Haji Masagung, Sosok di Balik Toko Buku Gunung Agung yang Gulung Tikar

www.tokogunungagung.com
Pendiri Toko Buku Gunung Agung Tjio Wie Tay alias Masagung.
Penulis: Amelia Yesidora
Editor: Sorta Tobing
22/5/2023, 15.49 WIB

Toko Buku Gunung Agung terus terpuruk. Setelah sebelumnya dikabarkan melakukan pemutusan hubungan kerja atau PHK besar-besaran, kini perusahaan akan tutup buku. 

Bukan pemain baru, toko ini sudah berdiri sejak era kemerdekaan. Pada awalnya toko ini bernama Tay San Kongsie yang fokus menjual rokok dan bir di Kramat Bunder, Jakarta Pusat.

Namun, pada 1953 kongsi itu pecah dan berdirilah Firma Gunung Agung yang menjual buku, majalah, hingga alat tulis di Jalan Kwitang nomor 13. Terkenal dengan bazar buku tahunannya, berbagai tokoh nasional kerap mendatangi toko ini.

Nama Gunung Agung kian tersohor karena menerbitkan otobiografi Sukarno yang berjudul Bung Karno Penyambung Lidah Rakyat. Buku ini awalnya ditulis Cindy Adams dalam Bahasa Inggris di New York pada 1965.

Pendiri perusahaan, yaitu Masagung, memohon agar buku ini diterjemahkan dan diterbitkan di Tanah Air. Akhirnya Bung Karno sendiri yang memilih judul buku itu hingga terbit pada 1966.

Di balik naik turunnya bisnis Gunung Agung, toko ini tidak akan berdiri tanpa sosok Tjio Wie Tay. Siapakah dia dan apa perannya dalam pengembangan toko buku legendaris ini?

Sempat Hidup Mapan hingga Harus Jual Rokok 

Tjio Wie Tay lahir di Batavia pada 8 September 1927, sebagai anak keempat dari lima bersaudara. Ibunya bernama Poppy Nio dan ayahnya Tjio Koan An, seorang teknisi listrik di perusahaan gas Belanda. Mereka sempat hidup mapan dengan pemasukan dari sang ayah yang tamat dari Nederlandsch Gelijkgesteld end KWS.

Namun, ayahnya meninggal saat Wie Tay berusia empat tahun atau pada 1931. Kehidupan keluarga Tjio lalu berubah drastis. Sang ibu akhirnya turun tangan untuk menghidupi anaknya hingga menyekolahkannya di sekolah Belanda. 

Dari catatan Gatra edisi 26 Oktober 2006, Wie Tay kecil kurang perhatian ibunya sehingga tumbuh jadi anak nakal. Ia sering bolos sekolah sampai dua kali dikeluarkan karena berkelahi. Bahkan ia hanya mencicip bangku sekolah hingga kelas V. 

Meski kerap bermasalah di sekolah, ia adalah pribadi yang berani dan senang bergaul dengan siapapun. Pernah sekali ia memperoleh sepeda dari tentara Jepang yang kemudian digunakannya untuk menjajal berbagai profesi. Mulai dari menjaja buah keliling, rokok asongan, hingga penjual buku. 

Dari buku Bapak Saya Pejuang Buku, diketahui usaha awal Wie Tay adalah penjaja rokok asongan di kawasan Glodok dan Senen. Uniknya, modal usaha ini berasal dari buku pelajaran kakaknya yang ia jual ke tukang loak.

Usaha rokok inilah yang mengenalkan Wie Tay pada lie Thay San dan The Kia Hoat, dua orang yang kelak membantunya mendirikan Gunung Agung. 

Toko Buku Gunung Agung (Twitter @TokoGunungAgung )

Mulai Berjualan Rokok dan Bir

Tiga orang ini kemudian mendirikan sebuah toko kecil bernama Tay San Kongsie di Kramat Bunder, Jakarta Pusat pada 1948. Tay San Kongsie menawarkan rokok sebagai dagangan utama, dilengkapi minuman bir sebagai daya tarik. 

“Bahkan Tay San Kongsie menjadi agen bir cap Burung Kenari yang sedang populer ketika itu,” kata Ketut Masagung, anak bungsu Masagung dilansir dari Tirto. 

Usai kemerdekaan, animo masyarakat akan buku melonjak. Tjio Wie Tay, yang mengubah namanya menjadi Masagung pada 1963, mencoba menjual buku impor dan majalah dan sukses.

Keuntungan penjualan bukunya melampaui penjualan rokok dan bir. Akhirnya Tay San Kongsie fokus pada bisnis buku dan alat tulis impor. 

Pada 1951, Wie Tay menikahi Hian Nio. bisnisnya juga mendapat peluang baru. Ia membeli rumah hasil sita kejaksaan yang terletak di Jalan Kwitang nomor 13. Melalui proses lelang, ia berhasil mendapat rumah tersebut seharga Rp 110–harga yang tergolong murah kala itu.

Rumah itu lalu dipermak dan ruangannya dibagi sesuai kebutuhan. Mulai dari gudang, kantor, hingga percetakan kecil di bagian belakang. 

Lahirnya Toko Buku Gunung Agung Hingga Dikenal Bung Karno

Kendati bisnis moncer, kongsi ini pecah lima tahun setelah pendirian. Pemicunya adalah keinginan Masagung untuk membangun toko lebih besar dengan bentuk firma. Sayangnya, Lie Thay San tidak sepakat dengan ide ini sehingga memisahkan diri dari kongsi.

Sekeluarnya Lie dari kongsi ini, toko berubah nama menjadi Firma Gunung Agung pada 1953. Nama baru itu diambil dari terjemahan nama Tjio Wie Tay: Gunung Besar. 

Merayakan lahirnya Toko Buku Gunung Agung, Tjio Wie Tay mengadakan sebuah gebrakan besar, yakni pameran buku pada 8 September 1953. Gatra mencatat ada sekitar 10 ribu buku yang dipajang dengan modal sekitar Rp 500 ribu, jumlah yang sangat besar kala itu. 

“Momen inilah yang dicanangkannya sebagai hari lahir Gunung Agung. Kiprah Masagung dengan Gunung Agungnya kala itu menarik perhatian berbagai kalangan,” tulis majalah tersebut.

Pameran itu sukses berkat berbagai penulis, wartawan, dan pengusaha yang digandeng Masagung. Sebut saja nama HB Jassin, Usman Effendi sebagai beberapa kalangan penulis yang ia undang. Ada juga Adam Malik, Adinegoro, dan Sumanang dari kelompok wartawan, hingga pemilik Sintesa Group Oey Kim Tjiang. 

Setelah Tjio berganti nama menjadi Masagung, nama tokonya tersiar hingga ke telinga Bung Karno dan Bung Hatta. Otobiografi Sukarno, Bung Karno Penyambung Lidah Rakyat bahkan diterbitkan dari perusahan ini. 

Bukan hanya biografi Bung Karno, biografi tokoh nasional lainnya pun diterbitkan Gunung Agung. Mulai dari Bung Hatta, Sri Sultan Hamengku Buwono IX, Adam Malik, hingga Sjafrudin Prawiranegara.

Kepemimpinan Baru yang Tak Secemerlang Dulu

Gunung Agung kian jaya. Cabangnya dibuka sampai ke Tokyo, Jepang pada 1965 dan pameran buku dilaksanakan hingga Malaysia dan Singapura. Diversifikasi bisnis pun dilakukan pada era 1970-an dengan membuka ritel, jasa pariwisata, dan perhotelan..

Di usianya yang sudah lewat setengah abad, Masagung mulai mundur dari bisnis ini. Baton kepemimpinan pun perlahan diserahkan pada putra-putranya: Putra Masagung, Oka Masagung, dan Ketut Masagung.

Barulah pada 1989, pengelolaan toko ini diserahkan pada tangan profesional. Pada 1992, mereka membuat manuver baru yakni melantai di Bursa Efek Jakarta dengan kode TKGA. Namun empat tahun kemudian, Masagung memutuskan untuk menjual dan menyerahkan saham perusahaan ini pada tiga putranya. 

Sayangnya pada 16 November 2017, saham TKGA resmi didepak BEI karena mengalami peristiwa yang berpengaruh negatif terhadap kelangsungan usaha. 

Reporter: Amelia Yesidora