Pasar Senen, Surga Thrifting Berusia Lebih dari 250 Tahun

ANTARA FOTO/Fauzan/foc.
Pedagang menata pakaian impor bekas dagangannya di Pasar Senen, Jakarta, Jumat (17/2).
Penulis: Amelia Yesidora
Editor: Sorta Tobing
23/3/2023, 08.00 WIB

Riuhnya rencana pelarangan jual-beli pakaian impor bekas membuat publik menyoroti nasib Pasar Senen. Pasar yang berdiri di depan Stasiun Pasar Senin, Jakarta Pusat ini adalah salah satu pusat thrifting ibu kota.

Dalam pantauan Katadata.co.id pada Senin (20/3), pasar tersebut tetap ramai meski larangan tersebut sudah digaungkan pemerintah seminggu belakangan. Namun, seorang penjual di sana mengatakan  sudah banyak importir bal pakaian bekas yang tutup di berbagai kota di Indonesia.

Ia dan pedagang lainnya pun sudah mulai kesulitan mencari pakaian untuk dijajakan. Lelaki asal Brebes ini pun menjelaskan bahwa kepala pasar belum memberi instruksi apapun bagi pedagang. “Sudah lama sebenarnya pemerintah larang jual baju bekas disini, tapi dulu presiden tidak pernah turun tangan. Sekarang sudah lampu merah-lah Pasar Senen ini,” kata penjual yang enggan disebut namanya itu. 

Penjualan pakaian impor bekas di Pasar Senen. (ANTARA FOTO/Fauzan/foc.)

Dibangun Belanda, Hanya Buka Senin

Pasar Senen sudah berusia lebih dari 250 tahun, sejak zaman pendudukan Belanda di Indonesia. Jurnal Historia Madania yang berjudul Pasar Senen: Reorganisasi Pasar tahun 1966-1993 menuturkan, kisah Pasar Senen bisa ditarik dari 1648.

Kala itu, pemerintah kolonial Belanda memberi tanah berupa hutan dan padang rumput yang luas kepada Anthony Paviljoen. Lelaki ini menyewakan lahannya bagi orang Cina untuk bercocok tanam. Lalu, tanah ini dijual kepada seorang Dewan Hindia bernama Cornelis Chastelein pada 1697. 

Banyak pasar sudah muncul di Batavia ketika itu. Di bagian timur, pedagang berjualan di perahu di pinggiran sungai. Di barat, dekat Balai Kota, pedagang Cina menguasai pasar. Pada bagian selatan terdapat Pasar Pisang yang menjual berbagai kebutuhan pokok, hingga dikenal dengan nama Pasar Borong.

Tanah tersebut kemudian dijual kepada Justinus Vinck pada 1733 senilai 39.000 ringgit, masih berupa semak belukar dan rawa. Barulah terbersit di benak Vinck untuk mendirikan pasar, hingga mengajukan permohonan tersebut ke pemerintah Belanda. Pengajuannya ini dikabulkan Gubernur Jenderal Abraham Patras dengan penerbitan Lembaran Negara alias Staatsblad.

Dalam Staatsblad ini disebutkan bahwa Vinck boleh menyelenggarakan pasar hanya di hari Senin dan hari Sabtu diperuntukkan bagi pasar yang dibangun di Bukti Tanah Abang dan Kampung Lima. Surat ini terbit pada 30 Agustus 1735, yang menjadi penanda awal berdirinya Pasar Senen dan Pasar Tanah Abang. Namun, warga setempat mengenal pasar ini sesuai dengan nama pendirinya, yakni Pasar Vinck. 

Larangan impor pakaian bekas. (ANTARA FOTO/Andri Saputra/nz)

Bang Ali dan Ciputra Relokasi Pasar Senen

Dengan tingginya urbanisasi Ibu Kota pada 1950 hingga 1960-an, Pasar Senen menjadi kawasan yang kumuh, kotor, dan rawan kejahatan. Kondisi ini lalu menarik minat arsitek sekaligus pengusaha properti, Ciputra. 

Taipan kelahiran Sulawesi Tengah ini ingin mengubah Pasar Senen menjadi pasar modern. Bersamaan dengan itu, pemerintah daerah juga membentuk badan yang mengatur masalah perpasaran di Jakarta, yakni PD Pasar Jaya pada 1966.

Ali Sadikin pun naik menjadi Gubernur DKI Jakarta di tahun tersebut. Pasar di Jakarta, menurut dia, masih kurang dari segi perencanaan wilayah, kondisi bangunan, kebersihan, hingga fasilitas. Visinya untuk memperbaiki pasar ini pun selaras dengan kebijakan ekonomi Kabinet Ampera untuk membuka peluang bagi swasta. 

Gayung bersambut, Bang Ali lalu bekerjasama dengan Ciputra untuk memperbaiki kawasan Pasar Senen dengan Proyek Pasar Senen. Ia juga menciptakan badan Pengembang Pembangunan Lingkungan Senen alias PPLS. 

Langkah pertama proyek ini adalah memindahkan lokasi pasar. Wilayah pasar lama pun dipindah ke depan Stasiun Kereta Api Senen dan di sekitar kawasan Jalan Kramat Bunder. Selain itu, warga yang tinggal di kampung sekitar pasar, yakni kampung Jagal, dipindah ke wilayah Kramat Sentiong. 

Meski awalnya relokasi berlangsung pelik, akhirnya warga mau pindah asal Masjid Jagal tidak diratakan. Bagi mereka yang berdagang pun ditawarkan mengisi kios di Pasar Senen. 

Pasar Senen yang dibangun oleh PT Pembangunan Jaya dan Ciputra selaku pengembang mulai beroperasi setahun kemudian, pada 1967. Di tanah seluas delapan hektar itu, berdiri gedung lima lantai sebagai pembangunan tahap pertama. Dua tahun kemudian, barulah gedung kedua berdiri.

“Senen kini menjelma menjadi sebuah pusat perbelanjaan pertama dan terbaik di ibukota dan Indonesia. Bahkan Senen tercatat paling modern di Asia Tenggara pada saat itu,” kata Annissa Ferissa, penulis jurnal tersebut. 

Reporter: Amelia Yesidora