India menjadi tuan rumah Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) G20 pada tahun in. Pelaksanaannya berlangsung di ibu kota negara tersebut, New Delhi.
Namun presidensi India itu menimbulkan polemik. Sebab dalam undangan makan malam para pimpinan G20, tertulis Presiden Bharat untuk Draupadi Murmu. Dunia internasional saat ini mengenal perempuan berusia 65 tahun tersebut sebagai presiden India, bukan Bharat.
Gara-gara hal tersebut, isu pergantian nama untuk Negeri Bollywood mengemuka dan ramai dibicarakan warganet. Lalu, pemimpin kongres India Jairam Ramesh membenarkannya.
Rames bercerita, ia telah mendapat undangan makan makan acara G20 pada 9 September 2023. Undangan yang dikirim dari tempat tinggal presiden, Rashatrapati Bhavan, tertulis atas nama Presiden Bharat, bukan India. Sebagai informasi, Bharat merupakan bahasa Sansekerta untuk menyebut India.
Nama baru tersebut kemudian menimbulkan reaksi keras hingga debat publik di negara itu. Perdana Menteri Narendra Modi menyebut langkah ini sebagai penanda terbebasnya India dari peninggalan kolonialisme Inggris. Negeri Raja Charles III itu menjajah India selama 200 tahun.
Asal-Usul Nama Bharat
Melansir dari pemberitaan media asal Amerika Serikat, TIME, nama Bharat sudah ditemukan dalam Purana, teks agama Hindu kuno. Teks-teks tersebut menggambarkan daratan luas tempat manusia hidup. Salah satu wilayah dari daratannya disebut sebagai Bharatavarsa.
Sedangkan "India" merupakan upaya asimiliasi Inggris, biasa disebut Anglicization, dari bahasa Sansekerta untuk Sungai Indus dan sindhu. Kemunculan nama ini sudah dimulai pada masa Kesultanan India pada 1858 hingga 1947.
Times of India menulis, nama Bharat memiliki akar sejarah kuno dan digunakan dalam kitab suci dan teks India. Selama berabad-abad kata ini menunjuk pada India. Hal ini terkait dengan kaisar legendaris Bharata yang disebut dalam epos Hindu, Mahabrata.
Saat India meraih kemerdekaan dari Inggris pada 1947, muncul pertanyaan bagaimana mengadopsi nama negara itu. Dengan berbagai pertimbangan, termasuk soal linguistik, para pendiri negara ini memutuskan untuk memakai keduanya, Bharat dan India, dalam konstitusi.
Pada artikel 1 Konstitusi India tertulis, "India, itu adalah Bharat, akan menjadi negara kesatuan". Ini adalah sebuah langkah kompromis untuk tetap mempertahankan sejarah dan budaya keduanya.
Bertahun-tahun kemudian, India menjadi yang paling sering dipakai, terutama pada konteks dunia internasional. Bharat tetap digunakan tapi hanya dalam bahasa Hindi dan bahasa daerah lainnya.
Saat ini sebenarnya pemakaian Bharat tetap menjadi penting dalam budaya India dan bahasa resminya, Hindi. Pemakaiannya terutama dalam dunia literatur, puisi, dan ekspresi kultural lainnya.
Ada juga nama lain India, yaitu Hindustan, yang berarti tanah Indus dalam bahasa Persia. Nama ini menjadi populer untuk menyebut India selama era Kesultanan Mughal dan sering diapakai kaum nasional Hindu. Namun, Hindustan bukan nama resmi yang diakui dalam konstitusi.
Ditentang Oposisi India
Pemerintahan Modi terus berusaha menghapus jejak kolonial tersebut. Modi yang berasal dari partai nasional Hindu, Bharatiya Janata (BJP), juga telah mengganti sejumlah nama jalan, taman, dan bangunan yang terkait dengan Inggris.
Jalan yang sebelumnya bernama Kingsway, kini berganti menjadi Kartavya. Lalu, Taman Mughal menjadi Taman Amrit Udyan.
Pada 2018, Modi juga mengubah nama pulau yang memakai nama penguasa Inggris. Pulau itu kini bernama Kepualaun Andaman dan Nikobar. Ia berencana meresmikan perubahan nama India menjadi Bharat dalam sidang parlemen pada 18 hingga 22 September nanti.
Tindakan Modi mendapat tentangan dari pemimpin oposisi. Mereka menilai pemerintah tidak seharusnya membuang India karena nama ini memiliki nilai merek yang tidak terhingga.
Pergolakan soal perubahan nama pada negara Asia Selatan ini semakin parah. Barisan oposisi berencana untuk menggeser Modi pada pemilu berikutnya.
Perdebatan di media sosial pun tak kalah sengit. Beberapa yang menentang menyebut langkah penggantian nama adalah upaya keenganan Modi untuk mempertahankan prinsip persatuan dan keberagaman India.
Namun, ada pula yang memuji perubahan tersebut sebagai upaya pemerintah menghapus jejak imperialisme dan kembali dalam sejarah asli India.
Dalam rangka mendukung kampanye penyelenggaraan G20 di Indonesia, Katadata menyajikan beragam konten informatif terkait berbagai aktivitas dan agenda G20 hingga berpuncak pada KTT G20 November 2022 nanti. Simak rangkaian lengkapnya di sini.