Suku Baduy, Lebak, Banten meminta agar sinyal internet di wilayah mereka dihapus agar tak mengganggu kemurnian budaya Baduy. Urang Kanekes–istilah yang mereka sematkan sebagai identitas–menggantungkan hidup pada alam dan mengisolasi diri dari peradaban.
“Arahan dari Lembaga Adat Baduy ada dua pemancar, satu di Cijahe dan kedua di Sobang, sinyalnya diarahkan ke luar Baduy,” kata Kepala Desa Kanekes, Saija.
Surat penghapusan sinyal internet itu mereka teruskan kepada Bupati Lebak. Tujuan permohonan ini untuk menjaga agar Tanah Ulayat Baduy menjadi wilayah yang bersih dari sinyal internet (blankspot area internet).
Terlebih supaya generasi muda Kanekes tidak terpengaruh ragam program berbasis internet yang dianggap berdampak buruk bagi adat istiadat Baduy.
Pakaian yang Membedakan Suku Baduy
Suku Baduy adalah salah satu suku yang mendiami wilayah Banten dengan populasi 5.000 hingga 8.000 orang. Mereka hidup berdampingan dengan alam, mengisolasi diri, dan tidak menggunakan transportasi modern.
Suku Baduy terbagi menjadi dua kelompok, tergantung pada area tempat tinggal mereka: Suku Baduy Dalam dan Suku Baduy Luar. Secara kasat mata mereka dibedakan dengan mudah melalui jenis pakaian yang digunakan.
Baduy Dalam (Kanekes Dalam), alias Kelompok Tangtu merupakan kelompok yang paling ketat dengan adat. Mereka termasuk dari warga di tiga kampung: Cibeo, Cikertawana, dan Cikeusik.
Orang Kanekes Dalam selalu memakai pakaian berwarna putih dilengkapi aksesori ikat kepala putih. Kain yang digunakan harus ditenun dan dijahit sendiri, tak boleh hasil penjahitan modern.
Peraturan adat di Kelompok Tangtu sangat ketat. Mereka dilarang menggunakan kendaraan sehingga selalu berjalan tanpa alas kaki, tak boleh mengoperasikan alat elektronik, dan harus membangun rumah ke arah utara/selatan (kecuali rumah sang Pu’un atau ketua adat).
Sementara Baduy Dalam (Kanekes Luar), atau Kelompok Panamping tinggal di berbagai kampung yang mengelilingi wilayah Kanekes Dalam, seperti Cikadu, Kaduketuk, Kadukolot, Gajeboh, Cisagu, dan lainnya.
Masyarakat Kanekes Luar punya ciri khas dalam berpakaian serba hitam atau biru tua, begitupun dengan ikat kepala mereka. Warna gelap ini melambangkan bahwa mereka tak lagi “suci”, sudah terkontaminasi oleh perkembangan luar.
Kadang masyarakat Baduy Luar juga menggunakan pakaian modern seperti kaos oblong dan celana jeans.
Berbeda dengan Kanekes Dalam, masyarakat Kanekes Luar sudah mengenal teknologi, bahkan mengoperasikan ponsel pintar. Ketika membangun rumah, Baduy Luar sudah menggunakan alat-alat bantu, seperti gergaji, palu, paku, dll, yang dilarang oleh adat Kanekes Dalam.
Mereka menggunakan peralatan rumah tangga modern, seperti kasur, bantal, piring dan gelas dari kaca atau plastik. Sebagian dari mereka telah berpindah keyakinan dari sunda wiwitan menjadi seorang muslim.
Warga Kanekes Luar merupakan orang-orang yang telah keluar dari adat dan wilayah Kanekes Dalam. Hal itu terjadi karena mereka melanggar adat masyarakat Kanekes Dalam, atau dengan sendirinya berkeinginan keluar dari Kanekes Dalam, atau menikah dengan anggota Kanekes Luar.
Sejarah Hidup Suku Baduy
Istilah “Baduy” merupakan sebutan yang diberikan oleh penduduk luar untuk Urang Kanekes. Asal muasalnya belum jelas hingga saat ini, tapi ada beberapa dugaan sejarah. Pertama berawal dari sebutan para peneliti Belanda yang menyamakan mereka dengan kelompok Arab Badawi yang hidup secara berpindah-pindah (nomaden).
Kemungkinan lain karena ada Sungai Baduy dan Gunung Baduy di bagian utara wilayah tersebut. Sementara itu para ahli sejarah mengaitkan masyarakat Kanekes dengan Kerajaan Sunda sebelum keruntuhan pada abad ke-16.
Berpusat di Pakuan Pajajaran (sekarang sekitar Bogor) sebelum berdirinya Kesultanan Banten, wilayah ujung barat pulau Jawa ini merupakan bagian penting dari Kerajaan Sunda.
Berdasar bukti sejarah berupa prasasti catatan perjalanan pelaut Portugis dan Tiongkok, serta cerita rakyat mengenai “Tatar Sunda”. Banten merupakan pelabuhan dagang yang cukup besar, Sungai Ciujung dapat dilayari berbagai jenis perahu dan ramai mengangkut hasil bumi dari pedalaman.
Penguasa wilayah yang disebut Pangeran Pucuk menganggap bahwa kelestarian sungai harus dijaga, sehingga diperintahkan pasukan tentara kerajaan menjaga dan mengelola kawasan berhutan lebat dan berbukit di wilayah Gunung Kendeng.
Keberadaan pasukan tersebut lalu menjadi cikal bakal Masyarakat Baduy yang sampai sekarang mendiami wilayah hulu Sungai Ciujung di Gunung Kendeng. Meski teori terakhir ditolak oleh masyarakat Baduy sendiri, mereka tak mau dikaitkan sebagai keturunan orang-orang pelarian dari Pejajaran, ibu kota Kerajaan Sunda.
Menurut Danasasmita dan Djatisunda dalam “Kehidupan Masyarakat Kanekes” (1986), orang Baduy merupakan penduduk setempat yang dijadikan “kawasan suci” secara resmi oleh raja. Penduduknya berkewajiban memelihara kebuyutan “tempat pemujaan leluhur atau nenek moyang”, bukan agama Hindu atau Budha. Kebuyutan di daerah ini dikenal dengan kabuyutan Jati Sunda atau “Sunda Asli” atau Sunda Wiwitan.