Demi mengawasi kesehatan masyarakat dan mencegah kantong keuangan negara jebol akibat penyakit-penyakit kardiovaskular, pemerintah berniat menarik cukai minuman berpemanis dalam kemasan (MBDK) di tahun 2024 nanti.
Akhir tahun 2022 lalu, tepatnya pada tanggal 13 Desember, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) resmi merekomendasikan negara-negara anggota untuk menerapkan kebijakan fiskal terhadap minuman berpemanis. Setidaknya hingga sekarang ada 85 negara yang sudah menerapkan kebijakan serupa di wilayahnya.
Di Indonesia, sepanjang sejarah tercatat hanya 5 jenis barang yang pernah kena cukai: minyak tanah, alkohol sulingan, bir, gula, dan tembakau.
Saat ini, cukai hanya berlaku untuk tiga kategori barang yaitu hasil tembakau, etil alkohol, dan Minuman Mengandung Etil Alkohol (MMEA). Jumlah tersebut sangat sedikit dibanding negara lain yang sudah mengenakan cukai atas komoditi minuman berpemanis, kendaraan bermotor, dan bahan bakar minyak.
Pemerintah masih bisa melakukan ekstensifikasi barang kena cukai karena terdapat ruang dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 39 Tahun 2007 tentang Cukai.
Barang yang dapat dikenakan cukai di Indonesia harus memenuhi sifat dan karakteristik seperti diatur dalam Pasal 2 ayat (1) huruf a-d UU Cukai:
(a) Barang-barang yang konsumsinya harus dibatasi
(b) Barang-barang yang distribusinya harus diawasi
(c) Barang-barang yang konsumsinya berdampak pada rusaknya lingkungan hidup
(d) Sebagai sarana untuk memenuhi rasa kebersamaan dan keadilan di masyarakat.
Cukai bukan bersifat pajak kenikmatan atas barang mewah, tetapi lebih ditekankan pada kepentingan sosial. Salah satu alasan pengenaan cukai adalah bentuk pengawasan dan pembatasan produk yang berdampak negatif, misalnya membahayakan kehidupan manusia dan atau merusak kesehatan, dan cukai MBDK memenuhi karakteristik tersebut.
Data Kementerian Perindustrian menyebut industri minuman ringan terus berkembang hampir 300% dalam jangka waktu sepuluh tahun (2005-2014). Artinya setiap tahun terdapat kenaikan produksi sebesar 30%.
Sementara Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) menunjukkan persentase penduduk dengan obesitas meningkat dua kali lipat dalam 10 tahun, dari semula 10,5 persen (2007) menjadi 21,8 persen (2018).
Tarik Ulur Cukai Minuman Berpemanis
Wacana melakukan ekstensifikasi barang kena cukai sejatinya sudah diusulkan sejak perubahan Undang-undang Cukai disahkan pada tahun 2007. Berbagai jenis barang diusulkan untuk masuk kategorisasi barang kena cukai, diantaranya kendaraan bermotor, minuman soda berpemanis, plastik, bahan bakar minyak, semen dan sebagainya.
Wacana cukai atas minuman bersoda dan berpemanis sebenarnya mencuat sejak tahun 2008. Namun dalam perjalanan, rencana itu timbul tenggelam. Kementerian Keuangan (Kemenkeu) pernah membuat kajian objek yang bisa dikenakan cukai, salah satu kajiannya merekomendasikan minuman berpemanis.
Namun Kementerian Kesehatan menganggap minuman berpemanis kurang membahayakan kesehatan, sehingga belum perlu dikenakan cukai.
Pada tahun 2016, Komisi IX DPR RI, mendorong rencana Kementerian Keuangan dalam memasukkan minuman berpemanis ke dalam objek cukai mulai 2016. Tapi usulan ini lagi-lagi menguap ditelan waktu.
Sebelum pandemi Covid-19 melanda, Menteri Keuangan Sri Mulyani kembali mengusulkan cukai MBDK dalam rapat bersama Komisi XI DPR RI di Gedung Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) pada 2019.
Mulanya pemerintah akan memberlakukan cukai MBDK pada tahun 2022. Namun, Ditjen Bea Cukai Kementerian Keuangan mempertimbangkan penundaan cukai hingga tahun 2023.
Pada tahun ini, berlandaskan pada Peraturan Presiden (Perpres) No. 130/2022 tentang Rincian APBN Tahun Anggaran 2023, Presiden Joko Widodo alias Jokowi menargetkan penerimaan cukai dari produk plastik dan MBDK senilai Rp4,06 triliun pada 2023.
Penerimaan negara dari cukai minuman bergula dalam kemasan dipatok sebesar Rp3,08 triliun, sementara pendapatan cukai produk plastik ditargetkan mencapai Rp980 miliar. Hitungannya didasari besaran cukai untuk teh kemasan sebesar Rp1.500 per liter dan soda sebanyak Rp2.500 per liter.
Setelah tertunda bertahun-tahun, cukai MBDK kemungkinan besar mulai dipungut tahun 2024. Rencana tersebut sudah masuk dalam dokumen Kerangka Kebijakan Ekonomi Makro dan Pokok-Pokok Kebijakan Fiskal (KEM PPKF).
KEM PPKF nantinya menjadi dasar dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) Tahun Anggaran 2024.
“Kebijakan teknis kepabeanan dan cukai 2024 diarahkan pada… ekstensifikasi cukai melalui penambahan objek cukai baru dan realisasi pemungutan cukai atas produk plastik dan minuman berpemanis dalam kemasan (MBDK),” tulis laporan dalam dokumen KEM PPKF, yang dikutip pada Jumat (2/6/2023).
Layaknya kenaikan cukai rokok, penarikan cukai MBDK diharapkan dapat mengurangi beban kesehatan negara, menjadi kompensasi “dosa” atas meningkatnya beban kesehatan akibat kelebihan gula.