World Intellectual Property Organization (WIPO) telah menetapkan 26 April sebagai Hari Kekayaan Intelektual Sedunia. Tujuan penetapan ini adalah untuk meningkatkan kesadaran tentang bagaimana paten, hak cipta, merek dagang dan desain pada kehidupan sehari-hari.
Selain itu, Hari Kekayaan Intelektual Sedunia juga ditetapkan untuk untuk merayakan kreativitas, dan kontribusi yang dibuat oleh pencipta dan inovator, untuk pengembangan masyarakat di seluruh dunia.
Di Indonesia, kekayaan intelektual merupakan topik yang mendapat perhatian serius dari masa ke masa. Bahkan sejak era pemerintahan pemerintah kolonial Hindia Belanda.
Berikut ini ulasan singkat mengenai perlindungan kekayaan intelektual di Indonesia, sejak era kolonial hingga saat ini, mengutip penjelasan Direktorat Jenderal Kekayaan Intelektual Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia.
Era Kolonial Belanda dan Pendudukan Jepang
Secara historis, peraturan perundang-undangan di bidang hak kekayaan intelektual di Indonesia telah ada sejak 1840-an. Pemerintah Kolonial Belanda pertama kali memperkenalkan Undang-undang (UU) pertama mengenai perlindungan hak kekayaan intelektual pada 1844.
Selanjutnya, pemerintah kolonial Belanda mengesahkan dua aturan mengenai merek dan hak cipta, yakni UU Merek pada 1885, UU Paten pada 1910, dan UU Hak Cipta pada 1912.
Indonesia yang pada waktu itu masih bernama Netherlands East-Indies, telah menjadi anggota Paris Convention for the Protection of Industrial Property sejak 1888 dan anggota Berne Convention for the Protection of Literary and Aristic Works sejak 1914.
Aturan-aturan yang dibuat oleh pemerintah kolonial Belanda ini masih digunakan selama masa pendudukan Jepang, yaitu sejak 1942 sampai dengan 1945.
Era Awal Kemerdekaan hingga Orde Lama
Pada 17 Agustus 1945 bangsa Indonesia memproklamirkan kemerdekaannya. Sebagaimana ditetapkan dalam ketentuan peralihan UUD 1945, seluruh hukum dan aturan yang terdapat di dalam UU peninggalan kolonial Belanda tetap berlaku selama tidak bertentangan dengan UUD 1945.
Pada awal kemerdekaan, UU Hak Cipta dan UU peningggalan Belanda dinyatakan tetap berlaku, namun tidak demikian halnya dengan UU Paten yang dianggap bertentangan dengan pemerintah Indonesia.
Pasalnya, dalam UU Paten peninggalan Belanda, permohonan paten dapat diajukan di kantor paten yang berada di Batavia, yang kemudian berubah nama menjadi Jakarta, namun pemeriksaan atas permohonan paten tersebut harus dilakukan di Octrooiraad yang berada di Belanda.
Baru pada 1953 Menteri Kehakiman Djody Gondokusumo mengeluarkan dua pengumuman, yang merupakan perangkat peraturan nasional pertama yang mengatur tentang paten.
Dua pengumuman yang dimaksud adalah, Pengumuman Menteri Kehakiman Nomor J.S. 5/41/4, yang mengatur tentang pengajuan semetara permintaan paten dalam negeri. Kedua, Pengumuman Menteri Kehakiman Nomor J.G. 1/2/17, yang mengatur tentang pengajuan sementara permintaan paten luar negeri.
Kemudian, pada 11 Oktober 1961 pemerintah mengundangkan UU Nomor 21 tahun 1961 tentang Merek Perusahaan dan Merek Perniagaan atau UU Merek 1961, untuk menggantikan UU Merek peninggalan pemerintah kolonial Belanda.
UU Merek 1961 merupakan peraturan perundang-undangan Indonesia pertama di bidang hak kekayaan intelektual. UU ini mulai berlaku pada 11 November 1961. Penetapan UU Merek 1961 ini dimaksudkan untuk melindungi masyarakat dari barang-barang tiruan/bajakan.
Saat ini, 11 November yang merupakan tanggal berlakunya UU Merek 1961 telah ditetapkan sebagai Hari Kekayaan Intelektual Nasional.
Era Orde Baru
Pada 10 Mei 1979, Indonesia meratifikasi Konvensi Paris (Paris Convention for the Protection of Industrial Property), yang merupakan revisi atas Konvensi Stockholm yang dilakukan pada 1967 melalui Keputusan Presiden No. 24 Tahun 1979.
Namun, partisipasi Indonesia dalam Konvensi Paris saat itu belum penuh, karena Indonesia membuat pengecualian terhadap sejumlah ketentuan dalam Konvensi Paris.
Pada 12 April 1982, pemerintah mengesahkan UU Nomor 6 tahun 1982 tentang Hak Cipta (UU Hak Cipta 1982) untuk menggantikan UU Hak Cipta peninggalan Belanda. Pengesahan UU Hak Cipta 1982 ini, dimaksudkan untuk mendorong dan melindungi penciptaan, penyebarluasan hasil kebudayaan di bidang karya ilmu, seni dan sastra serta mempercepat pertumbuhan kecerdasan kehidupan bangsa.
Tahun 1986 dapat disebut sebagai awal era modern sistem hak kekayaan intelektual Indonesia Sebab, pada 23 Juli 1986 Presiden Soeharto membentuk tim khusus bidang hak kekayaan intelektual melalui Keputusan Presiden Nomor 34/1986, yang dikenal sebagai Tim Keppres 34.
Tugas utama tim ini adalah, menyusun kebijakan nasional, perancangan peraturan perundang-undangan dan sosialisasi sistem hak kekayaan intelektual di kalangan instansi pemerintah terkait, aparat penegak hukum dan masyarakat luas.
Tim Keppres 34 membuat sejumlah terobosan, antara lain mengambil inisiatif baru dalam menangani perdebatan nasional tentang perlunya sistem paten. Setelah Tim Keppres 34 merevisi kembali RUU Paten, yang telah diselesaikan pada tahun 1982, akhirnya pada tahun 1989 pemerintah mengesahkan UU Paten.
Pada 19 September 1987 Pemerintah mengesahkan UU Nomor 7 tahun 1987 sebagai perubahan atas UU Nomor 12 tahun 1982 tentang Hak Cipta. Dalam penjelasan UU 7/1987 secara jelas dinyatakan bahwa perubahan atas UU 12/1982 dilakukan, karena semakin meningkatnya pelanggaran hak cipta yang dapat membahayakan kehidupan sosial dan menghancurkan kreativitas masyarakat.
Menyusul pengesahan UU 7/1987, pemerintah menandatangani sejumlah kesepakatan bilateral di bidang hak cipta sebagai pelaksanaan dari UU tersebut.
Kemudian, pada 1988 berdasarkan Keppres Nomor 32 dibentuk Direktorat Jendral Hak Cipta, Paten dan Merek (DJ HCPM). Pembentukannya dimaksudkan untuk mengambil alih fungsi dan tugas Direktorat Paten dan Hak Cipta, yang merupakan salah satu unit eselon II di lingkungan Direktorat Jendral Hukum dan Perundang-undangan, Departemen Kehakiman.
Pada 13 Oktober 1989 Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) menyetujui RUU tentang Paten, yang selanjutnya disahkan menjadi UU Nomor 6 tahun 1989 (UU Paten 1989) pada 1 November 1989. UU Paten 1989 ini mulai berlaku tanggal 1 Agustus 1991, sekaligus mengakhiri perdebatan panjang tentang pentingnya sistem paten dan manfaatnya bagi bangsa Indonesia.
Sebagaimana dinyatakan dalam pertimbangan UU Paten 1989, perangkat hukum di bidang paten diperlukan untuk memberikan perlindungan hukum dan mewujudkan suatu iklim yang lebih baik bagi kegiatan penemuan teknologi.
Hal ini disebabkan karena dalam pembangunan nasional secara umum dan khususnya di sektor indusri, teknologi memiliki peranan sangat penting. Pengesahan UU Paten 1989 juga dimaksudkan untuk menarik investasi asing dan mempermudah masuknya teknologi ke dalam negeri.
Lalu, pada 28 Agustus 1992 pemerintah mengesahkan UU Nomor 19 tahun 1992 tentang Merek (UU Merek 1992), yang mulai berlaku 1 April 1993. UU ini menggantikan UU Merek 1961. Pada 15 April 1994 pemerintah menandatangani Final Act Embodying the Result of the Uruguay Round of Multilateral Trade Negotiations, yang mencakup perjanjian Trade Related Aspects of Intellectual Property Rights (TRIPS).
Tiga tahun kemudian, pada 1997 pemerintah merevisi perangkat peraturan perundang-undangan di bidang kekayaan intelektual, yaitu UU Hak Cipta 1987 jo. UU No. 6 tahun 1982, UU Paten 1989, dan UU Merek 1992.
Era Reformasi Hingga Saat Ini
Memasuki era reformasi, hak kekayaan intelektual tetap mendapat perhatian yang besar. Ini terlihat dari disahkannya tiga UU baru di bidang kekayaan intelektual di penghujung 2000. Ketiga UU tersebut adalah UU Nomor 30 tahun 2000 tentang Rahasia Dagang, UU Nomor 31 tahun 2000 tentang Desain Industri, dan UU Nomor 32 Tahun 2000 tentang Desain Tata Letak Sirkuit Terpadu.
Kemudian, untuk menyelaraskan semua peraturan perundang-undangan di bidang kekayaan intelektual dengan Persetujuan TRIPS, pada 2001 Pemerintah mengesahkan UU Nomor 14 tahun 2001 tentang Paten, dan UU No. 15 tahun 2001 tentang Merek.
Kedua UU ini menggantikan UU yang lama di bidang terkait. Pengesahan dua UU ini diikuti oleh UU No. 19 Tahun 2002, yang disahkan pada pertengahan 2002 tentang Hak Cipta, yang menggantikan UU yang lama.
Sejak itu, hak kekayaan intelektual terus mendapat perhatian serius, dengan dikeluarkannya beberapa UU dan Peraturan Pemerintah (PP). Di bidang Paten, pemerintah mengeluarkan PP Nomor 27 Tahun 2004 Tentang Tata Cara Pelaksanaan Paten. Ini kemudian diikuti keluarnya Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Permenkumham) Nomor 38 Tahun 2018 Tentang Permohonan Paten.
Lalu, di bidang merek, pemerintah mengesahkan UU Nomor 20 tahun 2016 Tentang Merek, yang diikuti Permenkumham Nomor 67 tahun 2016 Tentang Pendaftaran Merek. Sementara, di bidang desain industri selain UU 31/2000, pemerintah mengeluarkan PP Nomor 1 tahun 2005 Tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2000 Tentang Desain Industri.
Saat ini, hak kekayaan intelektual semakin dilindungi dengan dibentuknya Satuan Tugas Operasi Kekayaan Intelektual. Satgas ini beranggotakan DJKI Kementerian Hukum dan HAM, Bareskrim Polri, Direktorat Jenderal Bea dan Cukai Kementerian Keuangan, dan Direktorat Jenderal Aplikasi Informasi Kementerian Komunikasi dan Informatika.
Satgas ini juga beranggotakan Badan Pengawasan Obat dan Makanan (BPOM), Kementerian Perdagangan, Kementerian Luar Negeri, Kementerian Kesehatan, serta Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi.
Pemerintah juga menetapkan 2022 sebagai Tahun Hak Cipta, serta merilis aplikasi Persetujuan Otomatis Pelayanan Hak Cipta (POP-HC) dan menyusun Peta Potensi Ekonomi Kekayaan Intelektual Komunal. Tak hanya itu, pemerintah juga membentuk Klinik Kekayaan Intelektual Bergerak, melakukan Sertifikasi Pusat Perbelanjaan Berbasis Kekayaan Intelektual.
Untuk mendorong upaya penelitian dan pengembangan, pemerintah juga memberikan fasilitas perpajakan berupa pengurang penghasilan bruto untuk Pajak Penghasilan (PPh) Badan. Fasilitas perpajakan ini tertuang dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 153/PMK.010/2020.