Kementerian Keuangan melaporkan realisasi penerimaan kepabeanan dan cukai hingga Juli 2024 mencapai Rp 154,4 triliun, tumbuh 3,1% secara tahunan. Penerimaan ini ditopang oleh cukai hasil tembakau atau rokok yang mencapai Rp 111,3 triliun.
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengatakan, penerimaan cukai rokok utamanya ditopang pita cukai untuk rokok golongan II dan golongan III.
Kebijakan mengenai cukai rokok mewarnai perjalanan Indonesia sejak lama, bahkan ketika negara ini masih bernama Hindia Belanda. Potensi ekonomi dari hasil penjualannya menjadi motif utama pengaturan cukai untuk produk ini.
Seperti apa perjalanan pemungutan cukai rokok di Indonesia dari masa ke masa? Simak ulasan singkat berikut ini.
Sejarah Pemungutan Cukai Rokok di Indonesia
Pengembangan tanaman tembakau sebagai komoditas, telah dikembangkan pada pertengahan abad ke-19. Pada 1858, tembakau berhasil dikembangkan secara masif menjadi salah satu tanaman ekspor andalan dan menjadi salah satu sumber pemasukan keuangan negara bagi pemerintah kolonial Hindia Belanda.
Meski demikian, pengaturan terkait cukai rokok baru dilakukan menjelang pertengahan abad ke-20. Tujuannya, untuk memaksimalkan hasil penjualan rokok bagi keuangan pemerintah Hindia Belanda.
Pengaturan Cukai Rokok Era Kolonial
Seperti telah disebutkan, pengaturan atau kebijakan mengenai cukai rokok baru dikeluarkan oleh pemerintah Hindia Belanda menjelang pertengahan abad ke-20. Pemerintah kolonial Hindia Belanda mengaturnya dalam Staatsblad Nomor 517 Tahun 1932, atau disebut juga sebagai Tabaksaccijns Ordonnantie (ordonansi cukai tembakau).
Pengaturan cukai rokok ini merupakan konsekuensi dari menjamurnya perdagangan rokok di wilayah Hindia Belanda sejak 1880 hingga 1931. Ini ditunjukkan dalam penelitian yang dilakukan oleh Van der Reijden, yang tertuang dalam buku "Kretek Djawa".
Penelitian Van der Reijden menunjukkan, pada 1932 terdapat 165 pabrik rokok yang berada di Kudus, Jawa Tengah. Pada 1931, penjualan rokok putih telah mencapai 7,1 miliar batang per tahun. Sementara, produksi rokok kretek mencapai 6,42 miliar batang per tahun.
Jumlah produksi yang mengesankan ini menjadi pertanda, bahwa rokok komoditas unggulan dan penyerap tenaga kerja, serta berpotensi mendatangkan pendapatan yang besar untuk kas negara.
Pengaturan mengenai cukai rokok kemudian berlanjut dengan dikeluarkannya Staatsblad 560/1932, serta Staadsblad 427/1935. Khusus untuk Staadsblad 427/1935, aturan ini dibuat untuk membedalan cukai antara rokok putih impor dan rokok kretek. Aturan ini dikeluarkan, agar impor rokok putih tidak menekan industri rakyat Hindia Belanda.
Semua aturan yang dikeluarkan pemerintah Hindia Belanda ini, mengatur soal pita cukai, bea ekspor, dan bea masuk impor. Termasuk di dalamnya, juga ketentuan mengenai besaran jumlah yang diterima pemerintah dari pengutipan cukai rokok.
Cukai Rokok Pasca-Kemerdekaan dan Orde Lama
Pasca-Indonesia mendeklarasikan kemerdekaan pada 17 Agustus 1945, pemerintah Indonesia masih mengadopsi Staatsblad 517/1932 untuk penerapan cukai rokok.
Namun, pemerintah mempertegas aturan dengan mengeluarkan Undang-undang (UU) Nomor 28 tahun 1947. Dalam UU ini, pemerintah Indonesia menetapkan cukai dihitung menurut harga eceran, yaitu harga yang di dalamnya telah termasuk cukai serta segala biaya yang dikeluarkan untuk menyiapkan tembakau.
Untuk tarifnya, pemerintah menetapkan sebesar empat puluh per seratus dari harga eceran. Ini diatur dalam Pasal 6 UU 28/1947. UU ini juga mengatur cara memungut cukai, serta nomor pengawasan cukai yang menjadi kewenangan Jawatan Bea dan Cukai.
Pemerintah Indonesia melanjutkan pemungutan cukai rokok melalui UU Darurat Nomor 22 Tahun 1950 tentang Penurunan Cukai Tembakau. UU ini mengatur harga jual eceran (HJE), pemungutan cukai yang diturunkan, dan penetapan golongan-golongan pengusaha tembakau yang dibebani kewajiban membayar cukai.
UU Darurat ini diikuti dengan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 8 Tahun 1951 tentang perubahan tabaksaccijnsverordening (peraturan cukai tembakau). Peraturan ini mengatur penetapan besarnya pungutan cukai hasil tembakau, dengan cara melekatkan pita cukai warna-warni yang beragam di beberapa jenis atau penggolongan hasil tembakau yang diproduksi.
Dalam perjalanannya, pemerintah kemudian menerbitkan UU Nomor 16 Tahun 1956 tentang Pengubahan dan Penambahan Ordonansi Cukai Tembakau. Aturan ini ditetapkan dengan tujuan mengurangi dampak makin banyaknya perusahaan rokok yang bangkrut, akibat tingginya cukai tembakau, terutama perusahaan-perusahaan kecil skala rumah tangga yang bangkrut akibat tingginya pengenaan cukai tembakau.
Aturan ini dibuat untuk merapikan semua peraturan yang sudah ada mengenai rokok sebagai produk hasil tembakau. Kemudian, juga untuk memberikan subsidi kepada perusahaan-perusahaan rokok, berupa penurunan cukai pada jumlah tertentu dan pembebasan cukai atas pengusaha-pengusaha rokok selama satu tahun (tax holiday).
Selain itu, UU ini tidak lagi menetapkan cukai berdasarkan harga jual eceran (HJE) per bungkus rokok, tetapi pada setiap batang rokok.
Cukai Rokok di Era Orde Baru
Pada masa Orde Baru, pengaturan cukai rokok atau cukai hasil tembakau semakin kompleks dan semakin dipadukan dengan semua ketentuan mengenai cukai komoditi lainnya dalam UU Nomor 11 Tahun 1995 tentang Cukai.
UU ini kemudian diikuti dengan keluarnya aturan teknis dalam bentuk peraturan pemerintah (PP), antara lain, PP Nomor 24 Tahun 1996 tentang Pengenaan Sanksi Administrasi di Bidang Cukai, PP Nomor 25 Tahun 1996 tentang Izin Pengusaha Barang Kena Cukai, dan PP Nomor 55 Tahun 1996 tentang Penyidikan Tindak Pidana di Bidang Kepabeanan dan Cukai.
Pada dasarnya, penetapan besarnya cukai pada masa Orde Baru menggabungkan pendekatan atas dasar harga jual eceran (HJE), dan atas dasar jumlah batang rokok yang diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK).
Pada masa orde baru, cukai rokok di Indonesia dibuat sebagai upaya pengendalian harga jual dari pemerintah, terhadap rokok dan produk tembakau lain seperti sigaret, cerutu, serta rokok daun, yang dipungut dan berlaku pada saat pembelian. Ketentuan ini tertuang dalam UU 11/1995.
Pasal 5 UU 11/1995 menyebutkan, barang kena cukai yang dibuat di Indonesia dikenai cukai berdasarkan tarif setinggi-tingginya 250% dari harga dasar apabila harga dasar yang digunakan adalah harga jual pabrik atau 55% dari harga dasar apabila harga dasar yang digunakan adalah harga jual eceran.
Pemungutan Cukai Rokok di Era Reformasi
Reformasi sistem politik pada 1998 mengakibatkan perubahan dan pembaharuan pada banyak UU. Termasuk di dalamnya aturan mengenai cukai rokok. Hasilnya adalah, munculnya UU Nomor 39 tahun 2007 tentang Perubahan Atas UU Nomor 11 Tahun 1995 tentang Cukai.
Khusus cukai rokok, atau cukai hasil tembakau, UU ini sebenarnya tidak terlalu banyak berbeda dengan aturan sebelumnya, terutama dalam cara dan basis perhitungan besaran cukainya serta pemberlakuan cukai beragam (differential tariff), sesuai dengan penggolongan jenis rokok dan skala perusahaannya.
Di era reformasi, cukai rokok tercatat telah naik beberapa kali. Kebijakan ini diterapkan untuk menekan jumlah perokok usia muda, terutama anak usia sekolah. Pada 2022 lalu, cukai hasil tembakau atau cukai rokok telah dinaikkan sebesar 12%. Kemudian, pada 2023 dan 2024 kembali dinaikkan sebesar 10%.
Pemerintah berencana akan kembali menaikkan cukai rokok pada 2025. Hal ini sejalan dengan tujuan pemerintah melakukan pengendalian rokok, terutama bagi anak-anak atau remaja. Meski demikian, besarannya masih belum ditetapkan.
Di era reformasi juga cukai hasil tembakau dimasukkan dalam perhitungan dana bagi hasil antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah penghasil tembakau. Hal ini menghasilkan istilah "Dana Bagi Hasil Cukai Hasil Tembakau" atau DBH-CHT.
Aturan teknis mengenai dana bagi hasil ini, tertuang dalam PMK Nomor 84/PMK.07/2008 tentang Penggunaan Dana Bagi Hasil Cukai Hasil Tembakau & Sanksi Atas Penyalahgunaan Alokasi Dana Bagi Hasil Cukai Hasil Tembakau serta Peraturan Menteri Keuangan Nomor 126/PMK.07/2010 tentang Pelaksanaan dan Pertanggungjawaban Anggaran Transfer ke Daerah.
DBH-CHT adalah dana yang bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), yang dialokasikan kepada daerah berdasarkan angka persentase untuk mendanai kebutuhan daerah, dalam rangka pelaksanaan desentralisasi.
Dalam perjalannnya, setahun ada dua alokasi DBH-CHT, yakni alokasi sementara dan alokasi definitif. Potensi penerimaan CHT dari DJBC mendasari besaran alokasi sementara. Sementara, alokasi definitif berdasarkan realisasi pada kurun sebelumnya, pelaksanaan program, dan anggaran setiap daerah. Transfer ke daerah dibagi dalam empat tahap, berturut-turut pada bulan Maret, Juni, September dan Desember.
Besaran transfer tahap pertama adalah 20%, kedua dan ketiga adalah 30%, sedangkan yang keempat berdasarkan selisih antara pagu alokasi definitif dengan jumlah dana yang telah disalurkan pada triwulan pertama hingga ketiga.
PMK No.84/PMK.07/2008 juga mengatur bahwa kepala daerah, baik gubernur atau bupati/walikota, memegang tanggung jawab untuk menggerakkan kegiatan yang didanai DBH-CHT. Salah satunya adalah, memastikan tersusunnya usulan program dan terlaksananya kegiatan yang didanai DBH-CHT.
Demikianlah ulasan mengenai pemungutan cukai rokok di Indonesia, yang telah ada sejak masa ketika negara ini masih di bawah pemerintahan kolonial Hindia Belanda.