenaikan, SPBU Vivo justru menawarkan harga yang lebih rendah untuk jenis bensin setara Pertalit. Jika Pertamina membandrol harga Pertalite dengan jenis RON 90 seharga Rp 10 ribu per liter, Vivo sempat menawarkan harga Rp 8.900 per liter, untuk jenis RON 89.
Menanggapi kondisi tersebut, Pemerintah menepis pernyataan adanya intervensi harga BBM umum yang dijual SPBU Vivo. Sebelumnya, pemerintah dikabarkan meminta SPBU nonpemerintah untuk menaikkan harga BBM jika lebih rendah dari harga Pertamina.
Direktur Jenderal Minyak dan Gas Bumi Kementerian ESDM, Tutuka Ariadji menyampaikan bahwa penetapan harga sudah sesuai dengan Peraturan Presiden Nomor 191 tahun 2014 tentang Penyediaan, Pendistribusian, dan Harga Jual Eceran BBM yang telah diubah terakhir kali dengan Peraturan Presiden Nomor 117 tahun 2021.
“Menteri ESDM menetapkan Harga Jual Eceran (HJE) jenis BBM Tertentu dan Jenis BBM Khusus Penugasan. Sedangkan HJE Jenis BBM Umum dihitung dan ditetapkan oleh Badan Usaha,” kata Tutuka dalam keterangan tertulis, Senin (5/9).
Berdasarkan peraturan itu, pemerintah bisa menegur badan usaha bila menjual BBM melebihi batas atas harga. Penetapan harga jual di SPBU saat ini merupakan kebijakan bada usaha yang dilaporkan ke Menteri dan Dirjen Migas.
“Sehingga tidak benar pemerintah meminta badan usaha menaikkan harga,” ujar Tutuka.
Pengelola SPBU Vivo di Indonesia adalah PT Vivo Energi Indonesia, anak usaha dari perusahaan perdagangan energi asal Rotterdam, Vitol Grup. Pada awal kedatangan di Indonesia pada 2017 lalu, SPBU ini dikelola oleh Nusantara Engery Resources, namun sempat berhenti beroperasi. Alasannya karena ada ketidaksesuaian antara nama perusahaan dan merek dagang yang ditawarkan, yakni Vivo. Oleh sebab itu, nama perusahaan berganti menjadi PT Vivo Energy Indonesia.
Kekayaan Bersanding dengan Induk Google
Vitol adalah perusahaan yang didirikan Henk Viëtor dan Jacques Detiger di Rotterdam pada Agustus 1966. Viëtor memperoleh modal pendirian usaha dari ayahnya yang berinvestasi sebanyak 10 ribu gulden Belanda, yang kemudian akan dibayar kembali dengan bunga tahunan sebesar 8 %. Pemilihan nama Vitol pun berasal dari gabungan Viëtor dan oil alias minyak. Detiger bercerita kepada Bloomberg bahwa ayah Viëtor memberikan satu syarat pada mereka, “Kamu punya waktu enam bulan. Bila gagal, Anda keluar.”
Kegiatan operasional perusahaan pun mulai berjalan dan menunjukkan keuntungan kecil, di mana neraca keuangan mencatatkan nilai sebesar 200 ribu gulden. Bisnis ini kian berkembang kala produsen besar yang mengendalikan kontrak jangka panjang mulai pecah pada akhir 1960-an hingga 1970-an. Vitol, sebagai pedagang kecil, mulai melakukan transaksi jual beli di pasar yang baru terbentuk.
Seiring dengan perkembangan bisnis, Vitol membuka kantor baru di Swiss, London, hingga New York. pada 1976, Viëtor meninggalkan perusahaan ini dan Detiger mengambil alih manajemen perusahaan. Namun Vitol yang dikenal hingga sekarang mulai terbentuk pada 1990, ketika Detiger dan tujuh orang rekannya menjual perusahaan ini seharga US$100 juta hingga US$ 200 juta kepada 40 orang pegawai, termasuk Ian Roper Taylor yang menjadi CEO perusahaan.
Sejak Taylor mengambil alih tampuk kekuasaan, ia membuat peraturan baru di mana jumlah saham yang dipegang investor tidak boleh lebih dari 5 %. Dalam catatan Bloomberg, kebijakan tersebut membentuk budaya kebersamaan, sehingga tidak ada satu pihak yang merasa memiliki kekuatan lebih besar dari pihak lainnya.
Melansir laman resmi Vitol, kini perusahaan memiliki kapasitas penyulingan sebanyak 500 ribu barel per hari. Penyulingan minyak mentah ini dilakukan oleh enam kilang milik anak perusahaan Vitol yang tersebar di Eropa, Timur Tengah, hingga Eropa.
Tahun lalu, perusahaan ini mencatatkan pendapatan sebesar US$ 279 miliar dengan menjual 7,6 juta barel minyak mentah dan produk lain setiap harinya. Laba kotor perusahaan pun meningkat dari US$ 1 miliar menjadi US$ 6 miliar pada 2021. Angka ini diungkap Reuters berdasarkan laporan sumber yang melihat laporan laba rugi perusahaan.
Dengan keberhasilan tersebut, Vitol memecahkan rekor pendapatan bersih 2020 sebesar US$ 3 miliar. Kala itu perusahaan mengambil keuntungan dari panic selling dengan menjual minyak di pasar berjangka. Adapun perusahaan ini memperoleh minyak mentah dari produsen yang tersebar di Amerika, Asia, Eropa, hingga Timur Tengah.
Vitol sendiri bukanlah perusahaan yang banyak disorot oleh media dan masih bersifat swasta. Namun bila perusahaan ini bersifat publik, kekayaannya akan berada di peringat 7 perusahaan Fortune 500. Angka ini berada tepat di bawah Exxon Mobil, Berkshire Hathaway, dan induk Google, Alphabet.
Melalui anak usahanya di berbagai belahan dunia, kini Vitol telah memiliki 6.800 titik ritel dan 40 kantor perwakilan. Di Indonesia, Vivo memiliki total 18 SPBU yang tersebar di tiga provinsi, 11 SPBU di DKI Jakarta, 4 SPBU di Jawa Barat, dan 3 SPBU di Banten. Setelah Premium dihapuskan, saat ini Vivo hanya menjual Revvo 89 (setara RON 89), Revvo 92, dan Revvo 95.
Profil CEO Vitol Energy
Jabatan tertinggi di perusahaan ini berada di tangan Russell Hardy, alumni Magister Teknik Kimia dari Imperial College, London. Melansir laman resmi Vitol, lelaki berkebangsaan Inggris ini dari awal telah memilih perusahaan bahan bakar minyak untuk bekerja, yakni di BP. Ia lalu bergabung di Vitol pada 1993 dan bertanggungjawab dalam bidang perdagangan serta manajemen perusahaan di Singapura dan London.
Kariernya di Vitol terus menanjak hingga pada 2007 Hardy duduk sebagai komite eksekutif serta menjadi CEO kawasan Eropa, Timur Tengah, dan Afrika di tahun yang sama. Dengan pengalaman selama 30 tahun di industri bahan bakar minyak, Hardy pun diangkat menjadi CEO Vitol pada 15 Maret 2018 lalu, menggantikan Ian Roper Taylor.
Di sisi lain, Taylor adalah alumni dari jurusan Filsafat, Politik dan Ekonomi Merton College, Oxford, pada 1978. Ia memulai kariernya di Shell kawasan Amerika Selatan dan Asia Tenggara. Setelah itu, ia bergabung dengan Vitol pada 1985 hingga didapuk menjadi CEO satu dekade kemudian.
Pada kepemimpinannya, dia berhasil mengubah Vitol sebagai perusahaan minyak swasta terbesar di dunia. Menurut catatan Bloomberg, Vitol berhasil meningkatkan nilai ekuitasnya hingga 3.500 % dari US$ 278 juta pada 1996, tumbuh mendekati US$ 10 miliar pada 2015.
Namun pada akhir masa jabatannya, Taylor didiagnosa mengidap kanker sehingga menyerahkan jabatannya pada Russell Hardy. Taylor meninggal di usia 64 tahun, pada Juni 2020 silam.