Laba Bersih Barito Pacific Anjlok 78%, Ini Penjelasannya

ANTARA FOTO
Dirut PT Barito Pacific Tbk, Agus Salim Pangestu (kedua kanan), Wakil Direktur Utama Rudy Suparman (kedua kiri), Direktur Andry Setiawan (kiri) dan Direktur Independen David Kosasih, berbincang usai menggelar acara Investor Gathering, di Jakarta, Senin (25/11/2019).
26/12/2019, 15.05 WIB

Laba bersih Barito Pacific (BRPT) pada sembilan bulan pertama tahun ini anjlok 78,1% secara tahunan (year on year) menjadi US$ 12,47 juta atau setara Rp 174,26 miliar. Penyebabnya antara lain pemeliharaan rutin yang membuat pabrik tidak beroperasi maksimal hingga harga jual produk petrokimia yang turun.

"Aktivitas operasi terbatas sebagai akibat penutupan 51 hari untuk Turn Around Maintenance (TAM) yang direncanakan," kata Investor Relations Barito Pacific, Allan Alcazar ketika ditemui di kawasan SCBD, Jakarta, Kamis (26/12).

Induk usaha dari perusahaan petrokimia Chandra Asri Petrochemical ini mencatatkan penurunan volume penjualan sebesar 14% dari 1.619 KT pada sembilan bulan pertama 2018, menjadi 1.394 KT pada periode sama tahun ini.

(Baca: Ekonomi Global Melemah, Laba Chandra Asri Kuartal III 2019 Anjlok 80%)

Seiring turunnya penjualan, perusahaan mencatatkan penurunan pendapatan bersih sebesar 24,8% dari US$ 2,35 miliar pada sembilan bulan pertama 2018 menjadi US$ 1,77 miliar pada periode sama tahun ini. Penurunan pendapatan bersih juga dipengaruhi oleh pendapatan dari bisnis petrokimia yang turun seiring penurunan harga beberapa produk.

Pendapatan dari bisnis petrokimia anjlok 29,3% dari US$ 1,96 miliar menjadi US$ 1,38 miliar. Pendapatan tersebut berasal dari ekspor petrokimia US$ 359,9 juta, dan penjualan domestik US$ 1,02 miliar. "Mencerminkan harga jual rata-rata yang direalisasikan yang lebih rendah, terutama untuk Ethylene dan Polyethylene," kata Allan.

Adapun selain petrokimia, perusahaan memiliki bisnis di bidang pembangkit listrik hingga properti. Anak usahanya yang bergerak di bidang energi terbarukan yaitu Star Energy Geothermal juga tercatat mengalami penurunan. Pendapatan dari perusahaan tersebut tercatat US$ 76,46 juta pada sembilan bulan pertama tahun ini, turun 3,3% dari periode sama tahun lalu US$ 79,15 juta.

Allan enggan menyebut target kinerja bisnis tahun depan. Sebab, kinerja masih tergantung oleh harga jual rata-rata untuk produk petrokimia seperti Ethylene dan Polyethylene. Dia berharap hubungan dagang antara Amerika Serikat dengan Tiongkok semakin baik, lantaran hal ini berpengaruh terhadap harga jual.

(Baca: Tinjau Kilang Petrokimia TPPI, Jokowi Harap Hemat Devisa Rp 56 Triliun)

Meski begitu, Allan memastikan adanya peningkatan produksi petrokimia tahun depan. Anak usaha perusahaan yang bergerak di industri petrokimia, PT Chandra Asri Petrochemical Tbk (TPIA) baru meresmikan pengoperasian pabrik baru polyethylene bernilai US$ 380 juta atau setara Rp 5,3 triliun pada awal Desember lalu.  

Pabrik ini bisa memproduksi 400 ribu ton polyethylene (PE) per tahun. Dengan tambahan pabrik baru tersebut, total kapasitas produksi polyethylene perusahaan mencapai 736 ribu ton per tahun.