Direksi BTN Beberkan Penyebab Rasio Kredit Bermasalah Melonjak

BTN menurunkan kualitas kredit berisiko di segmen komersial mencapai Rp 1,3 triliun pada 2019.
Penulis: Ihya Ulum Aldin
Editor: Yuliawati
17/2/2020, 21.05 WIB

Rasio kredit bermasalah alias non-performing loan (NPL) PT Bank Tabungan Negara Tbk (BBTN) melonjak tinggi pada akhir 2019. Hingga 31 Desember 2019, NPL gross sebesar 4,78%, naik dibandingkan periode sebelumnya 2,81%. Sedangkan rasio NPL nett sebesar 2,96%, naik dari tahun lalu 1,83%.

Direktur Utama Bank BTN Pahala N. Mansury menjelaskan penyebab melonjaknya kredit bermasalah tahun lalu di antaranya karena BTN menurunkan kredit dengan kualitas rendah (loan at risk), terutama di segmen komersial high rise atau apartemen.

"Penurunan kualitas kredit tersebut dikarenakan melambatnya penjualan apartemen," kata Pahala saat paparan kinerja 2019 di Jakarta, Senin (17/2).

(Baca: BTN Bidik Laba Kembali Capai Rp 3 T Tahun Ini Setelah Tergerus Drastis)

Pahala menjelaskan BTN menurunkan kualitas kredit berisiko di segmen komersial mencapai Rp 1,3 triliun pada tahun lalu. Mayoritas kredit yang diturunkan ini kepada debitur komersial high rise yang sudah berulang kali direstrukturisasi.

Dia mengatakan, kredit macet pada sektor komersial ini meningkat hingga di level 18% dari total kredit sektor tersebut sebesar Rp 21,66 triliun. Salah satu proyek yang bermasalah, berada di kawasan Kalimalang dengan plafon kredit mencapai Rp 650 miliar.

Sedangkan kredit bermasalah pada Kredit Pemilikan Rumah (KPR) dan KPR non-subsidi jauh lebih kecil. Kredit bermasalah pada KPR subsidi di bawah level 1% dari total kredit Rp 111,13 triliun. Sementara, kredit bermasalah pada KPR non-subsidi berada di level 3,7% dari total Rp 80,64 triliun.

Pahala mengatakan, pihaknya menurunkan kualitas kredit pada debitur yang sudah berulang kali merestrukturisasi utang namun memiliki indikasi tidak bisa memenuhi komitmen pembayaran kredit. Selain itu, BTN juga menganalisis dari prospek bisnis dan perkembangan proyek debitur tersebut sebagai pertimbangan menurunkan kolektibilitas.

(Baca: Laba Anjlok untuk Cadangan Kredit Seret, Harga Saham BTN Kian Tertekan)

"Dengan adanya beberapa hal tersebut, kami perlu melakukan penyesuaian atas kolektibilitas. Karena, melihat kondisi debitur, setelah periode restrukturisasi berlalu belum juga menunjukan itikad untuk menyelesaikan NPL," kata Pahala.

BTN membentuk unit kerja baru untuk mempercepat penyelesaian kredit bermasalah dan sentralisasi penanganannya untuk mempercepat penjualan kredit bermasalah tersebut. Pihaknya juga akan meningkatkan penjualan melalui kerja sama dengan Perusahaan Pengelola Aset (PPA) dan Sarana Multigriya Finansial, termasuk mengambil jalur hukum.

Kenaikan kredit bermasalah ini yang menyebabkan laba bersih perusahaan pada tahun lalu anjlok hingga 92,5% dari Rp 2,8 triliun pada 2018 menjadi hanya Rp 209,26 miliar.  Seiring kenaikan kredit bermasalah, BTN juga melakukan biaya cadangan kerugian penurunan nilai (CKPN) dari Rp 3,29 triliun menjadi Rp 6,16 triliun.

(Baca: Laba BTN Sepanjang 2019 Anjlok 92% Tergerus Kredit Macet)

Dengan adanya pencadangan yang tinggi tersebut, membuat coverage ratio BTN yang sebelumnya berada di level 50% terhadap kredit bermasalah, menjadi 109,47% pada Januari 2020. Peningkatan tersebut, juga sejalan dengan penerapan Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan (PSAK) 71, di mana bank harus memiliki cadangan CKPN di atas 100%.

"Kami harus meningkatkan pencadangan dan juga mempengaruhi bagaimana kami melakukan dan menentukan klasifikasi kredit kami," kata Pahala.

Karena sudah melakukan pencadangan atas NPL yang naik tersebut, tahun ini BTN memperkirakan akan menambah pencadangan pada CKPN sebesar Rp 1,2 triliun.

Namun, Direktur Keuangan BTN Nixon Napitupulu mengatakan, jika mampu menjaga kualitas kredit baru, maka angka CKPN tahun ini bisa berkurang dan membuat laba bersih tahun ini semakin membesar. "Coverage ratio-nya ditargetkan bisa mencapai 120% pada tahun ini," kata Nixon.