Pada Rabu (29/3) lalu, Badan Kesehatan Dunia (WHO) menyatakan Azerbaijan dan Tajikistan sebagai negara bebas malaria dengan menerbitkan sertifikat bebas malaria bagi kedua negara tersebut. Sertifikat itu menunjukkan upaya selama hampir satu abad yang dilakukan oleh kedua negara untuk mengeliminasi malaria dari wilayahnya.
Direktur Jenderal WHO Tedros Adhanom Ghebreyesus telah mengatakan pencapaian Azerbaijan dan Tajikistan adalah bukti dari komitmen politik yang kuat, diikuti dengan sumber daya yang memadai. "Saya berharap negara-negara lain dapat belajar dari pengalaman mereka," kata dia, Rabu (29/3).
Sertifikasi bebas malaria adalah pengakuan resmi WHO yang diberikan kepada satu negara yang menunjukkan keberhasilan dalam memutus rantai penularan malaria selama tiga tahun berturut-turut. Negara itu juga harus menunjukkan keberhasilan mencegah penularan kembali.
Direktur Regional Eropa WHO Hans Henri P. Kluge mengatakan pencapaian kedua negara dimungkinkan karena adanya langkah pencegahan terarah, program deteksi dini yang kuat, adanya investasi berkelanjutan, dan pengobatan yang efektif. "Regional Eropa WHO sekarang bergerak dua langkah lebih dekat menuju wilayah pertama di dunia yang sepenuhnya bebas malaria," kata dia.
Dengan masuknya Azerbaijan dan Tajikistan, total sudah ada 41 negara yang disertifikasi bebas malaria oleh WHO. Termasuk di antaranya 21 negara di Regional Eropa WHO.
Universal Health Coverage di Balik Kesuksesan Azerbaijan dan Tajikistan
Kasus malaria terakhir yang dideteksi di Azerbaijan berasal dari Plasmodium vivax (P.vivax) yang ditularkan secara lokal pada tahun 2012 dan Tajikistan pada tahun 2014. Kedua negara itu memaksimalkan sistem surveilans elektronik nasional untuk menyediakan deteksi kasus malaria secara real-time dan memungkinkan penyelidikan cepat dilakukan untuk menentukan apakah infeksi itu berasal dari penularan lokal atau impor.
Intervensi itu kemudian dilanjutkan dengan intervensi tambahan seperti program pengendalian jentik yang menggunakan metode biologis dengan menggunakan ikan pemakan jentik nyamuk, dan tindakan pengelolaan air untuk mengurangi vektor malaria. Selama lebih dari 6 dekade, kedua pemerintah telah menjamin perawatan dan intervensi malaria dengan Universal Primary Health Care.
Dalam jaminan kesehatan universal yang diusung oleh kedua negara, tindakan pencegahan menjadi bagian dari sistem yang dijalankan di bawah payung ini. Tindakan pencegahan itu antara lain menyemprot dinding bagian dalam rumah dengan insektisida, mempromosikan deteksi dini malaria, dan meningkatkan kapasitas semua petugas kesehatan yang terlibat dalam pemberantasan malaria.
Upaya mengeliminasi malaria dalam payung Universal Health Coverage (UHC) ini, menurut Kluge, terbukti efektif. Sejak 1920-an, Tajikistan dan Azerbaijan memiliki ketergantungan terhadap pertanian yang mendukung ekspor beras dan katun. Sistem irigasi yang dibangun untuk mendukung kegiatan pertanian tersebut meningkatkan risiko pekerjanya tertular malaria.
Pemerintah kedua negara lalu membuat sistem yang lebih khusus untuk mendeteksi dini penularan di antara pekerja kebun/ladang. Mereka menyediakan penanganan menyeluruh secara gratis yang dipusatkan pada UHC.
Sistem pendeteksian dini itu melibatkan staf medis khusus untuk mengontrol kasus malaria. Mereka memiliki kapasitas untuk melakukan tes skrining, mendiagnosis, dan mengobati pekerja yang terinfeksi malaria. Mereka juga memonitor secara berkala aspek yang dapat menyuburkan malaria seperti aspek lingkungan, entomologi, dan epidemiologi.
Target Indonesia Bebas Malaria 2030
Sementara Azerbaijan dan Tajikistan telah mencapai status bebas malaria, Indonesia masih berperang melawan kejadian luar biasa di beberapa daerah hingga 2023 ini. Padahal, Kementerian Kesehatan telah menetapkan target Indonesia bebas malaria pada 2030 mendatang.
Menurut catatan Kemenkes, malaria masih menjadi momok terutama di wilayah timur Indonesia. Hingga 2021, Indonesia masih mencatatkan 304.607 kasus malaria. Jumlah ini belum mengalami penurunan signifikan dibandingkan pada 2009 yang mencatatkan sebanyak 418.439 kasus.
Berdasarkan jumlah tersebut, angka prevalensi kesakitan malaria Indonesia, yang dinyatakan dengan indikator Annual Paracite Incidence (API), sebesar 1,1 kasus per 1000 penduduk. Untuk mencapai Indonesia Bebas Malaria 2030, pemerintah harus menurunkan angka prevalensi tersebut dengan meningkatkan jumlah kabupaten atau kota yang telah mencapai status bebas malaria.
Sampai 2021, sebanyak 347 dari 514 kabupaten/kota sudah dinyatakan mencapai eliminasi. Agar memudahkan mencapai target eliminasi, Kemenkes membagi wilayah Indonesia menjadi lima untuk dibuat regionalisasi.
Regional pertama terdiri dari provinsi di Jawa dan Bali; regional kedua terdiri dari provinsi di Sumatera, Sulawesi dan Nusa Tenggara Barat; regional ketiga terdiri dari provinsi di Kalimantan dan Maluku Utara, regional keempat terdiri dari provinsi Maluku dan Nusa Tenggara Timur; dan regional kelima terdiri dari Provinsi Papua dan Papua Barat.
Selain itu, Kemenkes meminta peran aktif pengusaha di sektor pertambangan, perkebunan, tambak, dan sektor lainnya yang rentan terhadap penularan malaria. Genangan air di tambak, rawa, danau, kolam, dan area perkebunan diyakini merupakan tempat perkembangbiakan nyamuk malaria yang dapat memicu penularan ke manusia.
Indonesia juga akan memaksimalkan pendanaan dari Global Fund untuk mengatasi penularan malaria dan mencegah timbulnya kasus baru. Dengan pendanaan ini, upaya target pengendalian malaria akan dioptimalkan hingga 2024 dengan target pengobatan 90%.