Rencana Kementerian Perhubungan untuk menjadikan Stasiun Manggarai sebagai stasiun sentral kian menuai polemik di masyarakat. Ramainya warga yang menggunakan stasiun transit tersebut dinilai tidak sebanding dengan kapasitas serta fasilitas pendukung bangunan.
Mulai dari sempitnya peron, tiang besar yang menghalangi jalan, hingga eskalator yang tidak berfungsi. Semua hal itu kerap menjadi bahan kritikan masyarakat.
Terbaru, tulisan ‘I Love DJKA’ yang terpampang akhirnya dilepas, imbas dari banyaknya protes pengguna Stasiun Manggarai. DJKA adalah singkatan dari Direktorat Jenderal Perkeretaapian.
Manajemen PT KAI Commuter Indonesia atau KCI berjanji akan menambah 31 pengumpan alias feeder untuk mengurai kepadatan penumpang transit di Stasiun Manggarai. Feeder ini akan beroperasi dengan 17 perjalanan pada jam sibuk pagi hingga siang, dengan trayek Manggarai-Angke/Kampung Bandan.
“Pada jam sibuk sore hingga malam, KCI mengoperasikan 14 feeder tambahan untuk trayek Manggarai-Angke/Kampung Bandan serta Manggarai-Bekasi,” ujar Vice President Corporate Secretary PT KCI, Anne Purba, dalam keterangan tertulis, Minggu (13/2).
Sepanjang 2022, KCI mencatat volume pengguna KRL Commuterline memang kian bertambah. Periode tertinggi jatuh pada November-Desember 2022, menyentuh lebih dari 800 ribu penumpang.
Pada hari kerja, pengguna KRL Jabodetabek diprediksi menyentuh 900 ribu orang. Angka ini berkurang menjadi 600 ribu pengguna pada hari libur, seperti dirangkum dalam Databoks berikut:
Di balik ramainya kritik yang mendera Stasiun Manggarai, bangunan ini memiliki sejarah yang cukup panjang. Stasiun ini telah hadir sejak zaman Belanda. Bahkan dari 13 peron yang ada di Stasiun Manggarai, ada dua peron tua yang sudah berusia satu abad.
Peron berusia seabad itu berada di jalur 1 dan 2, biasa digunakan kereta ke Cikarang, Bekasi, dan Jakarta Kota. Peron ini terbuat dari kayu dan dilengkapi saluran air dan bagian atasnya ditutupi genteng bata.
Stasiun Manggarai Dibangun Belanda
Stasiun ini dibangun pada 1914, dipimpin oleh arsitek Belanda bernama J. Van Gendt. Setelah empat tahun pembangunan, pada 1 Mei 1918, Stasiun Manggarai diresmikan.
Laman KAI menuliskan, pembangunan stasiun kala itu masih jauh dari selesai karena tiang peron berbahan baja yang diminta Van Gendt belum terpasang. “Karena Perang Dunia I bergejolak, pasokan baja dari Eropa tidak datang, sehingga digunakan kayu jati sebagai pengganti tiang peron baja,” tulisnya.
Pada tahun-tahun awal pendirian, Stasiun Manggarai berperan penting dalam pengiriman komoditas pertanian dan perkebunan dari Bogor dan Sukabumi, Jawa Barat. Stasiun ini pun menjadi tempat transit angkutan pos.
Kereta kemudian digunakan sebagai angkutan orang pada 1925, bertepatan dengan peringatan 50 tahun Staatsspoorwegen alias SS selaku perusahaan kereta api kala itu. Jalur kereta listrik kala itu adalah jalur Jakarta-Tanjung Priok. SS pun melanjutkan proyek elektrifikasi hingga Stasiun Manggarai dan selesai pada 1 Mei 1927.
Tiga tahun kemudian, jalur dikembangkan dari Tanjung Priok ke Bogor. Pada saat itu pemerintah Hindia Belanda masih membedakan tiket berdasar kelas sosial penumpangnya. Jadi, ras Cina, Eropa, dan lokal dibagi dalam kereta terpisah.
Stasiun Manggarai Dimanfaatkan Jepang
Pendudukan Jepang juga turut mewarnai sejarah stasiun ini. Sejak menduduki Indonesia pada 1942, Bengkel Manggarai digunakan untuk kebutuhan tentara Negeri Sakura. Kala itu, pemimpin bengkel ini adalah seorang perwira bernama Kinoshita didampingi wakilnya, Harada.
Jepang pun membuka sekolah calon tukang atau teknisi bernama Shookooin Yoseiko. Sekolah ini untuk memenuhi kebutuhan pegawai pada pertengahan 1943.
Setiap murid wajib mengikuti pelatihan selama enam bulan dan mengikuti kegiatan barisan pemuda alias Seinendan. Anggota Seinendan Bengkel Manggarai ini berkisar 400 hingga 450 orang, dipimpin oleh Komandan Djatmika.
Pada masa ini, Bengkel Manggarai sempat membuat lokomotif yang dipimpin ahli dari Jepang dan dilakukan oleh pegawai Indonesia. Dalam catatan KAI, mesin yang digunakan berasal dari mesin diesel pabrikan Mercedes.
Lokomotif tersebut sempat digunakan untuk ujicoba dari Manggarai ke Tanah Abang dengan hasil memuaskan. Akhirnya uji coba diperluas dengan trayek Manggarai-Bogor.
Namun, datangnya Sekutu ke Indonesia pada 1943 membuat Jepang memindahkan beberapa bagian Bengkel Manggarai dan mesin-mesinnya ke beberapa daerah. Bagian instrumen dan perkakas dipindah ke bekas pabrik es di Pegangsaan Timur, sebagian bubutan dipindah ke Kalipasir.
Sementara itu, bagian kereta dipindahkan ke bangunan pabrik gula di Arjawinangun, Cirebon. Lalu, sebuah los lengkap dari bagian kereta dipindahkan ke Nagreg, Bandung.
Saksi Bisu Pemindahan Ibu Kota Sementara
Tidak hanya stasiun yang dipindahkan kala kedatangan Sekutu, begitu pula ibu kota negara. Pada akhir 1945, Belanda ingin kembali menjajah Indonesia dengan membonceng tentara Sekutu, NICA. Jakarta yang menjadi pusat pemerintahan menjadi tidak aman karena adanya teror dari pasukan lawan.
Akhirnya, Soekarno dan Mohammad Hatta memutuskan untuk memindahkan ibu kota ke Yogyakarta. Perjalanan ini harus dilakukan secara diam-diam, tanpa diketahui NICA. Karena itu, perjalanan mereka menggunakan ular besi dengan gerbong khusus yang kemudian dikenal dengan Kereta Luar Biasa. Perjalanan ini dimulai dari Stasiun Manggarai.
Kereta tidak langsung mengular ke Yogyakarta, melainkan ke Stasiun Cikini lebih dahulu. Ular besi ini berhenti di dekat rumah Presiden Soekarno, untuk kemudian Hatta dan sejumlah menteri masuk ke gerbong. Dalam kereta ini juga ada dua mobil kepresidenan; Buick 7-seat dan De Soto.
Dalam penjelasan sejarawan Rushdy Hoesein pada media detikcom, kereta ini berjalan dengan lambat menuju Yogyakarta. Setelah melewati Stasiun Jatinegara, kecepatan kereta mulai bertambah. Lampu kereta yang awalnya dimatikan, baru hidup ketika kereta melalui Stasiun Bekasi.
Rombongan kenegaraan sampai di Stasiun Tugu, Yogyakarta, pada 4 Januari 1946. Pagi itu, Sultan Hamengku Buwono IX, Sri Paku Alam VII, dan rakyat Yogyakarta menyambut rombongan tersebut. Rombongan pun bertolak ke istana Sri Paku Alam, Pura Pakualaman.
Kini, Stasiun Manggarai tercatat sebagai bangunan cagar budaya di Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata. Status ini berdasarkan Peraturan Menteri Kebudayaan dan Pariwisata Nomor: PM.13/PW.007/MKP/05, Keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan No. 011/M/1999, dan Surat Keputusan Gubernur DKI Jakarta No. 475 Tahun 1993.
Dengan keputusan tersebut, Stasiun Manggarai tidak boleh dibongkar dan diubah menjadi bangunan berarsitektur lain.