PT Nara Hotel Indonesia mengklaim bahwa proses penawaran saham perdana perusahaan melalui skema initial public offering (IPO) sudah sesuai ketentuan yang ditetapkan Otoritas Jasa Keuangan (OJK).
Hal tersebut disampaikan untuk menanggapi keputusan Bursa Efek Indonesia (BEI) yang menunda IPO perusahaan yang dijadwalkan hari ini, Jumat (7/2), hingga pengumuman lebih lanjut. Penundaan dilakukan salah satunya karena banyak investor ritel yang memprotes kebijakan penjatahan terpusat (plotting allotment) saham perusahaan.
"Kami sudah audiensi dengan pihak OJK dan BEI pagi ini. Intinya, kami tunduk pada aturan dan ketentuan OJK dan Bursa," kata Direktur Utama Nara Hotel, Adrianus Daniel Sulaiman dalam keterangan pers di Jakarta, sore ini.
Dalam rilis yang disampaikan perusahaan, pembelian saham Nara Hotel oleh investor ritel sudah sesuai dengan peraturan yang berlaku. Hal itu termasuk juga dengan bentuk dan isi prospektus.
(Baca: Nara Hotel, Perusahaan dengan Lonjakan Aset 821% yang Tertunda IPO)
Perusahaan menjelaskan tata cara pemesanan pada surat penawaran umum pada 3 - 4 Februari 2020, sudah memenuhi syarat dan peraturan yang berlaku. Syarat tersebut yaitu setiap calon investor mengisi surat Formulir Pemesanan Pembelian Saham (FPPS) dan persyaratan administratif lainnya.
Namun Nara Hotel memang telah merevisi prospektusnya. Prospektus pertama terbit pada 8 Januari 2020. Sedangkan prospektus revisi terbit 3 Februari 2020. Perbedaan dari kedua prospektus tersebut terkait protes investor ritel yakni soal penjatahan terpusat.
Pada prospektus versi 8 Januari penjatahan terpusat saham dibatasi sampai dengan jumlah maksimum 1% dari jumlah saham yang ditawarkan. Sedangkan pada prospektus versi revisi, penjatahan terpusat dibatasi sampai dengan jumlah paling sedikit atau minimum 1% dari jumlah saham yang ditawarkan.
(Baca: Pertama Kali, BEI Tunda IPO Nara Hotel karena Diduga Gelembungkan Aset)
Sehingga investor ritel yang melakukan pemesanan, mendapatkan jatah saham sesuai dengan yang dipesan. Adrianus menjelaskan bahwa protes investor ritel terkait dengan penjatahan terpusat yang hampir 99% terpenuhi tersebut sebagai protes yang aneh.
Dia menggambarkan bahwa investor ritel sudah mengisi dan menandatangani FPPS untuk pembelian 1.000 lembar saham dan telah menyetor dana sebesar nilai pemesanan. Namun begitu dipenuhi pesanan 1.000 saham tersebut, investor menolak dan bilang hanya ingin 100 saham.
"Jadi biasanya, orang membeli atau memesan saham pada IPO susah untuk mendapatkan saham, karena hanya dikuasai oleh sekelompok orang atau yang biasa disebut bandar," ujar Daniel.
Namun bisa jadi investor ritel protes lantaran tidak mengetahui ada revisi pada prospektus penawaran saham perusahaan, sehingga tidak membaca ketentuan baru terkait penjatahan terpusat.
(Baca: BEI: 29 Perusahaan Antre IPO, Mayoritas dari Sektor Properti)