Menjelang Hari Raya Idul Fitri atau Lebaran, pembicaraan mengenai tunjangan hari raya atau THR menjadi topik hangat, baik di media massa maupun media sosial. Pasalnya, pendapatan non-upah untuk para pekerja ini menjadi sesuatu yang ditunggu-tunggu.
Pemerintah baru-baru ini telah resmi mengeluarkan aturan tentang pembayaran THR Lebaran 2024, melalui Surat Edaran (SE) Menaker Nomor M/2/HK.04/III/2024 tentang Pelaksanaan Pemberian Tunjangan Hari Raya Keagamaan Tahun 2024 bagi Pekerja/Buruh di Perusahaan. Sesuai aturan tersebut, tunjangan hari raya harus diberikan ke semua pekerja/buruh.
Dalam ketentuan, pemerintah menetapkan bahwa pembayaran THR wajib dilakukan paling lambat tujuh hari sebelum Hari Raya Idul Fitri atau di pekan-pekan terakhir bulan Ramadan.
Namun, apakah keberadaan tunjangan hari raya sebagai pendapatan non-upah untuk pekerja di Indonesia ini telah ada sejak dulu, dan siapakah penggagasnya? Simak ulasan singkat berikut.
Sejarah Penerapan THR di Indonesia
Sebenarnya, dunia kerja Indonesia belum mengenal adanya tunjangan atau upah tambahan menjelang Hari Raya Idul Fitri. Namun, pada 1952, Perdana Menteri ke-6 Republik Indonesia Soekiman Wirjosandjojo menggagas program pemberian persekot untuk pegawai negeri sipil (PNS), yang saat itu masih dinamakan pamong praja.
Soekiman berasal dari Partai Masyumi, yang merupakan partai politik Islam terbesar di Indonesia selama era Demokrasi Liberal. Meski kabinetnya berumur pendek, yakni hanya satu tahun (1951-1952), ia mewariskan beberapa beberapa program kesejahteraan bagi para pegawai pemerintah, termasuk persekot lebaran ini. Tujuannya, agar para pegawai pemerintah mendukung kebijakan dan program-program pemerintah.
Awalnya, konsep THR untuk PNS ini berbentuk persekot atau pinjaman di muka. Nantinya, para PNS harus mengembalikannya dalam bentuk pemotongan gaji.
Kebijakan pemberian persekot lebaran terus dilakukan pasca-Kabinet Soekiman. Bahkan, pada masa Perdana Menteri ke-8 Indonesia Ali Sastroamidjojo, kebijakan persekot lebaran diperkuat melalui Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1954 tentang Pemberian Persekot Hari Raya kepada Pegawai Negeri.
Besaran uang yang diterima pun bervariasi, yakni Rp 125 hingga Rp 200 per orang, dan dicairkan setiap akhir bulan Ramadan atau menjelang Hari Raya Idul Fitri.
Namun, sesuai sasarannya, pemberian persekot ini hanya berlaku bagi PNS, bukan pekerja swasta. Oleh karena itu, dalam perjalannya kebijakan ini mendapat banyak kritik, terutama dari kaum buruh. Pasalnya, pemberian THR hanya kepada PNS dinilai sebagai kebijakan yang tidak adil.
Munculnya Hadiah Lebaran sebagai Cikal Bakal THR
Seperti yang telah dijelaskan, kemunculan konsep THR awalnya adalah berbentuk persekot dan hanya diberikan kepada PNS. Pemberian yang dibatasi pada PNS ini menimbulkan protes, terutama dari kaum buruh.
Mengutip www.spkep-spsi.org, tuntutan agar penerima persekot lebaran diperluas tidak hanya di kalangan PNS semakin meningkat. Bahkan, pada 13 Februari 1952 para buruh melakukan mogok kerja, sebagai protes dan menuntut agar pemerintah memperluas subjek pemberian persekot lebaran ini.
Sepanjang periode 1951-1952, tercatat terjadi 88 pemogokan buruh dan kebanyakan pemogokan itu terjadi di masa-masa menjelang Hari Raya Idul Fitri.
Awalnya, pemerintah saat itu tidak mengabulkan tuntutan para pekerja/buruh. Namun, selama dua tahun salah satu organisasi buruh terbesar saat itu, Sentral Organisasi Buruh Seluruh Indonesia (SOBSI) gencar menyerukan kritik dan tuntutan, agar pemberian persekot lebaran diperluas.
Perjuangan kaum pekerja/buruh ini akhirnya membuahkan hasil dan memunculkan istilah "Hadiah Lebaran". Pada 1954, Menteri Perburuhan Indonesia S.M. Abidin mengeluarkan SE Nomor 3676/54 mengenai Hadiah Lebaran. Dalam SE tersebut, pemerintah mengimbau perusahaan memberikan “Hadiah Lebaran” untuk buruh sebesar satu per dua belas dari upah, sekurang-kurangnya Rp 50 dan sebesar-besarnya Rp 300.
Akan tetapi, karena hanya berupa imbauan, surat edaran ini belum memberi jaminan "Hadiah Lebaran" bagi pekerja/buruh. Oleh karena itu, para buruh, yang dipimpin SOBSI terus menyuarakan tuntutan kepada pemerintah.
Tuntutan para buruh terkait "Hadiah Lebaran" sebagai hal yang wajib baru didengar pemerintah pada era Demokrasi Terpimpin, saat Menteri Perburuhan dijabat oleh Ahem Erningpraja.
Mengutip www.mediakasasi.com, Ahem Erningpraja mengeluarkan Peraturan Menteri Perburuhan Nomor 1/1961, yang isinya menyebutkan bahwa "Hadiah Lebaran" wajib dibayarkan dan menjadi hak buruh dengan masa kerja sekurang-kurangnya tiga bulan.
Aturan ini masih terus diadopsi hingga era pemerintahan Orde Baru. Baru pada 1994 istilah THR diperkenalkan, disertai aturan mengenai skema pemberiannya.
Munculnya Aturan Resmi Terkait THR
Sejak 1994, para pekerja/buruh di Indonesia tak lagi menerima "Hadiah Lebaran" melainkan Tunjangan Hari Raya atau THR. Penetapan THR ini dilakukan melalui Peraturan Menteri Tenaga Kerja (Permenaker) Nomor 04 Tahun 1994 tentang Tunjangan Hari Raya Keagamaan bagi pekerja swasta di perusahaan.
Menteri Tenaga Kerja (Menaker), yang saat itu dijabat oleh Abdul Latief, mengeluarkan ketentuan yang menyebutkan bahwa pengusaha wajib memberikan THR kepada pekerja yang telah mempunyai masa kerja tiga bulan atau lebih.
Permenaker tersebut juga mengatur besaran THR yang diberikan kepada para pekerja. Hal ini diatur dalam Pasal 3 Ayat (1a) dan (1b) Permenaker 04/1994. Pasal 3 Ayat (1a) menyebutkan bahwa pekerja yang telah mempunyai masa kerja 12 bulan secara terus menerus atau lebih sebesar mendapatkan THR sebesar satu bulan upah.
Sementara, ketentuan besaran THR untuk pekerja yang telah bekerja selama tiga bulan tetapi kurang dari satu tahun, tertera pada Pasal 3 Ayat (1b). Besaran THR untuk kategori ini diberikan secara proporsional dengan masa kerja, yakni masa kerja dibagi 12 kemudian dikalikan satu bulan upah.
Pemerintah saat itu juga mengatur mengenai perusahaan yang tidak sanggup membayarkan THR. Hal ini diatur melalui Pasal 7 Permenaker 04/1994, yang terdiri dari tiga poin, antara lain:
- Pengusaha yang karena kondisi perusahaannya tidak mampu membayar THR dapat mengajukan permohonan penyimpangan mengenai besarnya jumlah THR kepada Direktur Jenderal Pembinaan Hubungan Industrial dan Pengawasan Ketenagakerjaan.
- Pengajuan permohonan sebagaimana dimaksud ayat (1) harus diajukan paling lambat 2 bulan sebelum Hari Raya Keagamaan yang terdekat.
- Direktur Jenderal Pembinaan Hubungan Industrial dan Pengawasan Ketenagakerjaan menetapkan besarnya jumlah THR, setelah mempertimbangkan hasil pemeriksaan keuangan perusahaan.
Kebijakan ini menjadi cikal bakal pengaturan THR hingga saat ini. Namun, pada awal pelaksanaannya pemberian THR ini belum menyentuh seluruh elemen pekerja swasta. Sebab, saat itu tidak diatur mengenai pemberian THR bagi pekerja yang baru masuk (masa kerja di bawah tiga bulan) dan pekerja yang berstatus kontrak.
Aturan THR Berdasarkan Permenaker Nomor 6 Tahun 2016
Pokok-pokok aturan mengenai pemberian tunjangan hari raya di era reformasi sejatinya masih mengadopsi aturan yang tertera dalam Permenaker 04/1994. Revisi atas aturan THR, baru dilakukan di era kepemimpinan Presiden Joko Widodo, tepatnya pada 2016 melalui Permenaker Nomor 6 tahun 2016.
Dalam aturan ini, disebutkan bahwa THR juga diberikan kepada pekerja yang memiliki masa kerja minimal satu bulan. Besaran tunjangan hari raya yang diterima mengadopsi metode penghitungan yang telah disebutkan pada Permenaker 04/1994, yakni masa kerja dibagi 12 dikalikan upah satu bulan. Artinya, jika seseorang sudah bekerja selama sebulan, maka perhitungan tunjangan hari raya-nya adalah 1/12 dikali upah atau gaji.
Upah yang dimaksud adalah upah tanpa tunjangan yang merupakan upah bersih (clean wages) atau upah pokok termasuk tunjangan tetap.
Kewajiban pemberian THR juga diberikan untuk pekerja yang berstatus pegawai kontrak, yang bekerja berdasarkan perjanjian kerja harian lepas. Termasuk yang bekerja berdasarkan perjanjian kerja waktu tidak tertentu (PKWTT) ataupun perjanjian kerja waktu tertentu (PKWT).
Hal ini diatur secara jelas dalam Pasal 3 Ayat (3) Permenaker 6/2016, yang memiliki dua pokok isi, yaitu:
- Pekerja/buruh yang telah mempunyai masa kerja dua belas bulan atau lebih, upah satu bulan dihitung berdasarkan rata-rata upah yang diterima dalam dua belas bulan terakhir sebelum hari raya keagamaan.
- Pekerja/buruh yang mempunyai masa kerja kurang dari dua belas bulan, upah satu bulan dihitung berdasarkan rata-rata upah yang diterima tiap bulan selama masa kerja.
Permenaker 6/2016 ini menjadi acuan bagi aturan-aturan pemberian THR hingga saat ini. Termasuk SE M/2/HK.04/III/2024 yang telah diteken Menaker pada 15 Maret lalu.