Indeks harga saham gabungan (IHSG) menutup perdagangan di awal Desember 2019 dengan kuat. IHSG melesat naik hingga 118,23 poin atau 1,97% ke level 6.130,05 pada Senin (2/12) sore, setelah pada sepekan sebelumnya terkoreksi hingga 1,45% ke level 6.011,83.
Kinerja IHSG menjadi yang terbaik di antara bursa saham utama Asia lainnya yang mayoritas berakhir di zona hijau. Indeks Nikkei naik 1,01%, Hang Seng naik 0,37%, Shanghai naik 0,13%, dan Kospi 0,19%. Hanya indeks saham Singapura, Strait Times yang terkoreksi yakni 0,19%.
Padahal indeks dalam negeri relatif minim sentimen. Salah satunya yaitu dari rilis data inflasi bulanan oleh Badan Pusat Statistik (BPS). BPS mencatat inflasi pada November 2019 sebesar 0,14% secara bulanan. Adapun inflasi tahun kalender 2,37% dan inflasi tahunan sebesar 3%.
“Penguatan (kenaikan) IHSG hanya akan berlangsung dalam jangka pendek mengingat minimnya sentimen pendorong,” kata analis Artha Sekuritas Indonesia, Dennies Christopher Jordan hari ini.
(Baca: Minim Sentimen, IHSG Awal Desember Diprediksi Menguat di Level 6.100)
Sedangkan koreksi pada IHSG sepanjang pekan lalu disebabkan oleh langkah Otoritas Jasa Keuangan (OJK) yang membubarkan sejumlah reksadana yang memicu aksi jual pada beberapa saham “blue chip” yang ada di dalam produk reksadana yang dibubarkan tersebut.
Direktur Anugerah Mega Investama Hans Kwee mengatakan jika investor masih memantau langkah OJK yang diperkirakan masih akan membubarkan beberapa produk reksadana. “Kami masih memantau aksi OJK. Hal itu masih akan memberikan tekanan jual pada pasar saham,” jelas Hans.
Di sisi lain bursa saham Asia bergerak naik terbatas lantaran pasar masih mengkhawatirkan kelanjutan penandatanganan kesepakatan dagang antara Amerika Serikat (AS) dan Tiongkok yang menjadi tidak jelas karena dukungan AS terhadap demonstran Hong Kong telah memicu kemarahan Tiongkok.
“Situasi ini dapat merusak harapan akan tercapainya kesepakatan dagang tahap I AS-Tiongkok. Dampak dan balasan dari Tiongkok atas kebijakan AS akan menjadi perhatian pasar pekan ini,” terang Hans.
(Baca: Indosat Resmi Jual 1.000 Menara Bernilai Triliunan ke Protelindo)
Menurut Hans, apakah peristiwa ini dapat menganggu kesepakatan fase pertama kedua negara, ekspektasi dari pelaku pasar saat ini adalah hal tersebut tidak akan mengganggu kesepakatan kedua negara. "Bila terjadi sebaliknya, maka pelaku pasar harus bersiap menghadapai sell off," kata Hans.
Perdagangan di pasar saham domestik sepanjang hari ini pun berlangsung cukup sepi dengan total nilai transaksi yang hanya mencapai Rp 6,68 triliun dari 12,99 miliar saham. Angka tersebut jauh di bawah rata-rata nilai transaksi harian sepanjang tahun ini di level Rp 9,17 triliun.
Sebanyak 284 saham hari ini berhasil naik, 117 saham turun, dan sisanya tak bergerak alias stagnan. Adapun investor asing membukukan penjualan bersih (net sell) saham di seluruh pasar Rp 148,46 miliar.
Beberapa saham yang paling signifikan mendorong kinerja IHSG di antaranya Bank Central Asia (BBCA) naik 2,31%, Bank Rakyat Indonesia (BBRI) 2,93%, HM Sampoerna (HMSP) 4,39%, Unilever Indonesia (UNVR) 2,51%, dan Astra International (ASII) naik 2,31%.
Sementara jika dilihat dari indeks sektoral, kinerja IHSG ditopang oleh seluruh indeks sektoral yang dipimpin sektor pertambangan yang naik 3,54% diikuti konsumer 2,34%, properti 2,29%, manufaktur 2,13%, industri dasar 1,99%, keuangan 1,87%, aneka industri 1,76%, infrastruktur 1,59%, perdagangan 1,28%, dan pertanian 1,3%.
(Baca: Prospek Brexit Tak Jelas, Rupiah Melemah ke 14.125 per Dolar AS)