Membandingkan Swasembada Beras Era Jokowi dengan Soeharto

Ajeng Dinar Ulfiana | KATADATA
Petani dikawasan Marunda, Cilincing, Jakarta mulai sibuk memanen padi yang sudah mulai menguning (5/7). Rata-rata harga beras kualitas medium di penggilingan sebesar Rp 9.166 per kg atau naik sebesar 0,26 persen. Sedangkan rerata hara beras kualitas rendah di penggilingan sebesar Rp 9.012 per kg, angka tersebut mengalami kenaikan sebesar 0,65 persen.
16/8/2022, 19.52 WIB

Indonesia mendapat pengakuan sebagai negara yang berhasil melakukan swasembada beras dari lembaga internasional. Hal itu ditandai dengan diterimanya penghargaan dari Institut Penelitian Padi Internasional (IRRI) yang diberikan Direktur Jenderal IRRI, Jean Balie kepada Presiden Jokowi, Minggu (14/8).

Menurut Balie, keberhasilan Indonesia sekaligus langkah besar untuk menciptakan ketahanan pangan nasional, terutama di tengah kondisi geopolitik global. Indonesia mendapatkan penghargaan karena mencapai swasembada dan mampu memenuhi kebutuhan pangan pokok domestik.

IRRI merupakan lembaga penelitian internasional yang fokus pada komoditas padi. Lembaga ini dikenal karena keberhasilannya dalam mengembangkan varietas padi yang berkontribusi terhadap revolusi hijau, sehingga bisa mencegah kelaparan di Asia pada 1960-an.

Tak hanya IRRI, lembaga internasional di bawah naungan Perserikatan Bangsa-Bangsa, yakni Organisasi Pangan dan Pertanian (FAO) turut mengakui keberhasilan Indonesia terkait swasembada beras. Mengutip laman Kominfo, Representasi FAO untuk Indonesia dan Timor Leste, Rajendra Aryal menilai bahwa penghargaan tersebut merupakan pencapaian besar bagi Indonesia, terutama terkait swasembada beras. 

"Ini adalah pencapaian besar yang telah dicapai Indonesia karena kita telah melihat hampir tidak ada impor beras kecuali untuk varietas premium. Impor jagung juga stabil dan merupakan tonggak utama menuju sistem pangan pertanian yang tangguh di negara ini,” ujar Rajendra Aryal. 

Adapun, produksi beras nasional pada 2019 secara konsisten berada di level 31,3 juta ton, dengan begitu Badan Pusat Statistik menghitung jumlah stok beras Indonesia per April 2022 berada di level 10,2 juta ton. Presiden Republik Indonesia Joko Widodo (Jokowi) juga memastikan bahwa pemerintah sudah menghentikan impor beras konsumsi sejak 2019. Salah satu pendorong penghentian impor beras adalah pembangunan bendungan dan irigasi di dalam negeri.

Pada 2014-2024, pemerintah menargetkan hadirnya 61 bendungan baru di penjuru negeri. Berdasarkan data Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR), total bendungan yang telah selesai pada 2014-2021 mencapai 29 bendungan. Sementara itu, sebanyak 32 bendungan saat ini sedang dalam tahap konstruksi.

Pembangunan bendungan dan irigasi tersebut bertujuan untuk meningkatkan produktivitas sektor pertanian lebih lanjut. Harapannya, pengoperasian 61 bendungan dan 51 daerah irigasi mampu meningkatkan intensitas tanam dari dari posisi 2014 sebanyak 137 % menjadi 254 %. Artinya, total panen dapat naik dari sekali setahun menjadi tiga kali setahun. 

Data Impor Beras BPS

Terkait penghargaan swasembada beras, nyatanya laman resmi Badan Pusat Statistik masih mencatatkan adanya aktivitas impor beras yang dilakukan Indonesia hingga 2021 sebanyak 407,7 ribu ton. Impor beras terbanyak hingga tahun lalu tercatat berasal dari India dengan berat bersih melebihi 215,4 ribu ton, senilai US$ 86,27 juta atau setara Rp 1,3 triliun.

Angka impor beras Indonesia tahun lalu tumbuh 14,4 % dibanding periode yang sama tahun sebelumnya. Sementara itu, nilai impor beras mengalami penurunan sebesar 5,94 % menjadi US$ 183,8 juta sepanjang tahun lalu dibanding tahun sebelumnya.

“Menurut catatan BPS, Indonesia sudah tidak melakukan impor beras untuk pasar konsumsi, yaitu beras jenis medium,” kata Kepala Biro Humas dan Informasi Publik Kementerian Pertanian, Kuntoro Boga Andri dilansir dari Antara, Senin (15/8).

Adapun beras yang masih diimpor Indonesia merupakan beras untuk keperluan industri. Tercatat Indonesia mengimpor beras khusus pada 2019 sebanyak 444,5 ribu ton, 2020 sebanyak 356,3 ribu ton, dan 2021 sebanyak 407,7 ribu ton.

“Namun sebanyak 82 % hingga 99 % impor berupa broken rice atau beras pecah untuk bahan baku industri. Presentasinya sangat-sangat kecil dibandingkan produksi beras dan stok beras kita," kata Kuntoro.

Dia juga menyebutkan broken rice yang berkode HS 10064090 tersebut sebagian besar digunakan untuk keperluan pakan ternak. Pada 2019, impor broken rice mencapai 98,6 % dari keseluruhan impor beras, 2020 capai 90,47 %, dan tahun 2021 sebanyak 81,63 %.

Sebelumnya, Indonesia sempat mencatat impor beras terbesar, yakni mencapai 981,99 ribu ton dengan nilai US$ 401 juta pada kuartal pertama 2016.

Swasembada Era Orde Baru

Penghargaan swasembada beras sempat menyambangi Indonesia pada era pemerintahan Orde Baru, di bawah kepemimpinan Presiden Indonesia kedua, Soeharto. Penghargaan swasembada beras pertama kali diterima Indonesia pada 1984.

Kala itu, produksi beras nasional tercatat mencapai 27 juta, dengan tingkat konsumsi masyarakat hanya 25 juta ton. Tak hanya mampu memenuhi kebutuhan konsumsi, Indonesia era Soeharto juga sempat menyumbangkan 100 ribu ton beras untuk Afrika.

PRODUKSI BERAS SUMATERA SELATAN (ANTARA FOTO/Feny Selly/foc.)

Kesuksesan Indonesia mengantongi penghargaan swasembada beras tak lepas dari fokus Presiden Indonesia kedua itu dalam menguatkan sektor agribisnis. Pemerintah Orde Baru mengartikan stabilitas harga beras pada tingkat yang terjangkau (murah) menjadi indikator sempurna ketahanan pangan (Falcon and Timmer, 1991).

Di sisi lain, ketetapan FAO tahun 1999 menjelaskan bahwa, suatu negara dikatakan swasembada jika produksinya mencapai 90 % dari kebutuhan nasional. Mengutip makalah Pantjar Simatupang dan  I Wayan Rusastra bertajuk Kebijakan Pembangunan Agribisnis Padi (2004), disebutkan kalau penghargaan swasembada beras era Soeharto hanya bertahan lima tahun.

Di bawah kepemimpinan Soeharto, selama periode 1968-1998 kebijakan perberasan nasional diarahkan untuk mencapai tiga tujuan pokok yang saling berhubungan. Pertama, memantapkan ketahanan pangan nasional dan kedua, memacu pertumbuhan ekonomi dan meningkatkan stabilitas ekonomi (inflasi) nasional. Sedangkan tujuan terakhir, adalah meningkatkan pendapatan petani.

Komitmen Soeharto yang begitu besar direpresentasikan pada kebijakan produksi beras besar-besaran, salah satunya dalam pembangunan lahan dan irigasi. Investasi besar juga gencar pemerintahan Orde Baru lakukan sepanjang 1970 hingga 1980.

Namun, strategi tersebut lambat laun mulai mengalami perlambatan, sehingga berdampak pada laju produksi beras. Alhasil, pada 1990 pemerintah Soeharto kewalahan memenuhi konsumsi beras masyarakat yang bertumbuh menjadi 37 juta ton, dan memutuskan untuk mulai mengimpor beras. 

Reporter: Tia Dwitiani Komalasari, Andi M. Arief