Christine Hakim menjadi buah bibir masyarakat Indonesia berkat kemunculannya di serial 'The Last of Us'. Pada episode kedua seri HBO ini, Christine berperan sebagai Ratna, ahli mikologi yang meneliti jamur Cordyceps. Ditemukan di Jakarta, jamur ini yang kemudian memicu manusia berubah menjadi zombie hingga ke luar negeri. 

The Last of Us menjadi film Hollywood kedua yang Christine mainkan. Sebelumnya, ia pernah menjadi penjual jamu asal Bali bernama Wayan, yang beradu peran dengan Julia Roberts dalam film 'Eat, Pray, Love'  (2010). 

Artis Senior dengan Piala Citra Terbanyak

Perempuan dengan nama lengkap Herlina Christine Natalia Hakim ini lahir di Kuala Tungkal, Jambi pada 1956. Ia merupakan artis dengan perolehan piala Citra terbanyak. Tercatat Christine sudah memboyong sembilan Piala Citra dari Festival Film Indonesia 1974 hingga 2020. 

Debutnya di kancah perfilman Indonesia dimulai pada usia 16 tahun, tepatnya pada 1972. Kala itu ia bermain di film 'Cinta Pertama' karya sutradara Teguh Karya. Beberapa film lawas lain yang dia mainkan antara lain 'Kawin Lari', 'Si Doel Anak Modern', hingga 'Tjoet Nja’ Dhien'.

Akting Christine pun bisa dilihat dalam film layar lebar terbaru seperti di 'Perempuan Tanah Jahanam', 'Sri Asih', dan 'Seperti Dendam, Rindu Harus Dibayar Tuntas'.

Lebih satu dekade mengabdikan diri sebagai pemain peran, nama Christine sudah malang melintang hingga kiblat industri film dunia, Hollywood.

Selain itu, Christine adalah orang Indonesia pertama yang menjadi juri pada Festival Film Cannes 2002. Ia bersanding dengan David Lynch, Michelle Yeoh, dan Sharon Stone yang juga berperan sebagai juri. 

Awalnya Tidak Tertarik Menjadi Artis

Melansir wawancara Christine di kanal YouTube Dedi Gumelar, awalnya ia tidak tertarik menjadi artis. Sejak SD hingga SMP, ia lebih tertarik pada ilmu eksakta dan tidak tertarik pada seni dan sejarah. Makanya, cita-cita Christine muda adalah menjadi arsitek atau psikolog, jauh dari dunia seni peran.

Namun ternyata Christine sudah terjun ke dunia modeling sejak umur 14 tahun. Di usia belia, ia sudah mendapat pekerjaan di majalah Mode, sebagai model produk fesyen. “Itu pun awalnya karena diajak teman dan iseng-iseng,” kata Christine sembari tertawa. 

Kehidupannya mulai berubah di bangku SMA, tepat ketika ia berusia 16 tahun. Kala itu, sutradara kondang Teguh Karya bertemu dengan Maria, teman Christine yang sama-sama bersekolah di SMA 6 Bulungan. Dalam penuturan Christine, Teguh sedang meminta rekomendasi Maria untuk peran utama remaja di filmnya. 

“Kebetulan Maria itu anak sutradara Wim Umboh. Jadi dia kasih majalah Mode, yang ada foto saya, dan merekomendasikan saya sebagai pemeran utama film 'Cinta Terlarang',” tutur Christine.

Teguh pun berhasil memperoleh alamat rumah Christine dan bertandang ke rumahnya bersama Slamet Rahardjo, lawan main Christine di film Cinta Terlarang. Sayangnya, dua kali kedatangan Teguh, dua kali pula Christine tidak di rumah lantaran sedang berlibur ke Bandung. Merasa tidak enak, ibu Christine pun memintanya untuk datang ke kantor Teguh sepulangnya dari Bandung.

Awalnya Christine menolak, karena ia tidak tertarik menjadi seorang aktris. Ini tercermin dari penolakannya kepada sutradara Asrul Sani untuk film 'Salah Asuhan'. Bahkan ia tidak tahu siapa Teguh dan Slamet. Akhirnya kegigihan dua lelaki ini berhasil meluluhkan hati Christine untuk memainkan peran Ade dalam film 'Cinta Pertama'. 

“Saya ingat, saya itu enggak pernah menolak dan mengiyakan permintaan Pak Teguh. Pendekatan mereka itu bagus, saya cuma disambut, diajak main ke teater, lalu masuk ke proses pengukuran baju untuk film,” kenangnya. 

Kendati awalnya tidak berminat menjadi aktris, film debut Christine pada 1973 justru berhasil memperoleh penghargaan. Christine memboyong Piala Citra, keluar sebagai pemenang pemeran utama wanita terbaik dalam Festival Film Indonesia 1974. 

Prestasi itu tidak serta merta membuat Christine yakin untuk terjun lebih dalam ke seni peran. Ia ingin berhenti akting, tapi Teguh Karya tetap menawarkannya peran di film kedua, 'Atheis'. Di film ketiga, barulah ia bekerja dengan sutradara lain, yakni Alam Surawidjaja dengan film Bandung Lautan Api. 

Setelah bermain di lima film, barulah Christine jatuh cinta ke dunia film. Mengutip pembicaraannya dengan Dedi Gumelar, film identik dengan berbagai ilmu pengetahuan. Banyaknya jenis orang yang terlibat dalam produksi sebuah film juga memancarkan berbagai ilmu, mulai dari teknologi, sosiologi, sejarah, hingga politik. 

“Bila dulu saya menjadi arsitek dan psikolog maka saya akan menguasai satu bidang saja. Dalam film, saya bisa berbagai banyak sekali ilmu pengetahuan. Bodoh sekali jika saya tidak memajukan diri saya di sini,” jelas Christine.

Dengan kesadaran tersebut, Christine terus melanjutkan karirnya di seni peran. Ia dikenal sebagai aktris yang memainkan peran-peran berat dengan isu sosial. Dedi bahkan menyebutnya sebagai artis non-komersial, alias aktris yang selektif dalam memilih peran

“Saya juga masih harus membuktikan apakah penghargaan yang saya terima itu patut saya peroleh. Tantangan saya menerima berbagai macam peran, tetap berada di tangan sutradara yang baik,” katanya. 

Reporter: Amelia Yesidora